404 Not Found

Maaf, halaman yang anda cari tidak tersedia atau URL yang Anda inputkan salah

Daftar Lengkap Halal-Haram Binatang ala Mazhab Syafi’i

Mustaqim.NETAda pararabu yang bertanya via chat, bagaimana hukum memakan binatang musang, tupai dan landak? Dari pada saya jawab chat dengan panjang lebar, tentunya gak rentet, kami rangkumkan dalam artikel ini seputar kehalalan dan keraman seekor binatang dalam mazhab Syafi’i.

Mengapa mazhab Syafi’i? Alasannya jelas. Kami menulisnya di Indonesia, yang notabene bermazhab Syafi’i dan pararabu yang bertanya pun juga bermazhab Syafi’i. Ini juga karena memerlukan perincian-perincian tertentu, tidak seperti mazhab Maliki yang berpendapat semua binatang halal, kecuali babi. Karena hanya babi yang termaktub dalam al-Quran. Sedangkan mengonsumsi binatang buas, bagi penganut mazhab Maliki, sebatas makruh.

Sejatinya, dalam internal mazhab Syafi’i sendiri banyak perbedaan pendapat, sehingga kami menyuguhkan pendapat yang lebih kuat. Soal semisal pararabu mengikuti pendapat yang lain, monggo dipersilahkan.

Ciri Binatang yang Haram Kita Konsumsi

Ada beberapa ciri yang menadikan binatang itu haram dikonsumsi, salah-satunya:

  1. Bertaring atau Bercakar seperti elang, singa, macan kumbang, macan tutul, harimau, kucing, anjing, kera, jerapah, serigala, gajah, beruang dan musang (سانور الزبد).
  2. Hidup di Dua Alam seperti katak, ketam, buaya, dan kura-kura/penyu.
  3. Berbisa: seperti kalajengking dan ular
  4. Binatang yang Haram Dibunuh: seperti kelelawar, keledai peliharaan, semut dan lebah.
  5. Binatang yang Sunah Dibunuh: seperti burung gagak, tikus, dan kutu.
  6. Menjijikkan: seperti bekicot, lalat, burung merak, burung hantu, burung bangau, dan kecoa.
  7. Melata: seperti kadal, bunglon, tokek, cicak, jangkrik, nyamuk, dan lintah.

Binatang yang Halal Dimakan

Di antara binatang yang halal di makan antara lain:

  1. Kelinci
  2. Marmut
  3. Kijang
  4. Tupai (سنجاب)
  5. Garangan (ثعلب)
  6. Keledai liar
  7. Unta
  8. Sapi, termasuk banterng
  9. Kambing
  10. Kerbau
  11. Landak (قنقذ)
  12. Kuda
  13. Ayam
  14. Burung Pipit
  15. Gagak hitam
  16. Burung air
  17. Merpati
  18. Ikan
  19. Belut
  20. Belalang
  21. Puyuh
  22. Angsa
  23. Itik
  24. Adh-Dhab

Dan tentunya binatang-binatang lain yang tidak memiliki ciri-ciri keharaman.

Hubungan Syariat, Tarekat, dan Hakikat

Mustaqim.NET Ada dari pararabu yang terkadang masih bingung kaitan antara syariat, tarekat dan hakikat. Untuk itu, kami akan merangkumkan kepada pararabu, berdasarkan perumpamaan para ulama.

Pembahasan ini erat kaitannya dengan hidayah. Layaknya segala hal, hidayah memiliki permulaan dan puncak. Permulaan hidayah ialah syariat dan tarekat, sedangkan puncaknya adalah hakikat. Syekh Nawawi, Banten, menyebutkan dalam Maraqil-‘Ubudiyah:

أن الهداية أي سلوك الطريق إلى الله تعالى التي هي ثمرة العلم لها بداية وهي المسماة بالشريعة والطريقة ونهاية وهي المسماة بالحقيقة لأن حقيقة الشيء منتهاه، وهي ثمرة الشريعة والطريقة

“Sesungguhnya hidayah; jalan menuju Allah–yang mana hal itu merupakan buah dari pengetahuan–memiliki permulaan, yaitu syariat dan terekat. Juga, memiliki puncak, yaitu hakikat. Karena hakikat sesuatu ialah puncaknya. Hakikat sendiri adalah buah dari syariat dan tarekat.”

Selain tentang permulaan dan puncak, hidayah memiliki dua corak, lahir dan batin. Syekh Nawawi dalam kitab yang sama melanjutkan:

وظاهر وباطن فإن كل باطن له ظاهر وعكسه، فالشريعة ظاهر الحقيقة والحقيقة باطنها وهما متلازمان معنى، فشريعة بلا حقيقة عاطلة، أي خالية من الثمرات وحقيقة بلا شريعة باطلة، أي لاغية لا خير فيها ولا حاص لها،

“(Hidayah itu) memiliki sisi lahir dan batin. Karena setiap yang batin, pasti memiliki sisi lahir, begitu pun sebaliknya. Syariat itu tampak lahir dari hakikat, sedangkan hakikat adalah batinnya. Keduanya merupakan kelaziman. Syariat tanpa hakikat merupakan kekosongan, yakni kosong akan buah. Hakikat tanpa syariat jelas keliru. Dengan arti, tak ada tujuan dan kebaikan di dalamnya dan tidak ada keuntungan sama-sekali.”

Perbedaan Syariat, Tarekat dan Hakikat

Imam ash-Shawi memberikan rincian dari ketiganya. Syariat beliau definisikan dengan:

الأحكام التي كلفنا بها رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الله جل وعلا من الواجبات والمندوبات والمحرمات والمكروهات والجائزات

“Hukum yang telah Rasulullah taklif kepada kita dari Allah, baik berupa perkara wajib, mandub, haram, makruh dan jaiz.”

Sedangkan tarekat beliau artikan dengan:

العمل بالواجبات والمندوبات، والترك للمنهيات والتخلي عن فضول المباحات والأخذ بالأحوط كالورع، وبالرياضة من سهر وجوع وصمت

“Mengamalkan perkara wajib dan sunah, meninggalkan yang dilarang, serta menghindari yang hal mubah yang tidak perlu dan mengambil sikap paling berhati-hati, seperti wara’, dan riyadhah dengan ketekunan, kesabaran, dan berdiam diri.”

Untuk hakikat sendiri, beliau artikan dengan:

فهم حقائق الأشياء كشهود الأسماء والصفات، وشهود الذات وأسرار القرآن، وأسرار المنع والجواز، والعلوم الغيبية التي لا تكتسب من معلم

“Memahami hakikat sesuatu, seperti nama-sifat Allah, serta musyahadah kepada-Nya. Juga, memahami asrar al-Quran, rahasia dari yang dilarang dan diperbolehkan, serta ilmu gaib yang tidak bisa didapatkan dari seorang pengajar.”

Dengan begitu, bisa kita simpulkan, syariat merupakan ajaran agama, tarekat adalah bagaimana kita mengamalkan ajaran tersebut. Dengan begitu, kita bisa sadar dengan hakiki, itulah hakikat.

Kisah Nyata Anak Kecil Menyanggah Seorang Syekh

Mustaqim.NETJika pararabu termasuk orang yang jengkel jika ada junior menyanggah senior, ada baiknya pararabu menyimak kisah berikut ini. Kisah ini tertera dalam kita Maraqil-‘Ubudiyah, karya Syekh Nawawi, Banten. Beliau mengisahkan:

Konon, ada majelis para ulama dari empat mazhab belajar. Iya, majelis ini murid-muridnya adalah para ulama. Pengajarnya merupakan seorang imam agung yang sudah tersohor. Beliau adalah Syekh Man’usy. Saat mengajar para imam yang agung, beliau menuturkan kejanggalannya akan rumusan Imam asy-Syafi’i yang berupa:

إذا دخل شرط على شرط، فلا يوجب الحكم إلا بتقديم المؤخر

“Bila ada syarat masuk ke syarat, maka tidak terjadi hukum apa pun, terkecuali mendahulukan syarat yang akhir.”

Dari rumusan tersebut, muncullah hukum berikut ini: jika suami mengakatan, “Bila kamu masuk rumah, maka kau tertalak,” dari rumusan tersebut, perceraian tidak terjadi seketika, terkecuali si istri masuk rumah. Beliau merasa janggal lantaran tidak pernah menemukan padanan serupa dalam bahasa Arab.

لم نر لهذا القول دليلاً في كلام العرب

“Tak satu pun dalil serupa dalam bahasa Arab,” begitu ungkapnya.

Tiba-tiba muncul suara anak kecil. “Rumusan Imam asy-Syafi’i sudah sangat benar,” begitulah suara kecil tersebut yang mengagetkan Syekh Man’usy dan para jemaah. Para jemaah pun jengkel dan menegur anak kecil tersebut. Rupanya, anak tersebut adalah Syekh Hamdan yang kala itu masih sangat muda.

Namun, dengan kebijaksanaan Syekh Man’usy, beliau mempersilahkan anak tersebut. Syekh Man’usy balik menegur para jemaah yang mencegah anak kecil tersebut, seraya mengatakan:

دعوه فإنه ليس بيننا وبين الحق خصومة، وإن كان من صغير

“Biarkan dia bersuara, karena dalam urusan kebenaran tidak ada permusuhan di antara kita. Toh, meski pun kebenaran datang dari seorang bocah,” ujar beliau.

ومن خصوصيتنا قبول الحق، ولو من صغير، ورد الصغير على الكبير في الحق بخلاف الأمم السابقة إذا أخطأ الكبير لم يتجاسر أحد على الرد عليه، فيصير خطؤه شريعة يعمل بها في الكون

“Termasuk keistimewaan umat Islam ialah menerima kebenaran, meski pun datang dari seorang bocah. Anak kecil pun boleh menegur orang yang sudah tua. Ini berbeda dengan umat terdahulu, yang mana jika ada seorang tokoh melakukan kesalahan, tidak satu pun orang yang berani menegur. Jika begitu, kesalahan tersebut malah menjadi syariat bagi masyarakat tersebut,” tambah beliau.

Usai menasehati para jemaah, Syekh Man’usy fokus menghadapkan wajah berkharisma beliau kepada Syekh Hamdan muda. “Silahkan lanjutkan,” pinta Syekh Man’usy.

“Apa pendapat Anda terhadap syair Arab berikut ini?” Tanya balik Syekh Hamdan seraya menyodorkan sebuah syair yang memiliki dua syarat berikut ini:

إنْ يَسْتَغِيثُوا بِنَا إنْ يُذْعرُوا يَجِدُوا * مِنَّا مَعَاقِدَ عِزَ زَانَهَا كَرَمُ

“Jika mereka meminta tolong kepada kita, jika mereka ketakutan, maka mereka akan mendapatkan dari kita tempat-tempat perjanjian yang agung, yang berhias kemuliaan.”

Mendengar syair tersebut, Syekh Man’usy bahagia sekali menyadari keselahannya. Beliau sadar bahwa dalam syair tersebut sudah ada pepatah Arab yang tentunya mendahulukan syarat yang akhir. Meminta tolong tentu setelah terjadi ketakutan.

صدقت يا ولدي

“Engkau benar, Nak,” ujar Syekh Man’usy dengan tersenyum bangga seraya mendoakan kebaikan kepada Syekh Hamdan muda.

Dengan penuh rendah hati, Syekh Hamdan muda bercerita:

ولم أكن أهلاً للرد إلا أني ظننت أن الإمام الشافعي هو الذي حرك لساني بالكلام

“Saya bukan seorang yang ahli dalam hal ini. Hanya saja seakan Imam asy-Syafi’i yang menggerakkan lisanku,” begitulah pengakuan dari Syekh Hamdan.

Dalam kisah tersebut, tergambar jelas renungan dari sebuah syair Arab yang berbunyi:

وَكَمْ مِنْ صَغِيرٍ لاحَظَتْهُ عِنَايَةٌ * مِنَ الله فاحْتَاجَتْ إِلَيْهِ الأكابِرُ

“Betapa banyak bocah yang mendapat pertolongan Allah, sehingga para pembesar membutuhkannya.”

Teks Doa Panjang Setelah Salat Fajar Beserta Terjemah Bahasa Indonesia

Mustaqim.NET Kali ini saya akan membagikan doa setelah salat fajar, sebagaimana tuntunan baginda Nabi Muhammad ﷺ. Doa ini saya dapatkan dalam kitab Bidayatul-Hidayah adikarya al-Imam al-Ghazali. Tidak lupa kami menyertakan terjemahannya, agar pararabu sekalian yang kurang bisa mengerti bahasa Arab, bisa juga meresapi maknanya. Karena yang terpenting dalam doa adalah bukan soal bahasa, melainkan permohonan kepada Allah ﷻ.

