Hukum Anjing Menurut Imam Hanafi
Imam Hanafi menyatakan bahwa dzatiyah anjing yang masih hidup hukumnya suci, yang najis hanya air liurnya saja. Dari hukum najis tersebut segala sesuatu yang dijilat anjing harus dibersihkan dengan cara membasuh sampai hilangnya dzat air liur bila tampak, atau tempat yang diduga terkena air liur bila tidak tampak.
Imam Hanafi tidak menyaratkan tujuh kali basuhan dan tidak mewajibkan mencampur dengan debu atau lainya karena bertendensi pada hadits yang berbunyi:
قال النبي صلى الله عليه وسلم إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليغسّله سبعا إحداهن بالتراب (متفق عليه )
Artinya: “Apabila wadah (sesuatu milik)mu dijilat anjing, maka basuhlah tujuh kali yang salah satunya dicampur dengan debu“. (HR. Bukhari-Muslim)
Dari hadits tersebut terkandung satu maksud inti yaitu wajib membasuh bekas jilatan anjing, tanpa mewajibkan tujuh kali basuhan serta tidak wajib dicampuri debu. Karena beliau berpendapat bahwa dua ketentuan yang tercantum dalam hadits hanya merupakan kesunahan saja.
Hukum Babi Menurut Imam Hanafi
Imam Hanafi juga menyatakan bahwa babi yang masih hidup hukumnya suci secara mutlak, dan najis ketika telah mati, sebagaimana hukum hewan pada umumnya.
Dalam konsep madzhab Hanafi tidak ada istilah najis mughaladzah yang konsekwensi hukumnya harus membasuh tujuh kali dengan mencampur debu pada salahsatu basuhannya, karena istilah mughaladzah hanya untuk mengungkapan bahwa tingkatan najis tersebut melebihi najis yang lainnya tanpa ada ketentuan menggunakan cara-cara khusus untuk mensucikannya.
Hukum Anjing dan Babi Menurut Imam Malik
Anjing hidup menurut Imam Maliki hukumnya suci, yang najis hanya air liurnya, pendapat ini senada dengan pernyataan imam Hanafi. Secara otomatis setiap perkara yang dijilat anjing harus disucikan sebagai dari hukum najisnya air liur anjing.
Namun Imam Maliki menyaratkan membasuh tujuh kali dalam mensucikan najis ini dengan alasan mengikuti perintah Allah (ta’abbudi) dengan tanpa mewajibkan mencampur debu pada salahsatu basuhannya, dengan alasan sebagian hadits meriwayatkan (mewajibkan) dan sebagian tidak
لعدم ثبوته في كل الروايات))
Dalil yang dibuat tendensi imam Malik sama dengan Imam lainya, yaitu
اذا ولغ الكلب في إناء أحدكم
Namun imam Maliki menyimpulkan hadits tersebut sedikit berbeda dengan imam lain, karena babi hidup menurut imam Maliki hukumya suci, sebab secara tekstual hadits
اذا ولغ الكلب في إناء أحدكم
hanya menyebutkan hukum najisnya anjing bukan babi, sedangkan firman Allah yang berbunyi:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ ….. ( المائدة: 3 )
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi………”(QS. Al Maidah: 3)
Ayat tersebut tidak menunjukkan najisnya babi melainkan hanya menerangkan haramnya memakan daging babi, sedangkan hewan hidup tidak ada yang najis.
Anjing dan Babi Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali
Imam Syafi’i dan imam Hambali berpendapat bahwa anjing dan babi tergolong hewan yang najis, baik ketika hidup atau sudah mati, pernyataan ini bertendensi pada firman Allah dan hadits Nabi yang berbunyi:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ ….. ( المائدة: 3 )
Artinya: “Diharamkan bagi kamu bangkai, darah, daging babi…” (QS. Al Maidah: 3)
قال النبي صلى الله عليه وسلم إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليغسّله سبعا إحداهن بالتراب (متفق عليه )
Artinya: Nabi bersabda :”Apabila wadah (sesuatu milik)mu dijilat anjing, maka basuhlah dengan tujuh kali basuhan”. (HR. Bukhori-Muslim).
Air merupakan satu-satunya dzat yang mampu menghilangkan najis, sebagaimana keterangan yang termaktub dalam Al Qur’an. Namun sebagian dari kalangan ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa yang bisa menghilangkan najis bukan hanya air (yang murni), melainkan setiap cairan yang dihasilkan dari perasan yang mengandung air, seperti air mawar.
Secara garis besar ulama-ulama madzhab mempunyai prinsip yang sama mengenai cara membersihkan najis, yaitu apabila najisnya ‘ainiyah (terdapat rasa, bahu atau warna) harus menghilangkan dzatnya najis, yaitu dengan menghilangkan rasa, bahu dan warna najis, dan bila najisnya hukmiyah (tidak ada rasa, bahu atau warna) maka dengan membasuh tempat najis sampai adanya dugaan kalau najisnya sudah hilang.
Ulama madzhab Syafi’i dan madzhab Hambali menyatakan bahwa hukum anjing dan babi adalah najis mughladzah (berat hukumnya) karena lebih menyoroti pada dzahirnya tekstual hadits yang menyebutkan beberapa ketentuan tentang cara mensucikannya, yaitu harus dengan tujuh kali basuhan dengan dicampuri debu pada salah satunya. Namun sebagian ulama dari kedua madzhab ini berpendapat debu yang disyaratkan sebagai campurannya boleh diganti dengan yang lainya, seperti sabun.
Imam Malik, imam Syafi’i dan imam Hambali berpendapat bahwa sesuatu yang cair selain air yang terkena najis tidak bisa disucikan, lain halnya dengan konsepnya imam Hanafi yang menyatakan bahwa hal tersebut masih dapat disucikan dengan menuangkan air kedalam cairan tersebut, kemudian airnya diangkat kembali, dan cara ini diulang sampai tiga kali. Contoh barang yang cair selain air adalah minyak.