Dalam sebuah riwayat Sayyidina Ibnu ‘Abbas, baginda Nabi Muhammad ﷺ membaca doa ini setelah salat dua rakaat fajar. Namun, dalam riwayat lain tersebutlah bahwa beliau memanjatkan doa ini setelah salat malam pada malam Jumat. Dengan begitu, doa ini adalah doa setelah salat fajar, sekaligus doa pada malam Jumat.

Doa Bahasa Arab dan Terjemahnya

اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك رَحْمَةً مِنْ عِنْدِك، تَهْدِي بِهَا قَلْبِي، وَتَجْمَعُ بِهَا شَمْلِي، وَتَلُمُّ بِهَا شَعْثِي، وَتَرُدُّ بِهَا أُلْفَتِي وَتُصْلِحُ بِهَا دِينِي وَتَحْفَظُ بِهَا غَائِبِي، وَتَرْفَعُ بِهَا شَاهِدِي، وَتُزَكِّي بِهَا عَمَلِي، وَتُبَيِّضُ بِهَا وَجْهِي، وَتُلْهِمُنِي بِهَا رُشْدِي، وَتَقْضِي لِي بِهَا حَاجَتِي، وَتَعْصِمُنِي بِهَا مِنْ كُلِّ سُوءٍ،

“Ya Allah, saya memohon rahmat dari-Mu. (Rahmat) yang menunjukkan hatiku, mengumpulkan urusanku yang tercerai-berai, menyatukan kembali urusanku yang berserakan, mengembalikan rasa cintaku, memperbaiki agamaku, menjaga keadaan gaibku, mengangkat derajat keadaan zahirku, menyucikan amalku, memutihkan wajahku (pada hari kiamat), mengilhami kebenaranku, memenuhi hajatku, dan menjagaku dari segala keburukan.”

اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك إيمَانًا خَالِصًا دَائِمًا يُبَاشِرُ قَلْبِي، وَيَقِينًا صَادِقًا، حَتَّى أَعْلَمَ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَنِي إلَّا مَا كَتَبْتُه عَلَيَّ، وَرَضِّنِي بِمَا قَسَمْتَهُ لِي،

“Ya Allah, aku memohon iman murni dan abadi di hatiku. (Aku memohon) pula keyakinan yang benar, hingga aku menyadari bahwa tidak akan terjadi kepadaku, selain yang telah Engkau tetapkan kepadaku. Buatlah (hatiku) rida kepada bagianku dari-Mu.”

اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك إيمَانًا صَادِقًا، وَيَقِينًا لَيْسَ بَعْدَهُ كُفْرٌ؛ وَأَسْأَلُك رَحْمَةً أَنَالُ بِهَا شَرَفَ كَرَامَتِك فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ؛

“Ya Allah, aku memohon iman yang benar, keyakinan tanpa kekufuran setelahnya. Aku memohon rahmat yang mengantarkanku mendapatkan kemuliaan karamah-Mu di dunia dan akhirat.”

اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الْفَوْزَ عِنْدَ اللِّقَاءِ وَالصَّبْرَ عِنْدَ الْقَضَاءِ، وَمَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَعَيْشَ السُّعَدَاءِ وَالنَّصْرَ عَلَى الْأَعْدَاءِ، وَمُرَافَقَةَ الْأَنْبِيَاءِ؛

“Ya Allah, aku memohon keberuntungan saat berjumpa dengan-Mu, sabar atas ketetapan-Mu. (Ya Allah saya memohon) derajat para syuhada, kehidupan orang-orang yang bahagia, pertolongan melawan musuh, dan bersua dengan para nabi.”

اللَّهُمَّ إنِّي أُنْزِلُ بِك حَاجَتِي، وَإِنْ ضَعُفَ رَأْيِي وَقَصَّرَ عَمَلِيْ، وَافْتَقَرْتُ إلَى رَحْمَتِكَ فَأَسْأَلُك يَا قَاضِيَ الْأُمُورِ وَيَاشَافِي الصُّدُورَ، كَمَا تُجِيرُ بَيْنَ الْبُحُورِ أَنْ تُجِيرَنِي مِنْ عَذَابِ السَّعِيرِ، وَمِنْ دَعْوَةِ الثُّبُورِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْقُبُورِ؛

“Ya Allah, penuhi hajatku, meski pun pikiranku lemah, dan amal (ibadahku) kurang, aku sangat membutuhkan terhadap rahmat-Mu. Aku memohon kepada-Mu, wahai Zat yang Maha Memenuhi Segala Hajat, wahai Zat Penyembuh Hati, sebagaimana Engkau memisahkan dua lautan, pisahlah kami dari siksa neraka, seruan celaka, dan dari fitnah kubur.”

اللَّهُمَّ مَا قَصَّرَ عَنْهُ رَأْيِي، وَضَعُفَ عَنْهُ عَمَلِي، وَلَمْ تَبْلُغْهُ نِيَّتِي وَأُمْنِيَتِي، مِنْ خَيْرٍ وَعَدْته أَحَدًا مِنْ عِبَادِك أَوْ خَيْرٍ أَنْتَ مُعْطِيهِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِك فَإِنِّي أَرْغَبُ إلَيْك فِيهِ، وَأَسْأَلُك إيَّاهُ يَارَبَّ الْعَالَمِينَ؛

“Ya Allah, segala sesuatu tidak mampu saya pikirkan, tidak mampu saya kerjakan, serta tidak sampai niat dan harapan, dari segala kebaikan yang Engkau janjikan kepada seorang hamba-Mu, kebaikan yang engkau berikan kepada seorang makhluk-Mu, aku sangat menginginkannya, dan memohon kepada-Mu, wahai Tuhan Semesta Alam.”

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا هَادِينَ مُهْتَدِينَ، غَيْرَ ضَالِّينَ وَلَا مُضِلِّينَ؛ حَرْبًا لِأَعْدَائِك سِلْمًا لِأَوْلِيَائِك نُحِبُّ بِحُبِّكَ النَّاسَ، وَنُعَادِي بِعَدَاوَتِكَ مَنْ خَالَفَكَ مِنْ خَلْقِكَ؛

“Ya Allah, golongkan kami sebagai orang yang mencerahkan dan yang tercerahkan. Bukan orang yang menyesatkan dan yang tersesat; sebagai orang yang memusuhi musuh-musuh-Mu, dan berdamai degan para wali-Mu. Mencintai seseorang, karena kecintaan pada-Mu, dan memusuhi makhluk-Mu yang menentang-Mu.”

اللَّهُمَّ هَذَا الدُّعَاءُ وَعَلَيْكَ الْإِجَابَةُ وَهَذَا الْجُهْدُ وَعَلَيْك التُّكْلَانُ، وَإِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ؛ اللَّهُمَّ ذَا الْحَبْلِ الشَّدِيدِ، وَالْأَمْرِ الرَّشِيدِ، أَسْأَلُك الْأَمْنَ يَوْمَ الْوَعِيدِ، وَالْجَنَّةَ يَوْمَ الْخُلُودِ مَعَ الْمُقَرَّبِينَ الشُّهُودِ، وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ، الْمُوفِينَ لَك بِالْعُهُودِ؛ إنَّك رَحِيمٌ وَدُودٌ وَإِنَّك تَفْعَلُ مَا تُرِيْدُ سُبْحَانَ مَنْ تَعَطَّفَ بِالْعِزِّ وَقَالَ بِهِ، سُبْحَانَ مَنْ لَبِسَ الْمَجْدَ وَتَكَرَّمَ بِهِ، سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنْبَغِي التَّسْبِيحُ إلَّا لَهُ، سُبْحَانَ ذِي الْفَضْلِ وَالنِّعَمِ، سُبْحَانَ ذِي الْجُودِ وَالْكَرَمِ، سُبْحَانَ الَّذِي أَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ بِعِلْمِهِ؛

“Ya Allah, ini doa kami, sedangkan Engkau yang berhak mengijabah. Sebatas ini kemampuan kami, dan kepadamu kami bersandar. Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali. Tiada daya dan kekuatan melainkan pertolongan Allah yang Maha Tinggi dan Agung.

Ya Allah, sang pemilik tali yang kuat (al-Quran) dan ajaran yang benar, aku memohon keselamatan pada hari ancaman, kami memohon surga pada hari keabadian. Bersua bersama dengan orang-orang yang dekat dengan Allah, yang memandang Allah, orang-orang yang ahli rukuk-sujud, yang senantiasa menepati janjinya kepada-Mu.

Sesungguhnya engkau Zat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Engkau melakukan apa pun yang Engkau kehendaki.

Mahasuci zat yang memiliki segenap kekuatan dan mengalahkan semua yang kuat. Mahasuci zat yang menyandang keluhuran, dan menganugerahi dengannya (kepada hamba-Nya). Mahasuci zat yang tak layak disucikan selain kepada-Nya. Mahasuci zat pemilik anugerah dan kenikmatan. Mahasuci Zat yang Mahadermawan dan Pemurah. Mahasuci zat yang mengetahui hitungan segala sesuatu.”

اللَّهُمَّ اجْعَلْ لِي نُورًا فِي قَلْبِي، وَنُورًا فِي قَبْرِي، وَنُورًا فِي سَمْعِي وَنُورًا فِي بَصَرِي وَنُورًا فِي شَعْرِي، وَنُورًا فِي بَشَرِي، وَنُورًا فِي لَحْمِي، وَنُورًا فِي دَمِي، وَنُورًا فِي عِظَامِي، وَنُورًا مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَنُورًا مِنْ خَلْفِي وَنُورًا مِنْ يَمِينٍ وَنُورًا عَنْ شِمَالِي وَنُورًا مِنْ فَوْقٍ وَنُورًا مِنْ تَحْتِي؛ اللَّهُمَّ زِدْنِي نُورًا، وَأَعْطِنِي نُورًا أَعْظَمَ نُورٍ، وَاجْعَلْ لِي نُورًا بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ

“Ya Allah, ciptakanlah cahaya dalam hatiku, cahaya dalam kuburku, cahaya di pendengaranku, cahaya di pengelihatanku, cahaya di rambutku, cahaya di kulitku, cahaya di dagingku, cahaya di darahku, cahaya di tulangku, cahaya di hadapanku, cahaya di belakangku, cahaya di kananku, cahaya di kiriku, cahaya di atasku, dan cahaya di bawahku. Ya Allah, tambahlah cahaya kepadaku, berikan aku cahaya yang paling agung, jadikanlah kepadaku cahaya dengan rahmatmu, wahai Zat Yang Maha Penyayang dari para penyayang.”

 

Sejarah Mimbar Masjid Nabawi

Mustaqim.NET Ini adalah foto saya di depan mimbar kuno Masjid Nabawi. Mimbar ini terletak di Prophet’s Mosque Building Exhibition, sebelah Masjid Nabawi. Mimbar ini merupakan pemberian Sultan Abu Al-Nasr Sayf ad-Din Al-Ashraf Qaitbay pada tahun 888 H. Mimbar ini tidak tergantikan sampai pada tahun 998 H. Pada tahun tersebut, Sultan Murad III menginisiasi pembuatan mimbar dengan gaya modern dan mewah berlapiskan emas. Mimbar itulah yang sampai saat ini dipakai di Masjid Nabawi. Adapun mimbar Qaitbay ini dipindahkan ke Masjid Quba’, dan kini dimuseumkan di Prophet’s Mosque Building Exhibition.

Sejarah mimbar Masjid Nabawi semejak masa baginda Nabi Muhammad ﷺ beberapakali mengalami perubahan. Pada zaman baginda Nabi Muhammad ﷺ mimbar masih seperti tangga kayu. Iya, hanya berupa balok kayu, tanpa ada pegangan dan atap. Terdiri dari dua anak tangga dan tempat duduk. Baginda Nabi Muhammad ﷺ duduk di atas mimbar, dan meletakkan kaki mulianya di anak tangga kedua.

Saat masa kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau tidak menempati tempat duduk baginda Nabi Muhammad ﷺ. Beliau duduk di anak tangga kedua, dan meletakkan kakinya di anak tangga pertama. Begitu pun saat masa Sayyidina Umar bin al-Khaththab, beliau tidak menempati tempat duduk Sayyidina Abu Bakar, melainkan beliau duduk di anak tangga pertama dan meletakkan kakinya di lantai. Tempat tersebut dilanjutkan Sayyidina Utsman bin ‘Affan, selama enam tahun. Setelah itu, Sayyidina Utsman bin ‘Affan dengan beberapa pertimbangan, beliau menempati tempat duduk baginda Nabi Muhammad ﷺ.

Pada masa Kekhalifahan Umayyah, Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan menambahkan enam anak tangga. Pada zaman Kekhalifahan Abbasiyah, beberapa khalifah memperbarui mimbar karena kondisinya yang sudah termakan usia. Pada tahun 654 H, Masjid Nabawi kebakaran, termasuk mimbarnya. Kala itu, Raja Al-Muzhaffar mengirim mimbar baru yang memiliki dua pegangan, yang ditempatkan persis di mimbar Nabi ﷺ semula. Mimbar terus mengalami pergantian pada tahun 664 H, 797 H, dan 820 H.

Pada tahun 886 H, Masjid Nabawi mengalami kebakaran untuk kedua kalinya. Penduduk Madinah kemudian membuat mimbar berbahan batu bata. Mimbar tersebut dipakai sampai pada tahun 888 H. Pada tahun itulah Sultan Abu Al-Nasr Sayf ad-Din Al-Ashraf Qaitbay membuatkan mimbar berbahan marmer yang terlihat di foto.

Kisah Pohon Kurma Menangis Merindu Baginda Nabi Muhammad ﷺ

Mustaqim.NET Sebelum ada mimbar Masjid Nabawi, Baginda Nabi Muhammad ﷺ berkhutbah berdiri di dekat pohon kurma. Lalu sahabat perempuan Ansar menghampiri Nabi ﷺ seraya mengusulkan:

ألَا أجْعَلُ لكَ شيئًا تَقْعُدُ عليه؟ فإنَّ لي غُلَامًا نَجَّارًا

“Sudikah engkau jika kubuatkan sesuatu yang bisa engkau duduki? Kebetulan, saya memiliki anak tukang kayu.”

Rasulullah ﷺ mengiyakan. Perempuan itu segera memberikan kabar gembira kepada anaknya tersebut, bahwa baginda Nabi ﷺ berkenan dibuatkan mimbar. Dengan bangga, anak tersebut membuat mimbar, dan meletakkannya di Masjid Nabawi, agar dipakai Rasulullah ﷺ saat khutbah.

Saat hari Jumat, Rasulullah ﷺ pergi menuju mimbar baru tersebut untuk berkhutbah. Pertengahan khutbah, terdengarlah suara jeritan pilu. Tidak hanya baginda Rasul ﷺ saja yang mendengar, tetapi para sahabat pun juga mendengar. Ternyata suara tersebut berasal dari pohon yang sebelumnya Rasulullah ﷺ berkhutbah di sana.

Begitu keras suara tersebut, sehingga digambarkan dalam sebuah riwayat:

حتَّى كَادَتْ تَنْشَقُّ

“Hingga seakan pohon tersebut pecah”

Sayyidina Anas menceritakan:

فحنت الْخَشَبَة حنين الوالدة

“Pohon itu merindu, layaknya rindu seorang orangtua kepada anaknya”

Tidak hanya tangisan, pohon itu bergerak-gerak menahan rindu yang tak terbendung. Sayyidina Jabir mengisahkan:

اضْطَرَبَتْ تِلْكَ السارية كحنين النَّاقة الحلوج

“Batang pohon itu bergoncang, seperti kerinduan induk unta yang diambil anaknya.”

Melihat kejadian itu, baginda Nabi Muhammad ﷺ turun dari mimbar, menghampiri pohon tersebut. Menghiburnya seraya mengelusnya dengan penuh kasih sayang sampai pohon itu tenang.

Tidak hanya itu, beliau menghiburnya dengan menawarkan sesuatu yang sangat istimewa, dengan sabdanya:

اخْتَرْ أَنْ أَغْرِسَكَ فِي الْمَكَانِ الَّذِي كُنْتَ فِيهِ، فَتَكُونَ كَمَا كُنْتَ، وَإنْ شِئْتَ أَنْ أَغْرِسَكَ فِي الْجَنَّةِ ، فَتَشْرَبَ مِنْ أَنْهَارِهَا وَعُيونِهَا فَيَحْسُنَ نَبْتُكَ، وَتُثْمِرَ ، فَيَأْكُلَ أَوْلِيَاءُ اللَّهِ مِنْ ثَمَرَتِكَ وَنَخْلِكَ فَعَلْتُ .

“Pilihlah, apakah aku akan menanammu kembali di tempatmu semula. Dengan begitu, engkau akan menjadi seperti sediakala. Ataukah aku akan menanammu di surga. Dengan begitu, engkau akan minum dari sungai-sungainya dan mata airnya, dan engkau akan tumbuh subur dan berbuah, dan para wali Allah akan memakan buah-kurmamu. Saya akan mengerjakannya.”

Para sahabat bertanya: pohon tersebut memilih yang mana? Baginda Nabi ﷺ menjawab:

اخْتَارَ أَنْ أَغْرِسَهُ فِي الْجَنَّةِ

“Dia memilih untuk saya tanam di surga”.

Baginda Nabi ﷺ menjelaskan kepada para sahabat tentang seberapa besar rasa rindu pohon tersebut. Beliau bersabda:

لَوْ لَمْ أَحْتَضِنْهُ لَحَنَّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Andai tidak kupeluk, niscaya pohon tersebut menangis-rindu sampai kelak hari kiamat.”

Sayyidina Hasan kerap menceritakan kisah tersebut. Tiap beliau menceritakan, tiap itu pula beliau menangis, seraya bersabda:

يَا عِبَادَ اللَّهِ الْخَشَبَةُ تَحِنُّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَوْقًا إِلَيْهِ لِمَكَانِهِ مِنَ اللَّهِ، فَأَنْتُمْ أَحَقُّ أَنْ تَشْتَاقُوا إِلَى لِقَائِهِ

“Wahai hamba Allah, sebatang kayu merindukan baginda Nabi ﷺ dengan rindu begitu besar karena tempatnya di sisi Allah ﷻ, antum sekalian tentunya lebih berhak untuk merindukan pejumpaan dengan baginda Nabi ﷺ.”

Semoga kisah ini menambah kerinduan kita kepada baginda Nabi Muhammad ﷺ, dan kelak kita berada dalam barisan beliau. Amin ya rabbal-‘alamin.

Hukum Menyentuh Anjing dalam Keadaan Kering

Mustaqim.NET Bagi pararabu yang kebetulan merantau ke daerah yang berdampingan dengan anjing, terkadang muncul pertanyaan bagaimana hukum menyentuh anjing dalam keadaan kering? Kita mendengar, bahwa najis anjing tergolong najis mughalladzah, lantas bagaimana dengan kita yang menyentuhnya dalam keadaaan kering?

Pertanyaan ini sebenarnya sangat simpel. Meski anjing berstatus najis mughalladzah, tetapi jika kita menyentuhnya dalam keadaan kering, kita tidak terkena najisnya. Hal ini sesuai dengan penjabaran najis mughalladzah sendiri dalam kitab Kasyifatus-Saja (hlm. 44) yang berbunyi:

المُغَلَّظَةُ أي مَا تَنَجَّسَ مِنَ الطَّاهِرَاتِ بِلِعَابِهَا أَوْ بَوْلِهَا أَوْ عِرْقِهَا أَوْ بِمُلَاقَاةِ أَجْزَاءِ بَدَنِهَا مَعَ تَوَسُّطِ رُطُوْبَةٍ مِنْ أَحَدِ جَانِبَيْهِ اهـ

“Mughalladzah yakni sesuatu yang menjadi najis dari barang suci lantara air liur, air kencing, keringat, atau dengan semua badannya beserta salah-satu dari yang disentuh/yang menyentuh terdapat basah.”
إذا اتصل النجس أو المتنجس بالطاهر نظر فإن كانا جافين فلا تؤثر النجاسة بالطاهر بناء على القاعدة الفقهية : الجاف طاهر بلا خلاف وإن كان أحدهما أو كلاهما رطبا تنجس الطاهر بالآخر
“Jika barang suci menyentuh barang najis atau mutanajjis, maka ditinjau terlebih dahulu. Bila keduanya kering, barang najis tersebut tidak berpengaruh terhadap barang suci tersebut. Sesuai dengan kaidah fikih: sesuatu yang kering, itu suci tanpa khilaf. Jika salah-satunya atau keduanya basah, maka yang suci menjadi mutanajjis.”

Bagaimana Cara Salat Makmum yang Tertinggal Bacaan Al-Fatihahnya Imam?

Mustaqim.NET Kami menjumpai pertanyaan dari pararabu terkait, “Bagaimana cara salat makmum yang tertinggal bacaan Al-Fatihahnya imam?”

Pertanyaan itu muncul lantaran al-Fatihah merupakan rukun dari salat itu sendiri. Sebuah hadis riwayat Muslim menyebutkan:

لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب

“Tiada salat bagi orang yang tidak membaca surah al-Fatihah”.

(HR. Muslim)

Di lain sisi, makmum harus mengikuti imam. Lantas, bagaimana jika makmum tidak bisa menyelesaikan bacaan Fatihah, imam sudah rukuk?

Untuk menjawabnya, kita tinjau terlebih dahulu imamnya. Pertama, jika memang imamnya sangat cepat, hingga makmum biasa memang tidak bisa merampungkan al-Fatihah, makmum wajib langsung rukuk bersama imam. Keadaan ini sejatinya seperti keadaan makmum masbuq.

Kedua, jika imamnya sedang-sedang saja, yakni sebenarnya makmum bisa merampungkan al-Fatihah, maka ada dua pendapat:

  1. Ada sebuah pendapat yang mengatakan: ikut rukuk bersama imam.
  2. Pendapat yang sahih: makmum harus merampungkan bacaan al-Fatihahnya, dengan catatan tidak ketinggalan sampai sujud kedua dari imam (ketinggalan tiga rukun salat maqshudah thawilah).

Jika imam sudah melakukan sujud kedua, tetapi Fatihah makmum belum selesai, maka ada dua pendapat:

  1. Memisahkan diri dari imam.
  2. Pendapat al-ashah: langsung sujud layaknya imam, tetapi setelah imam salam, makmum menambah rakaat yang tidak sempurna tersebut.

Namun, jika alasan makmum tidak dapat merampungkan al-Fatihah lantaran membaca iftitah terlebih dahulu, maka itu termasuk uzur, sehingga bisa langsung mengikuti imam. Tidak memerlukan peninjauan di atas.

Referensi:

al-Manhaj, karya Imam an-Nawawi I/53 :

وَإِنْ كَانَ بِأَنْ أَسْرَعَ قِرَاءَتَهُ وَرَكَعَ قَبْلَ إتْمَامِ الْمَأْمُومِ الْفَاتِحَةَ فَقِيلَ يَتْبَعُهُ وَتَسْقُطُ الْبَقِيَّةُ، وَالصَّحِيحُ يُتِمُّهَا وَيَسْعَى خَلْفَهُ مَا لَمْ يُسْبَقْ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَرْكَانٍ مَقْصُودَةٍ، وَهِيَ الطَّوِيلَةُ. فَإِنْ سُبِقَ بِأَكْثَرَ. فَقِيلَ يُفَارِقُهُ، وَالْأَصَحُّ يَتْبَعُهُ فِيمَا هُوَ فِيهِ ثُمَّ يَتَدَارَكُ، بَعْدَ سَلَامِ الْإِمَامِ، وَلَوْ لَمْ يُتِمَّ الْفَاتِحَةَ لِشُغْلِهِ بِدُعَاءِ الِافْتِتَاحِ فَمَعْذُورٌ، هَذَا كُلُّهُ فِي الْمُوَافِقِ.

البجيرمي
قَوْلُهُ: (كَأَنْ أَسْرَعَ) الْمُرَادُ بِالْإِسْرَاعِ الِاعْتِدَالُ، فَإِطْلَاقُ الْإِسْرَاعِ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ فِي مُقَابَلَةِ الْبُطْءِ الْحَاصِلِ لِلْمَأْمُومِ، وَأَمَّا لَوْ أَسْرَعَ الْإِمَامُ حَقِيقَةً بِأَنْ لَمْ يُدْرِكْ مَعَهُ الْمَأْمُومُ زَمَنًا يَسَعُ الْفَاتِحَةَ لِلْمُعْتَدِلِ فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمَأْمُومِ أَنْ يَرْكَعَ مَعَ الْإِمَامِ وَيَتْرُكَهَا لِتَحَمُّلِ الْإِمَامِ لَهَا وَلَوْ فِي جَمِيعِ الرَّكَعَاتِ ع ش عَلَى م ر وَق ل

الشرواني
وَعِبَارَةُ الْبُجَيْرِمِيِّ عَلَى الْمَنْهَجِ قَوْلُهُ كَأَنْ أَسْرَعَ إمَامٌ قِرَاءَتَهُ الْمُرَادُ مِنْهُ أَنَّهُ قَرَأَ بِالْوَسَطِ الْمُعْتَدِلِ أَمَّا لَوْ أَسْرَعَ فَوْقَ الْعَادَةِ فَلَا يَتَخَلَّفُ الْمَأْمُومُ لِأَنَّهُ كَالْمَسْبُوقِ وَلَوْ فِي جَمِيعِ الرَّكَعَاتِ كَمَا فِي ع ش عَلَى م ر

اعانة
(قوله: كإسراع إمام قراءة) تمثيل للعذر. والمراد بالإسراع: الاعتدال، فإطلاق الإسراع عليه لأنه في مقابلة البطء الحاصل للمأموم. وأما لو أسرع الإمام حقيقة بأن لم يدرك معه المأموم زمنا يسع الفاتحة للمعتدل فإنه يجب على المأموم أن يركع مع الإمام ويتركها لتحمل الإمام لها، ولو في جميع الركعات. اه ع ش.

 

5 Kriteria Syarat Wajib Berpuasa Ramadan

Mustaqim.NET – Definisi puasa (الصوم), puasa secara bahasa adalah menahan diri. Segala sesuatu yang bersifat menahan diri maka tergolong puasa secara bahasa. Puasa secara syariat Islam adalah: menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa dengan cara tertentu. Bagaimana caranya? Apa saja yang membatalkan? Artikel kali ini akan mengulasnya secara ringkas dan menyeluruh.

Seseorang tergolong wajib berpuasa bila memenuhi lima kriteria berikut ini:

1. Islam

Islam menjadi syarat ibadah secara umum, mulai dari bersuci, salat, zakat, puasa hingga haji. Orang kafir tidak terkena khitab berpuasa. Meski pun ia berpuasa, puasanya tidak diterima.

Jika sudah login agama Islam, orang tersebut wajib berpuasa, serta yang telah berlalu tidak perlu qada. Sesuai dengan firman Allah:

قُلْ لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِنْ يَّنْتَهُوْا يُغْفَرْ لَهُمْ مَّا قَدْ سَلَفَۚ وَاِنْ يَّعُوْدُوْا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ الْاَوَّلِيْنَ

Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya), “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu; dan jika mereka kembali lagi (memerangi Nabi) sungguh, berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu (dibinasakan).”

(QS. Al-Anfal: 38)

2. Mukalaf

Seseorang tergolong mukalaf (terkena taklif) jika telah memenuhi dua kriteria, balig dan berakal. Anak kecil (yang belum balig) tidak wajib puasa. Akan tetapi, orang tua wajib mengajarkan berpuasa ketika ia berumur tujuh tahun, bahkan menindaknya (dengan cara memukul yang tidak melukai) ketika meninggalkan puasa saat berumur sepuluh tahun.

Al-Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri memperjelas keterangan tersebut dengan menjabarkan bahwa: anak kecil diperintah puasa ketika umur tujuh tahun. Akan tetapi, berhak dipukul lantaran meninggalkan puasa ketika umur sepuluh tahun, jika memang pada umur tersebut ia mampu melakukan ibadah seperti salat.

Status puasa anak kecil yang belum balig, tetap sah dan mendapatkan pahala. Namun, tidak wajib sampai ia baligh. Hal tersebut sebagaimana penjelasan kebanyakan ulama. Namun, sebagian kecil ulama menjelaskan, anak kecil yang sudah berumur sepuluh tahun sudah wajib berpuasa, berdasarkan hadis:

إذَا أَطَاقَ الْغُلَامُ الصِّيَامَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَجَبَ عَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ.

“Jika seorang anak mampu menahan diri dari makan dan minum selama tiga hari, maka wajib baginya untuk berpuasa selama bulan Ramadhan.”

(HR. Abu Labibah Al-Ashaly)

Jika ada anak berpuasa, siang hari ia baligh, ia wajib menyempurnakannya, dan tidak perlu qadha. Bila ketika baligh tadi dalam keadaan tidak berpuasa, tidak perlu mengqadhainya, serta tidak wajib imsak. Hal tersebut juga berlaku kepada orang yang sembuh dari kegilaannya dan atau orang kafi masuk islam pada siang hari bulan Ramadan.

Tergolong sesuatu yang ulama sesalkan ialah, jika ada orang tua lalai dalam urusan mengajarkan anaknya dalam berpuasa. Hal ini berdampak buruk kepada anak. Dalam sebuah syair Arab karya Imam Abul ‘Ala al-Maarri tergambar:

وَيَنشَأُ ناشِئُ الفِتيانِ مِنّا * عَلى ما كانَ عَوَّدَهُ أَبوهُ

وَما دانَ الفَتى بِحِجىً وَلَكِن * يُعَلِّمُهُ التَدَيُّنَ أَقرَبوهُ

“Dan tumbuhlah anak muda dari kalangan kita
Menurut kebiasaan yang telah diajarkan oleh ayahnya

Bukan karena dia belajar dari guru
Namun ia belajar sopan santun dari keluarganya”

Jika orang tua sudah lalai, anak pun juga pasti lalai. Hal serupa sebagaimana syair berikut ini:

إِذَا كَانَ رَبُّ الْبَيْتِ بِالدَّفِّ ضَارِبًا * فَلَا تُلَمُّ الصِّبْيَانَ فِيهِ عَلَى الرَّقْصِ

“Jika tuan rumah menabuh rebana, jangan salahkan anak-anak karena menari.”

3. Mampu

Istilah mampu meninjau dari dua aspek. Ada dari sisi indriawi, ada juga dari sisi syariat. Orang yang tidak mampu berpuasa lantaran tua renta, sakit yang tidak mungkin sembuh, tidak wajib berpuasa lantaran masuk dalam kategori tidak mampu secara indriawi. Mereka memiliki kewajiban membayar fidyah.

Orang haid dan nifas, tergolong tidak mampu lantaran ada penghalang syariat. Mereka berkewajiban qadha.

4. Sehat

Tidak wajib puasa bagi orang sakit, jika ia khawatir dengan berpuasa terjadi mudarat. Jika ia berpuasa, maka tetap mendapat pahala.

Dalam Syarah al-Yaqut an-Nafis, ada sebuah kisah, Sayyid Yahya bin Ahmad Alydrus pernah mendapat pertanyaan dari hadirin terkait penyakit ginjal (maradhul-kula/مرض الكلى). Dokter menyarankan kepadanya untuk meminum air setiap 4 jam sekali. Jika tidak, penyakitnya bisa makin parah. Pertanyaannya, apakah ia boleh makan?

Beliau menjawab seraya mengutip ayat:

فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوْتُ بِالْجُنُوْدِ قَالَ اِنَّ اللّٰهَ مُبْتَلِيْكُمْ بِنَهَرٍۚ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّيْۚ وَمَنْ لَّمْ يَطْعَمْهُ فَاِنَّهٗ مِنِّيْٓ اِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً ۢبِيَدِهٖ ۚ

“Maka ketika Talut membawa bala tentaranya, dia berkata, ‘Allah akan menguji kamu dengan sebuah sungai. Maka barangsiapa meminum (airnya), dia bukanlah pengikutku. Dan barangsiapa tidak meminumnya, maka dia adalah pengikutku kecuali menciduk seciduk dengan tangan’.”

(QS. Al-Baqarah: 249)

Dengan ayat tersebut, minuman tercakup juga makanan. Sehingga jika ia diperkenankan minum, makan pun juga tidak masalah.

Namun, di sisi lain ada sebuah kisah dalam kitab yang sama terkait Sayyid Abu Bakar. Ada seorang pelajar bertanya kepada beliau terkait penyakitnya. Dokter menyarankan untuk minum, padahal ia sedang berpuasa.  Sayyid Abu Bakar mengatakan, “Silakan minum, tapi jangan makan. Lakukan sesuai apa yang diperintahkan dokter kepadamu. Jangan lebih.”

5. Muqimٍ

Syarat berikutnya adalah mukim (iqamah). Musafir, yang perjalanannya panjang, itu diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Berdasarkan firman Allah:

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ

“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Rasulullah sendiri terkadang memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa ketika sedang perjalanan, terkadang memerintahkan untuk tidak berpuasa. Yang afdala, adalah yang paling ringan.

Dalam sahih Muslim terdapat sebuah hadis:

أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ خَرَجَ عَامَ الفَتْحِ إلى مَكَّةَ في رَمَضَانَ، فَصَامَ حتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الغَمِيمِ، فَصَامَ النَّاسُ، ثُمَّ دَعَا بقَدَحٍ مِن مَاءٍ فَرَفَعَهُ، حتَّى نَظَرَ النَّاسُ إلَيْهِ، ثُمَّ شَرِبَ، فقِيلَ له بَعْدَ ذلكَ: إنَّ بَعْضَ النَّاسِ قدْ صَامَ، فَقالَ: أُولَئِكَ العُصَاةُ، أُولَئِكَ العُصَاةُ. [وفي رِوايةٍ زاد]: فقِيلَ له: إنَّ النَّاسَ قدْ شَقَّ عليهمُ الصِّيَامُ، وإنَّما يَنْظُرُونَ فِيما فَعَلْتَ، فَدَعَا بقَدَحٍ مِن مَاءٍ بَعْدَ العَصْرِ.
“Rasulullah pergi ke Makkah pada bulan Ramadan pada tahun Fathu Makkah. Beliau berpuasa sampai mencapai dataran Ghamim, lalu orang-orang pun berpuasa. Kemudian beliau meminta segelas air, lalu mengangkatnya hingga orang-orang melihatnya dan beliau meminumnya. Setelah itu, seseorang berkata kepada beliau bahwa ada beberapa orang yang berpuasa, maka beliau bersabda: ‘Mereka adalah orang-orang yang durhaka, mereka adalah orang-orang yang durhaka.’ [Dalam riwayat yang lain ditambahkan]: Kemudian ada yang berkata kepada beliau, ‘Orang-orang merasa berat untuk berpuasa.’ Maka beliau meminta segelas air setelah waktu ashar.”
(HR. Muslim)
Jika sedari pagi bepergian berniat puasa, atau sakit berniat puasa, tetapi di tengah hari ingin membatalkan, hal tersebut diperbolehkan. Jika tengah hari, musafir yang masih puasa tersebut sudah mukim, atau orang sakit yang penyakitnya sudah sembuh, menurut kaul sahih, tidak boleh membatalkan puasanya.
Namun, kalau sudah membatalkan, lalu tengah hari musafir tadi berstatus muqim, maka disunahkan untuk imsak (menahan diri tidak makan dan minum).

Baca dan Download Terjemah Bidayatul Hidayah PDF

Mustaqim.NET – Setelah sebelumnya, kami membahas terkait kitab Imam al-Ghazali berupa Kitab Ihya Ulumuddin Bab Jima’ PDF. kali ini kita beralih kepada kitab terjemah Bidayatul Hidayah PDF.

Bidayatul Hidayah adalah sebuah kitab yang ditulis oleh seorang ulama terkemuka dari abad ke-12, yaitu Imam Al-Ghazali. Kitab ini termasuk salah satu karya penting dalam sejarah keilmuan Islam, karena membahas tentang berbagai aspek dalam kehidupan manusia, mulai dari akhlak, ibadah, hingga tata cara bersosialisasi dengan orang lain.

Kitab Bidayatul Hidayah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan tersedia dalam format PDF. Di bawah ini adalah review atau penjelasan terkait terjemah kitab Bidayatul Hidayah PDF.

  1. Isi Kitab Bidayatul Hidayah

Kitab Bidayatul Hidayah terdiri dari delapan bab yang membahas tentang berbagai aspek kehidupan manusia. Bab pertama membahas tentang pentingnya ilmu pengetahuan dan mencari kebenaran. Bab kedua membahas tentang akhlak dan cara berinteraksi dengan sesama manusia. Bab ketiga membahas tentang tata cara beribadah, seperti shalat, puasa, dan zakat.

Bab keempat membahas tentang tata cara berpuasa Ramadhan dan amalan-amalan yang dianjurkan pada bulan suci tersebut. Bab kelima membahas tentang tata cara berhaji dan amalan-amalan yang dianjurkan pada bulan Dzulhijjah. Bab keenam membahas tentang tata cara bersosialisasi dengan sesama manusia dan menghindari sifat-sifat buruk.

Bab ketujuh membahas tentang akhlak para pemimpin dan kebijaksanaan dalam memimpin. Sedangkan bab terakhir membahas tentang pentingnya menghindari sifat sombong dan menempatkan diri di tempat yang seharusnya.

  1. Keunggulan Terjemah Kitab Bidayatul Hidayah PDF

Terjemah Kitab Bidayatul Hidayah PDF merupakan terjemahan yang cukup akurat dan mudah dipahami. Bahasa yang digunakan dalam terjemahan ini sangat mudah dipahami oleh pembaca yang tidak terlalu mahir dalam bahasa Arab. Selain itu, format PDF membuat kitab ini mudah diakses dan dibaca kapan saja dan di mana saja.

  1. Kelemahan Terjemah Kitab Bidayatul Hidayah PDF

Meskipun terjemahan Kitab Bidayatul Hidayah PDF cukup akurat, namun terdapat beberapa kata-kata yang sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini membuat terjemahan ini terkadang terasa kurang tepat dan membingungkan bagi pembaca.

Selain itu, ada juga beberapa bagian yang kurang detail dalam penjelasannya. Hal ini dapat membuat pembaca kesulitan memahami beberapa konsep dan pemahaman yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali.

  1. Kesimpulan

Kitab Bidayatul Hidayah merupakan salah satu karya penting dalam sejarah keilmuan Islam yang membahas tentang berbagai aspek kehidupan manusia. Terjemah Kitab Bidayatul Hidayah PDF adalah salah satu terjemahan yang cukup akurat dan mudah dipahami. Namun, terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan oleh pembaca

Unduh di sini: klik di sini

Hukum Posting Foto Korban Bencana

Mustaqim.NET – Di penghujung taun 2021 warga Lumajang dikejutkan dengan erupsi Gunung Semeru yang mengakibatkan ratrsan rumah penduduk terpendam, ribuan orang mengungsi, dan puluhlan orang meninggal dunia . Dari tragedi tersebut banyak bermunculan di media sosisal video dan foto-foto korban bencana yang dalam keadaan terkubur dan hangus akibat panasnya Gunung  Semeru. Termasuk video video yang beredar dari korban dari korban erupsi gunugn Semeru adalah Ibu Surati (70) dan anakanya Rumiati (28) (nama samaran), yang ditemukan tewas berpelukan pasca erupsi Gunung Semeru menyapu kediaman mereka di Desa Curah Kobokan diduga Ibu surati tidak sanggup berjalan karena faktor usia sedangkan rumiati tidak tega meninggalkan ibunya seorang diri. Keduanya ditemukan meninggal dunia dalam keadaan berpelukan (semoga Allah merahmatinya).dari tragedi tersebut memancing warga net untuk mengungkapkan bela sungkawa dan doa serta takziah melalui stiker dan / atau foto, atau denga menulis kalimat-kalimat bela sungkawa yang kemudian di bagikan baik pada media sosial atau secara pribadi bagi yang mengenal keluarga  korban.

Pertanyaan

  1. Bagaimana hukum mengunggah foto atau video korban sebagaimana dalam deskripsi ? 
  2. Apakah sudah dianggap mendapatkan kesunahan ungkapan bela sungkawa dan doa hanya melalui stiker dan / atau foto? serta apakah pahalanya bisa sampai kepada korban ?

Jawaban

  1. Ditafsil (ditinjau): tergantung kerelaan dari yang dipotret
  2. Harus dilafalkan

Referensi

  • احكام الفقهاء في مقررات مؤتمرات نهضة العلماء ص/ 93

ما حكم تصوير الانسان بالكتابة او بألة فوتوغرافية بغير اذن المصور ؟ اذا لم يرض المصور فحرام لانه اذاء الا ان يكون التصوير محتاجا حكما

  • الزواجر عن اقتراف الكبائر (2/ 402)

والوجه الذي دل عليه كلامهم أن ذلك كبيرة كما يعلم من ضابط العقوق الذي هو كبيرة ، وهو أن يحصل منه لهما أو لأحدهما إيذاء ليس بالهين أي عرفا ، ويحتمل أن العبرة بالمتأذي ، ولكن لو كان في غاية الحمق أو سفاهة العقل فأمرأو نهى ولده بما لا يعد مخالفته فيه في العرف عقوقا لا يفسق ولده بمخالفته حينئذ لعذره ، وعليه فلو كان متزوجا بمن يحبها فأمره بطلاقها ولو لعدم عفتها فلم يمتثل أمره لا إثم عليه كما سيأتي التصريح به عن أبي ذر رضي الله عنه ، لكنه أشار إلى أن الأفضل طلاقها امتثالا لأمر والده ، وعليه يحمل الحديث الذي بعده : { أن عمر أمر ابنه بطلاق زوجته فأبى فذكر ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم فأمره بطلاقها } .وكذا سائر أوامره التي لا حامل عليها إلا ضعف عقله وسفاهة رأيه ، ولو عرضت على أرباب العقول لعدوها أمورا متساهلا فيها ، ولرأوا أنه لا إيذاء لمخالفتها ، هذا هو الذي يتجه إليه في تقرير ذلك الحد .

  • الفتاوى الفقهية الكبرى (2/ 129)

وما حد البر والعقوق فأجاب بقوله إذا ثبت رشد الولد الذي هو صلاح الدين والمال معا لم يكن للأب منعه من السعي فيما ينفعه دينا أو دنيا ولا عبرة بريبة يتخيلها الأب مع العلم بصلاح دين ولده وكمال عقله نعم إن كان في البلد فجرة يأخذون من خرج من المرد إلى السوق مثلا قهرا عليهم تأكد على الولد إذا كان كذلك أن لا يخرج حينئذ وحده لنهيه صلى الله عليه وسلم عن الوقوع في مواطن التهم فأمر الوالد له في هذه الحالة بعدم الخروج مع الخوف يعذر فيه فلا يجوز للولد مخالفته إذا تأذى الوالد بذلك تأذيا ليس بالهين ولم يضطر الولد للخروج ولا يجوز للأمرد كما يعلم مما يأتي في قطع صلاة النفل السفر ولو للعلم إلا مع نحو محرم ورجاء حصول تعلم أو زيادة فيه وحينئذ لا نظر لكراهة الوالد له حيث لا حامل عليها إلا مجرد فراق الولد لأن ذلك حمق منه وحيث نشأ أمر الوالد أو نهيه عن مجرد الحمق لم يلتفت إليه أخذا مما ذكره الأئمة في أمره لولده بطلاق زوجته 

 وكذا يقال في إرادة الولد لنحو الزهد ومنع الوالد له أن ذلك إن كان لمجرد شفقة الأبوة فهو حمق وغباوة فلا يلتفت له الولد في ذلك وأمره لولده بفعل مباح لا مشقة على الولد فيه يتعين على الولد امتثال أمره إن تأذى أذى ليس بالهين إن لم يمتثل أمره ومحله أيضا حيث لم يقطع كل عاقل بأن ذلك من الأب مجرد حمق وقلة عقل لأني أقيد حل بعض المتأخرين للعقوق بأن يفعل مع والده ما يتأذى به إيذاء ليس بالهين بما إذا كان قد يعذر عرفا بتأذيه به أما إذا كان تأذيه به لا يعذره أحد به لإطباقهم على أنه إنما نشأ عن سوء خلق وحدة حمق وقلة عقل فلا أثر لذلك التأذي وإلا لوجب طلاق زوجته لو أمره به ولم يقولوا به 

 فإن قلت لو ناداه وهو في الصلاة اختلفوا في وجوب إجابته والأصح وجوبها في نفل إن تأذى التأذي المذكور وقضية هذا أنه حيث وجد ذلك التأذي ولو من طلبه للعلم أو زهده أو غير ذلك من القرب لزمه إجابته قلت هذه القضية مقيدة بما ذكرته إن شرط ذلك التأذي أن لا يصدر عن مجرد الحمق ونحوه كما تقرر ولقد شاهدت من بعض الآباء مع أبنائهم أمورا فيها ( ( ( في ) ) ) غاية الحمق التي أوجبت لكل من سمعها أن يعذر الولد ويخطئ الوالد فلا يستبعد ذلك 

 وبهذا يعلم أنه لا يلزم الولد امتثال أمر والده بالتزام مذهبه لأن ذاك حيث لا غرض فيه صحيح مجرد حمق ومع ذلك كله فليحترز الولد من مخالفة والده فلا يقدم عليها اغترارا بظواهر ما ذكرنا بل عليه التحري التام في ذلك والرجوع لمن يثق بدينهم وكمال عقلهم فإن رأوا للوالد عذرا صحيحا في الأمر أو النهي وجبت عليه طاعته وإن لم يروا له عذرا صحيحا لم يلزمه طاعته لكنها تتأكد عليه حيث لم يترتب عليها نقص دين الولد وعلمه أو تعلمه والحاصل أن مخالفة الوالد خطيرة جدا فلا يقدم عليها إلا بعد إيضاح السبب المجوز لها عند ذوي الكمال وقد علم مما قررته حد البر والعقوق فتأمل ذلك فإنه مهم 

 وسئل رضي الله عنه عمن استأجر من يحج عن ميت فهل يجب على الأجير إذا أحرم أن ينوي الإحرام عن المستأجر له أو يكفيه الإطلاق قال بعضهم إن كانت الإجارة في الذمة فلا بد من النية للمستأجر له وإن كانت إجارة عين وقد وقعت صحيحة في وقتها فلا يشترط بل الشرط أن لا يصرف الإحرام لغير المستأجر له وإن وقعت الإجارة فاسدة فلا بد من النية ليقع عن المستأجر له قال وقد يشكل على الأول ما ذكروه في خلع الزوجة فيما إذا وكلت الزوجة من يخالع عنها أن الوكيل له أن يخالع عن نفسه فهل ما ذكره من قوله الظاهر أنه إن كانت الإجارة في الذمة فلا بد من النية للمستأجر له وإن كانت إجارة عين وقد وقعت صحيحة فلا يشترط بل الشرط أن لا يصرف الإحرام لغير المستأجر له وإن وقعت فاسدة إلخ فهل كلامه هذا كله صحيح أم لا وهل استشكاله على ظاهره أم يمكن الفرق بين مسألة الوكالة ومسألة الإجارة 

 فإن قلتم بصحة كلام القائل بذلك الذي نقله عنه في غنية الفقير في أحكام الأجير فلو لم تكن  إجارة بل جعالة فهل الحكم فيها كما في الإجارة أفتونا وقد نقل في الكتاب المذكور آنفا أن الماوردي قال بعد ذلك بقليل تعيين من يؤدي عنه النسك شرط في إجزاء الحج دون صحة العقد فإن ذكره في العقد لم يحتج إلى ذكره فيما بعد وإن لم يذكره في العقد صح وليس للأجير الإحرام إلا بعد تعيين المحجوج عنه إلخ والمسألة واقعة لبعض اليمنة وإذا قيل بوجوب النية عند الإحرام فنسى فهل يكون النسيان عذرا أم لا وهل هذا من خطاب الوضع فلا يؤثر فيه النسيان أو من خطاب التكليف فيؤثر فيه النسيان 

 فأجاب بقوله ما ذكره بعضهم من التفصيل المذكور اعترضه غيره بأن الوجه أنه لا بد أن ينوي الإحرام عن المستأجر له في الجميع وهو اعتراض واضح ويوجه بأن الأجير في إجارة العين والذمة الصحيحة والفاسدة لو صرف الحج لنفسه وقع له فإذا أطلق تعارض أصل وقوع العبادة من المباشر وأصل وقوع العمل بعد عقد الإجارة عن المستأجر له ولا مرجح فوجب التمييز بالنية مطلقا وبهذا يعلم أن ما ذكره من الإشكال ليس في محله لأن الوكيل في مسألة الخلع كماله أن يخالع عن نفسه كذلك للأجير أن يحج عن نفسه كما تقرر فهما على حد واحد وأن من قال بأن الوكيل في مسألة الخلع لا يحتاج لنية له أن يفرق بين هذا وما نحن فيه بأن الوكيل لم يتعارض في حقه أصلان حتى يحتاج للتمييز بالنية بخلاف الأجير هذا ما يتعلق بنية الأجير 

 وأما ما يتعلق بمعرفة المحجوج عنه الذي كلام الماوردي المذكور فيه ففي اشتراط ذلك خلاف طويل بين الأصحاب وحاصل المعتمد منه أنه لا بد من تمييزه في النية بوجه ما وبهذا يجمع بين من أطلق اشتراط المعرفة ومن أطلق عدم اشتراطها والله سبحانه وتعالى أعلم بالصواب 

  • الزواجر عن اقتراف الكبائر (1/ 396)

تنبيه : عد هذا كبيرة وقع في كلام بعض الشافعية وكأنهم أخذوه من اللعن عليه المذكور وهو أخذ ظاهر إن آذى به غيره إيذاء لا يحتمل عرفا ، وعليه يحمل الحديث أيضا .

وأما قول أصحابنا بكراهته فيحمل على ما إذا خف الإيذاء به ، ويؤيد هذا التفصيل ما ذكرناه في كتبنا الفقهية في حمل السلاح في صلاة الخوف ، وتقبيل الحجر الأسود عند الزحمة وغير ذلك من أن الإيذاء إن خف كره وإلا حرم ، وبهذا اتضح أنه لا مخالفة بين كلام أئمتنا والحديث ، فتأمل ذلك فإني لم أر من تنبه له .

  • عمدة المفتي والمستفتي ج / 1 ص/ 152

(مسألة) لا يجوز اخذ كتاب الغير لينقل منه مسألة الا بإذن من مالكه فان اخذه بغير اذنه ضمنه ان تلف فاما اذا لم يأخذه ونقل منه المسألة من غبرلا استيلاء فهو جائز وان لم يرض صاحبها كاقتباس النار والحديث الوارد في النهي عن النظر في كتاب الغير بغير اذنه محمول على كتاب مشتمل على ما لا يرضى صاحبها بالاطلاع عليه كالرسائل المضمنة لخبر لا يرضى صاحبها بالعلم بما فيه بخلاف كتب العلم اهـ.   

  • اسعاد الرفيق ج / 2 صـ / 136 دار احياء كتب العريبة 

ومنها خروج المرأة من بيتها متعطرة او متزينة ولو كانت مستورة كان خروجها بإذن زوجها اذا كانت تمر في طريقها على رجال اجانب عنها لقوله عليه الصلاة والسلام ايما امرأة استعطرت فمرت على قوم يجد ريحها فهو زانية وكل عين زانية زانية الى ان قال في الزواجر وهو من الكبائر لصريح هذه الاحجاديث وينبغي حمله ليوافق قواعدنا على ما اذا تحققت الفتنة اما مجرد خيشتها فانما هو مكروه ومع ظنها حرام غير كبيرة كما هو ظاهر  

  • بغية المسترشدين (ص: 260)

(مسألة : ي) : كل معاملة كبيع وهبة ونذر وصدقة لشيء يستعمل في مباح وغيره ، فإن علم أو ظنّ أن آخذه يستعمله في مباح كأخذ الحرير لمن يحل له ، والعنب للأكل ، والعبد للخدمة ، والسلاح للجهاد والذب عن النفس ، والأفيون والحشيشة للدواء والرفق حلت هذه المعاملة بلا كراهة ، وإن ظن أنه يستعمله في حرام كالحرير للبالغ ، ونحو العنب للسكر ، والرقيق للفاحشة ، والسلاح لقطع الطريق والظلم ، والأفيون والحشيشة وجوزة الطيب لاستعمال المخذِّر حرمت هذه المعاملة ، وإن شكّ ولا قرينة كرهت ، وتصحّ المعاملة في الثلاث ، لكن المأخوذ في مسألة الحرمة شبهته قوية ، وفي مسألة الكراهة أخف.

  • فتوحات ربانية ص / 157

باب الاذكار المشروعية اي الاذكار التي طلب الشارع من الانسان الاتيان بها باللسان من التكديروالتحميد وقراءة القران الخ  ىقوله (ولا يعتد به) عطف على لا يحسب عطف تفسير وهما مبنيان لمفعول اي لا يعتبر شيء من ذلك الا بالتلفظ به مع السماع  والمراد يعتد به ذكرا اي لا يخرج به عن عهدة المأمور به من الذكر باللسان فلا ينافي اثباته على ذكر القلب لانه من جهة اخرى كما سبق وليس المراد ان من ذكر بقلبه من غير تلفظ بلسانه لا يكون معتدا به شرعا لان مداومة الذكر لا تتصور بدون اعتباره بل هو افضل انواعه.  

  • الموسوعة الفقهية الكويتية (21/ 249)

حكم إخفاء الذكر :لا يعتد بشيء مما رتب الشارع الأجر على الإتيان به من الأذكار الواجبة أو المستحبة في الصلاة وغيرها حتى يتلفظ به الذاكر ويسمع نفسه إذا كان صحيح السمع ، وذلك لأن قول النبي صلى الله عليه وسلم في أكثر من مناسبة بأن من قال كذا كان له من الأجر كذا لا يحصل له ذلك الأجر إلا بما يصدق عليه معنى القول ، وهو لا يكون إلا بالتلفظ باللسان . ولا يحصل ذلك عند الجمهور بمجرد تحريك اللسان بغير صوت أصلا بل لا بد من صوت ، وأقله أن يسمع نفسه .وفي الحديث القدسي أنا مع عبدي إذا هو ذكرني وتحركت شفتاه (3)

  • نهاية المحتاج (6/ 92)

ومعنى نفعه بالدعاء حصول المدعو به له إذا استجيب واستجابته محض فضل منه تعالى ولا تسمى في العرف ثوابا أما نفس الدعاء وثوابه فللداعي لأنه شفاعة أجرها للشافع ومقصودها للمشفوع له وبه فارق ما مر في الصدقة نعم دعاء الولد يحصل ثوابه نفسه للوالد الميت لأن عمل ولده لتسببه في وجوده من جملة عمله كما صرح به في خبر ينقطع عمل ابن آدم إلا من ثلاث ثم قال أو ولد صالح يدعو له جعل دعاءه من جملة عمل الوالد وإنما يكون منه ويستثنى من انقطاع العمل إن أريد نفس الدعاء لا المدعو به وأفهم كلام المصنف أنه لا ينفعه سوى ذلك من بقية العبادات ولو قراءة نعم ينفعه نحو ركعتي الطواف تبعا للنسك والصوم كما مر في بابه وفي القراءة وجه وهو مذهب الأئمة الثلاثة بوصول ثوابها للميت بمجرد قصده بها واختاره كثير من أئمتنا وحمل جمع الأول على قراءته لا بحضرة الميت ولا بنية القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع

  • إعانة الطالبين (2/ 91)

 قال الشارح في شرح العباب وقد سئل البلقيني كيف يدعو حال الخطبة وهو مأمور بالإنصات ( فأجاب ) بأنه ليس من شروط الدعاء التلفظ بل استحضاره بقلبه كاف اه وقد يقال ليس المقصود من الإنصات إلا ملاحظة معنى الخطبة والاشتغال بالدعاء بالقلب بما يفوت ذلك اه

  • غذاء الألباب في شرح منظومة الآداب (2/ 452)

قال ابن أبي داود في كتابه ( تحفة العباد وأدلة الأوراد ) : اتفق العلماء على أنه لا يحسب للذاكر شيء من الأذكار الواردة حتى يتلفظ به بحيث يسمع نفسه إذا كان صحيح السمع انتهى .

  • الفقه الإسلامي وأدلته (4/ 224)

ويكره التصوير على الستور وعلى الأزر المضروبة على الحائط وعلى الوسائد الكبار وعلى السقف؛ لما فيه من تعظيمها، فإذا لم يكن لها رأس، فلا بأس؛ لأنها لا تكون صورة، بل نقشاً، فإن قطع الرأس بأن خاط على عنقه خيطاً، فذاك ليس بشيء؛ لأنها لم تخرج عن كونها صورة، بل ازدادت حلية كالطوق لذوات الأطواق من الطيور. ثم المكروه أي تحريماً: صورة ذي الروح، فأما صورة مالا روح له من الأشجار والقناديل ونحوها، فلا بأس به.

أما التصوير الشمسي أو الخيالي فهذا جائز، ولا مانع من تعليق الصور الخيالية في المنازل وغيرها، إذا لم تكن داعية للفتنة كصور النساء التي يظهر فيها شيء من جسدها غير الوجه والكفين، كالسواعد والسيقان والشعور، وهذا ينطبق أيضاً على صور التلفاز وما يعرض فيه من رقص وتمثيل وغناء مغنيات، كل ذلك حرام في رأيي.

وأما أعمال النحت والرسم للنساء العاريات التي يقوم بها طلاب كليات الفنون الجميلة فهي من أشد المحرمات والكبائر، ولا يصح قياس الرسم على تشريح الجثث في كليات الطب، لأن التشريح ضرورة علمية تحقق فائدة الحفاظ على حياة الإنسان، بعكس الرسم الذي هو مجرد عمل ترفيهي كمالي، كما أن التشريح يحدث بعد الموت، والرسم يتم في حال الحياة.

والسبب في إباحة الصور الخيالية: أن تصويرها لا يسمى تصويراً لغة ولا شرعاً، لما تقدم من بيان معنى التصوير في عهد النبوة، ولأن هذا التصوير يعد حبساً للظل أو الصورة، مثل الصورة في المرآة والصورة في الماء، كل مافي الأمر أن صورة المرآة أو الماء متحركة غير ثابتة، والصور الخيالية تثبَّت بالأحماض الكيمياوية ونحوها، وهذا لا يسمى تصويراً في الحقيقة، فإن الحمض هو المانع من الانتقال والتحرك

  • الموافقات (5/ 167)

فصل: ومن هذا يعلم أنه ليس كل ما يعلم مما هو حق يطلب نشره وإن كان من علم الشريعة ومما يفيد علمًا بالأحكام، بل ذلك ينقسم، فمنه ما هو مطلوب النشر، وهو غالب علم الشريعة، ومنه ما لا يطلب نشره بإطلاق، أو لا يطلب نشره بالنسبة إلى حال أو وقت أو شخص.ومن ذلك تعيين هذه الفرق، فإنه وإن كان حقًّا فقد يثير فتنة، كما تبين تقريره فيكون من تلك الجهة ممنوعًا بثه. ومن ذلك علم المتشابهات والكلام فيها، فإن الله ذم من اتبعها، فإذا ذكرت وعرضت للكلام فيها، فربما أدى ذلك إلى ما هو مستغنى عنه، وقد جاء في الحديث عن علي: “حدثوا الناس بما يفهمون، أتريدون أن يكذب الله ورسوله؟

  • إعانة الطالبين (3/ 259)

 ( قوله وإن نظر بغير شهوة ) غاية في حرمة تعمد نظر الرجل ولو قدمها على قوله وعكسه ثم قال ومثله العكس لكان أولى أي يحرم تعمد النظر وإن نظر بغير شهوة وهي التلذذ بالنظر وقوله أو مع أمن الفتنة هي ميل النفس ودعاؤها إلى الجماع وقوله على المعتمد مقابله يقول بحل النظر مع عدم الشهوة وأمن الفتنة لكن في خصوص الوجه والكفين ( قوله لا في نحو مرآة ) أي لا يحرم نظره لها في نحو مرآة كماء وذلك لأنه لم يرها فيها وإنما رأى مثالها ويؤيده قولهم لو علق طلاقها برؤيتها لم يحنث برؤية خيالها والمرأة مثله فلا يحرم نظرها له في ذلك قال في التحفة ومحل ذلك كما هو ظاهر حيص لم يخش فتنة ولا شهوة

  • حاشيتا قليوبي – وعميرة (11/ 90)

قوله : ( إلى عورة إلخ ) هو قيد كما مر وسيأتي غيرها ، والحاصل أنه يحرم رؤية شيء من بدنها ، وإن أبين كظفر وشعر عانة وإبط ودم حجم وفصد لا نحو بول كلبن ، والعبرة في المبان بوقت الإبانة فيحرم ما أبين من أجنبية ، وإن نكحها ولا يحرم ما أبين من زوجة وإن أبانها ، وشمل النظر ما لو كان من وراء زجاج أو مهلهل النسج أو في ماء صاف ، وخرج به رؤية الصورة في الماء أو في المرآة فلا يحرم ولو مع شهوة ويحرم سماع صوتها ، ولو نحو القرآن ، إن خاف منه فتنة ، أو التذ به وإلا فلا والأمرد فيما ذكر كالمرأة .

  • تحفة المحتاج في شرح المنهاج (11/ 318)

( ولا بأس بالإعلام بموته ) بل يندب كما في المجموع بالنداء ونحوه ( للصلاة ) عليه ( وغيرها ) كالدعاء والترحم لأنه صلى الله عليه وسلم { نعى النجاشي يوم موته } ( بخلاف نعي الجاهلية ) وهو النداء بذكر مفاخره فيكره للنهي الصحيح عنه ويكره ترثيته بذكر محاسنه في نظم أو نثر للنهي عنها ومحلها حيث لم يوجد معها الندب السابق وإلا حرمت وحيث حملت على تجديد حزن أو أشعرت بتبرم أو فعلت في مجامع قصدت لها وإلا بأن كانت بحق في نحو عالم وخلت عن ذلك كله فهي بالطاعات أشبه

  • حواشي الشرواني والعبادي (3/ 183)

قوله: (بل يندب الخ) أي لوليه ع ش وظاهر أنه ليس بقيد قوله: (أو نحوه) أي كإرسال من يخبر أهل البلد فردا فردا قوله: (للصلاة عليه الخ) أي لكثرة المصلين عليه نهاية عبارة المغني فإن قصد الاعلام بموته لم يكره أو قصد به الاخبار لكثرة المصلين عليه فهو مستحب اه قوله: (كالدعاء الخ) أي والمحاله نهاية ومغني. قوله: (نعى النجاشي) أي أوصل خبره لاصحابه ع ش قول المتن (نعي الجاهلية) بسكون العين وبكسرها مع تشديد الياء مصدر نعاه نهاية ومغني.

  • فيض القدير (6/ 324)

 ( نهى عن النعي ) أي نعي الجاهلية أي إذاعة موت الميت والنداء به وندبه وتعديد شمائله كانت العرب إذا مات منهم شريف أو قتل بعثوا راكبا إلى القبائل ينعاه يقول نعاء فلانا أي أنع فلانا وفيه تحريم النعي وهو النداء بموت الشخص وذكر مآثره ومفاخره كما تقرر أما الإعلام بموته والثناء عليه فلا ضير فيه لما في الصحيحين أن المصطفى صلى الله عليه وعلى آله وسلم نعى النجاشي في اليوم الذي مات فيه وخرج بهم إلى المصلى فصف بهم وكبر عليه أربعا

  • تحفة الأحوذي (4/ 52)

وقد كره بعض أهل العلم النعي والنعي عندهم أن ينادي في الناس بأن فلان مات ليشهدوا جنازته قال ابو الطيب في شرحه أي يركب راكب وينادي في الناس فهذا نعي الجاهلية وهو مكروه ويؤيده حديث عبد الله إياكم والنعي فإن النعي من عمل الجاهلية وقوله وقال بعض أهل العلم لا بأس بأن يعلم الخ يعني إن نعى نعي غير أهل الجاهلية فلا بأس به وتركه أولى  والذي عليه الجمهور أن مطلق الإعلام بالموت جائز وليس فيه ترك الأولى بل ربما يقال إنه سنة لما ورد أنه صلى الله عليه و سلم نعى النجاشي رواه البخاري وقال بعض الفضلاء معنى قوله والنعي عندهم الخ أي حملوا النهي على مطلق النعي وهو خبر الموت كما في مقتضى كلام حذيفة على طريق الاحتمال حيث قال فإني أخاف فقوله وقال بعضهم الخ أي يحمل الحديث على نعي أهل الجاهلية انتهى أقول توجيه حسن إلا أنه يأبى تفسيره للقول الأول بما فسره به تفسيرهم بقولهم أن ينادي اه والله أعلم انتهى كلام أبي الطيب قلت فيما قال بعض الفضلاء في شرح كلام الترمذي شيء وكذا فيما قال أبو الطيب لكن قول بعض الفضلاء أظهر مما قال أبو الطيب فتفكر قال الحافظ في فتح الباري والحاصل أن محض الإعلام بذلك لا يكره فإن زاد على ذلك فلا وقد كان بعض السلف يشدد في ذلك حتى كان حذيفة إذا مات له الميت يقول لا تؤذنوا به أحدا إني أخاف أن يكون نعيا الخ

  • عمدة القاري (8/ 20)

وقال النووي إن النعي المنهي عنه إنما هو نعي الجاهلية قال وكانت عادتهم إذا مات منهم شريف بعثوا راكبا إلى القبائل يقول نعا يا فلان أو يا نعاء العرب أي هلكت العرب بهلاك فلان ويكون مع النعي ضجيج وبكاء وأما إعلام أهل الميت وأصدقائه وقرابته فمستحب على ما ذكرناه آنفا واعترض بأن حديث النجاشي لم يكن نعيا إنما كان مجرد إخبار بموته فسمى نعيا لشبهه به في كونه إعلاما وكذا القول في جعفر بن أبي طالب وأصحابه ورد بأن الأصل الحقيقة على أن حديث النجاشي أصح من حديث حذيفة وعبد الله فإن قلت قال ابن بطال إنما نعي النبي النجاشي وصلى عليه لأنه كان عند بعض الناس على غير الإسلام فأراد إعلامهم بصحة إسلامه ( قلت ) نعيه جعفرا وأصحابه يرد ذلك وحمل بعضهم النهي على نعي الجاهلية المشتمل على ذكر المفاخر وشبهها

  • بريقة محمودية (4/ 429)

( السابع ) من آفات اللسان ( النميمة وهي كشف ما يكره كشفه وإفشاء السر ) أي سر الغير سواء كرهه المنقول عنه أو المنقول إليه أو كرهه ثالث وسواء كان ذلك بالقول أو الكتب أو الرمز أو الإيماء وسواء كان المنقول من الأقوال أو الأعمال وسواء كان عيبا أو نقصانا على المنقول عنه أو لم يكن وحقيقة النميمة إفشاء السر وهتك الستر عما يكره كشفه بل كل ما يراه الإنسان من أحوال الناس فينبغي أن يسكت عنه إلا ما في حكايته فائدة لمسلم أو دفع لمعصية فإن كان ما ينم به نقصانا أو عيبا في محكي عنه فهو غيبة ونميمة معا والباعث على النميمة إما إرادة السوء بالمحكي عنه أو إظهار الحب للمحكي له أو التفرج بالحديث والخوض في الفضول .وأما الذي نم إليه فعليه ستة أمور : الأول : أن لا يصدقه لأن النمام فاسق وهو مردود الشهادة .الثاني : أن ينهاه وينصحه .الثالث : أن يبغضه في الله لأنه يغيض عند الله .الرابع : أن لا يظن بأخيه الغائب سوءا .الخامس : أن لا يحمل كلامه على البحث والتفحص .السادس : أن لا ترضى لنفسك ما نهيت عنه النمام فلا تحكي نميمته ( وفي الأكثر تطلق على نقل القول المكروه إلى المقول فيه وهي حرام ) لثبوته قطعا بما يذكره المصنف ( إلا أن يكون له ) للمقول له ( ضرر فيه ) في ذلك القول ( ولم يعلمه ) أي المقول فيه الضرر ( ولم يمكن دفعه إلا بالإعلام فيجب ) حينئذ الإعلام ( لأنه نصح ) واجب ( قال الله تعالى { ولا تطع كل حلاف } ) كثير الحلف في الحق والباطل

  • إحياء علوم الدين (2/ 324)

 الثالثة أن يكون المنكر متوقعا كالذي يستعد بكنس المجلس وتزيينه وجمع الرياحين لشرب الخمر وبعده لم يحضر الخمر فهذا مشكوك فيه إذ ربما يعوق عنه عائق فلا يثبت للآحاد سلطنة على العازم على الشرب إلا بطريق الوعظ والنصح فأما بالتعنيف والضرب فلا يجوز للأحاد ولا للسلطان إلا إذا كانت تلك المعصية علمت منه بالعادة المستمرة وقد أقدم على السبب المؤدي إليها ولم يبق لحصول المعصية إلا ما ليس له فيه إلا الانتظار وذلك كوقوف الأحداث على أبواب حمامات النساء للنظر إليهن عند الدخول والخروج فإنهم وإن لم يضيقوا الطريق لسعته فتجوز الحسبة عليهم بإقامتهم من الموضع ومنعهم عن الوقوف بالتعنيف والضرب وكان تحقيق هذا إذا بحث عنه يرجع إلى أن هذا الوقوف في نفسه معصية وإن كان مقصد العاصي وراءه كما أن الخلوة بالأجنبية في نفسها معصية لأنها مظنة وقوع المعصية وتحصيل مظنة المعصية معصية ونعني بالمظنة ما يتعرض الإنسان به لوقوع المعصية غالبا بحيث لا يقدر على الانكفاف عنها فإذا هو على التحقيق حسبة على معصية راهنة لا على معصية منتظرة الركن الثاني للحسبة ما فيه الحسبة

  • تلقيح الافهام العلية بشرح القواعد الفقهية (2/ 54)

إن هذه الشريعة العظيمة إذا أمرت بشيءٍ فإنها تأمر بجميع ما يتوقف حصول هذا الشيء عليه ، وإذا نهت عن شيء فإنها تنهى عن جميع الأشياء التي يتوقف حصول هذا المنهي عليها وهذا من باب الكمال ، فإن الشريعة إذا سدت بابًا فإنها تسد معه جميع الأبواب المفضية إليه ، وهذا هو عين الحكمة وذلك ليكون سياجًا مانعًا من الوقوع في المحرم قصدًا ، فإنه لما كانت المقاصد لا يتوصل إليها إلا بأسباب وطرق تفضي إليها كانت هذه الطرق وهذه الأسباب تابعة لها في الحكم ، فكل وسائل الحرام حرام ، وكل وسائل الطاعات طاعات فوسائل الواجب واجبة ، ووسائل المندوب مندوبة ، ووسائل المكروه مكروهة ، ووسائل الحرام حرام ، وهذه سياسة حكيمة حتى في ملوك الدنيا فإنهم إذا منعوا شيئًا منعوا جميع أسبابه وسدوا جميع طرقه ، وإذا أمروا بشيء فإنهم يسهلون جميع أسبابه ويفتحون كل طرقه ، وهذا من الكمال في المخلوق الذي لا نقص فيه ، فالله أولى به فإن من حام حول الحمى يوشك أن يقع فيه ، فكان من عين الحكمة سد جميع الأبواب المفضية إليه

  • سبعة كتب مفيدة صـ 540

قد تكون وسيلة للخير تارة وللشر أخرى وللوسائل حكم المقاصد أي فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح كانت مباحة أو مكروه كانت مكروهة أو حرام كانت حراما 

  • حاشية البجيرمي على الخطيب (6/ 183)

قوله : ( ويعزي ) التعزية لغة التسلية وشرعا الأمر بالصبر والحمل عليه بوعد الأجر والتحذير من الوزر بالجزع والدعاء للميت بالمغفرة وللمصاب بجبر المصيبة ؛ شرح المنهج وتحصل التعزية بالمكاتبات والمراسلات ، ويكره لأهل الميت رجالا ونساء الجلوس لها أي بمكان تأتيهم فيه الناس لأنه بدعة ، قال الزركشي : والمكروه الجلوس لها اليوم واليومين كما هو المعتاد بخلاف الجلوس ساعة الإعلام ، وبه يعلم أن الوقوف لها عند القبر عقب الدفن لا بأس به وإن كرهه النخعي لأن فيه تخفيفا على قاصديه ومن معه من المشيعين وقال الأذرعي : الحق أن الجلوس لها على الوجه المتعارف في زماننا مكروه أو حرام .ا هـ .شرح العباب .

حاشية الجمل (23/ 267)

( و ) لعب ( بشطرنج ) بكسر أوله وفتحه معجما ومهملا ( إن شرط ) فيه ( مال ) من الجانبين أو من أحدهما ؛ لأنه في الأول قمار وفي الثاني مسابقة على غير آلة القتال ففاعلها متعاط لعقد فاسد وكل منهما حرام ، وإن أوهم كلام الأصل أنه مكروه في الثاني ( وإلا ) بأن لم يشترط فيه مال ( كره ) ؛ لأن فيه صرف العمر إلى ما لا يجدي نعم إن لعبه مع معتقد التحريم حرم ( كغناء ) بكسر الغين والمد ( بلا آلة واستماعه ) فإنهما مكروهان لما فيهما من اللهو أما مع الآلة فمحرمان وتعبيري بالاستماع هنا وفيما يأتي أولى من تعبيره .

حاشية الجمل (23/ 270)

( قوله أما مع الآلة فمحرمان ) ، وهذا ما مشى عليه الشارح والذي مشى عليه م ر في شرحه أن الغناء مكروه على ما هو عليه والآلة محرمة وعبارته ومتى اقترن بالغناء آلة محرمة فالقياس كما قاله الزركشي تحريم الآلة فقط وبقاء الغناء على الكراهة انتهت

حاشية الجمل على المنهج لشيخ الإسلام زكريا الأنصاري (2/ 31)

وعبارة شرح م ر ومن فعل صلاة حكم بكراهتها في الأوقات المذكورة أثم تنعقد للأخبار الصحيحة وإن قلنا إن الكراهة للتنزيه لأن النهي إذا رجع إلى نفس العبادة أو لازمها اقتضى الفساد سواء كان للتحريم أو للتنزيه وأيضا فإباحة الصلاة على القول بكراهة التنزيه من حيث ذاتها لا تنافي حرمة الإقدام عليها من حيث عدم الانعقاد مع أنه لا بعد في إباحة الإقدام على ما لا ينعقد إذا كانت الكراهة فيه للتنزيه ولم يقصد بذلك التلاعب وفارق كراهة الزمان كراهة المكان حيث انعقدت فيه معها بأن الفعل في الزمان يذهب جزءا منه فكان النهي منصرفا لإذهاب هذا الجزء في النهي عنه فهو وصف لازم إذ لا يتصور وجود فعل إلا بإذهاب جزء من الزمان وأما المكان فلا يذهب جزء منه ولا يتأثر بالفعل فالنهي عنه لأمر خارج مجاور لا لازم فحقق ذلك فإنه نفيس ولهذا قال بعضهم ويفرق أيضا باللزوم وعدمه وتحقيق هذا أن الأفعال الاختيارية للعباد تقتضي زمانا ومكانا وكل منهما لازم لوجود الفعل لكن الزمان كما يلزم الوجود يلزم الماهية دون المكان ولهذا ينقسم الفعل بحسب انقسام الزمان إلى الماضي والمستقبل والحال فكان أشد ارتباطا بالفعل من المكان فافترقا انتهت

المجموع شرح المهذب – شجرة العناوين (3/ 164)

الصلاة في الارض المغصوبة حرام بالاجماع وصحيحة عندنا وعند الجمهور من الفقهاء وأصحاب الاصول وقال احمد بن حنبل والجبائي وغيره من المعتزلة باطلة واستدل عليهم الاصوليون باجماع من قبلهم قال الغزالي في المستصفى هذه المسألة قطعية ليست اجتهادية والمصيب فيها واحد لان من صحح الصلاة أخذه من الاجماع وهو قطعي ومن أبطلها أخذه من التضاد الذى بين القربة والمعصية ويدعي كون ذلك محالا بالعقل فالمسألة قطعية ومن صححها يقول هو عاص من وجه متقرب

من وجه ولا استحالة في ذلك انما الاستحالة في أن يكون متقربا من الوجه الذى هو عاص به وقال القاضى أبو بكر بن الباقلانى يسقط الفرض عند هذه الصلاة لا بها بدليل الاجماع على سقوط الفرض إذا صلى واختلف اصحابنا هل في هذه الصلاة ثواب أم لا ففى الفتاوى التى نقلها القاضى أبو منصور احمد بن محمد بن محمد بن عبد الواحد عن عمه ابى نص بن الصباغ صاحب الشامل رحمه الله قال المحفوظ من كلام اصحابنا بالعراق ان الصلاة في الدار المغصوبة صحيحة يسقط بها الفرض ولا ثواب فيها قال القاضي أبو منصور ورأيت أصحابنا بخراسان اختلفوا منهم من قال لا تصح صلاته قال وذكر شيخنا يعني ابن الصباغ في كتابه الكامل انا إذا قلنا بصحة الصلاة ينبغي ان يحصل الثواب فيكون مثابا علي فعله عاصيا بمقامه قال القاضى وهذا هو القياس إذا صححناها

الفتاوى الفقهية الكبرى (2/ 24)

 وسئل رضي الله عنه عن زيارة قبور الأولياء في زمن معين مع الرحلة إليها هل يجوز مع أنه يجتمع عند تلك القبور مفاسد كثيرة كاختلاط النساء بالرجال وإسراج السرج الكثيرة وغير ذلك فأجاب بقوله زيارة قبور الأولياء قربة مستحبة وكذا الرحلة إليها وقول الشيخ أبي محمد لا تستحب الرحلة إلا لزيارته صلى الله عليه وسلم رده الغزالي بأنه قاس ذلك على منع الرحلة لغير المساجد الثلاثة مع وضوح الفرق فإن ما عدا تلك المساجد الثلاثة مستوية في الفضل فلا فائدة في الرحلة إليها وأما الأولياء فإنهم متفاوتون في القرب من الله تعالى ونفع الزائرين بحسب معارفهم وأسرارهم فكان للرحلة إليهم فائدة أي فائدة فمن ثم سنت الرحلة إليهم للرجال فقط بقصد ذلك وانعقد نذرها كما بسطت الكلام على ذلك في شرح العباب بما لا مزيد على حسنه وتحريره وما أشار إليه السائل من تلك البدع أو المحرمات فالقربات لا تترك لمثل ذلك بل على الإنسان فعلها وإنكار البدع بل وإزالتها إن أمكنه 

 وقد ذكر الفقهاء في الطواف المندوب فضلا عن الواجب أنه يفعل ولو مع وجود النساء وكذا الرمل لكن أمروه بالبعد عنهن فكذا الزيارة يفعلها لكن يبعد عنهن وينهى عما يراه محرما بل ويزيله إن قدر كما مر هذا إن لم تتيسر له الزيارة إلا مع وجود تلك المفاسد فإن تيسرت مع عدم المفاسد فتارة يقدر على إزالة كلها أو بعضها فيتأكد له الزيارة مع وجود تلك المفاسد ليزيل منها ما قدر عليه وتارة لا يقدر على إزالة شيء منها فالأولى له الزيارة في غير زمن تلك المفاسد بل لو قيل يمنع منها حينئذ لم يبعد 

 ومن أطلق المنع من الزيارة خوف ذلك الاختلاط يلزمه إطلاق منع نحو الطواف والرمل بل والوقوف بعرفة أو مزدلفة والرمي إذا خشي الاختلاط أو نحوه فلما لم يمنع الأئمة شيئا من ذلك مع أن فيه اختلاطا أي اختلاط وإنما منعوا نفس الاختلاط لا غير فكذلك هنا ولا تغتر بخلاف من أنكر الزيارة خشية الاختلاط فإنه يتعين حمل كلامه على ما فصلناه وقررناه وإلا لم يكن له وجه وزعم أن زيارة الأولياء بدعة لم تكن في زمن السلف ممنوع وبتقدير تسليمه فليس كل بدعة ينهى عنها بل قد تكون البدعة واجبة فضلا عن كونها مندوبة كما صرحوا به

عمدة المفتي والمستفتي 

  • إحياء علوم الدين (2/ 15)

والنية إنما تؤثر في المباحات والطاعات أما المنهيات فلا  فإنه لو نوى أن يسر إخوانه بمساعدتهم على شرب الخمر أو حرام آخر لم تنفع النية ولم يجز أن يقال الأعمال بالنيات  بل لو قصد بالغزو الذي هو طاعة المباهاة وطلب المال انصرف عن جهة الطاعة وكذلك المباح المردد بين وجوه الخيرات وغيرها يلتحق بوجوه الخيرات بالنية فتؤثر النية في هذين القسمين لا في القسم الثالث

في حبائل الشوارد وفي تفسير أيات الأحكام

Vaksin dalam Perspektif Islam

Mustaqim.NET – Bagaimanakah hukum ikut serta vaksin tersebut mengingat setelah vaksin masyarakat akan mengalami  perubahan suhu badan, pusing, lemas dan lainnya tanpa memandang kebijakan pemerintah?

Jawaban

Relatif. Sesuai pada dzan personal. Jika memiliki  dzan bisa kebal dengan tanpa di vaksin maka hukumnya lebih utama tidak ikut serta vaksin. Dan Jika ada dzan tidak bisa kebal dari virus maka boleh mengikuti vaksin tersebut 

Referensi

المجموع شرح المهذب – شجرة العناوين (3/ 7)
(فرع قال اصحابنا يجوز شرب الدواء المزيل للعقل للحاجة كما أشار إليه المصنف بقوله شرب دواء من غير حاجة وإذا زال عقله والحالة هذه لم يلزمه قضاء الصلوات بعد الافاقة لانه زال بسبب غير محرم ولو احتيج في قطع يده المتأكلة الي تعاطي ما يزيل عقله فوجهان اصحهما جوازه وسنوضح هذه المسألة ان شاء الله تعالي بفروعها في باب حد الخمر اما إذا أراد تناول دواء فيه سم قال الشيخ أبو حامد في التعليق وصاحب البيان قال الشافعي رحمه الله في كتاب الصلاة ان غلب على ظنه انه يسلم منه جاز تناوله وان غلب على ظنه انه لا يسلم منه لم يجز وذكر في كتاب الاطعمة ان في تناوله

إحياء علوم الدين (3/ 382، بترقيم الشاملة آليا)

السبب الرابع: أن يقصد العبد بترك التداوي استبقاء المرض لينال ثواب المرض بحسن الصبر على بلاء الله تعالى، أو ليجرب نفسه في القدرة على الصبر. فقد ورد في ثواب المرض ما يكثر ذكره. فقد قال صلى الله عليه وسلم: ” نحن معاشر الأنبياء أشد الناس بلاءً ثم الأمثل فالأمثل يبتلى العبد على قدر إيمانه فإن كان صلب الإيمان شدد عليه بالبلاء. وإن كان في إيمانه ضعف خفف عنه البلاء ” .
وفي الخبر ” إن الله تعالى يجرب عبده بالبلاء كما يجرب أحدكم ذهبه بالنار فمنهم من يخرج كالذهب الإبريز، لا يزبد ومنهم دون ذلك، ومنهم من يخرج أسود محترقاً ” .
وفي حديث من طريق أهل البيت ” إن الله تعالى إذا أحب عبداً ابتلاه، فإن صبر اجتباه، فإن رضي اصطفاه ” .
وقال صلى الله عليه وسلم: ” تحبون أن تكونوا كالحمر الضالة لا تمرضون ولا تسقمون ” .
وقال ابن مسعود رضي الله عنه: تجد المؤمن أصح شيء قلباً وأمرضه جسماً، وتجد المنافق أصح شيء جسماً وأمرضه قلباً، فلما عظم الثناء على المرض والبلاء أحب قوم المرض واغتنموه لينالوا ثواب الصبر عليه، فكان منهم من له علة يخفيها ولا يذكرها للطبيب ويقاسي العلة ويرضى بحكم الله تعالى ويعلم أن الحق أغلب على قلبه من أن يشغله المرض عنه، وإنما يمنع المرض جوارحه، وعلموا أن صلاتهم قعوداً مثلاً مع الصبر على قضاء الله تعالى أفضل من الصلاة قياماً مع العافية والصحة، ففي الخبر ” إن الله تعالى يقول لملائكته: اكتبوا لعبدي صالح ما كان يعمله فإنه في وثاقي وإن أطلقته أبدلته لحماً خيراً من لحمه ودماً خيراً من دمه، وإن توفيته توفيته إلى رحمتي ” .وقال صلى الله عليه وسلم: ” أفضل الأعمال ما أكرهت عليه النفوس ” . فقيل: معناه ما دخل عليه من الأمراض والمصائب، وإليه الإشارة بقوله تعالى: ” وعسى أن تكرهوا شيئاً وهو خير لكم ” .وكان سهل يقول: ترك التداوي وإن ضعف عن الطاعات وقصر عن الفرائض أفضل من التداوي لأجل الطاعات، وكانت به علة عظيمة فلم يكن يتداوى منها، وكان يداوي الناس منها، وكان إذا رأى العبد يصلي من قعود ولا يستطيع أعمال البر من الأمراض، فيتداوى للقيام إلى الصلاة والنهوض إلى الطاعات يعجب من ذلك ويقول: صلاته من قعود مع الرضا بحاله أفضل من التداوي للقوة والصلاة قائماً، وسئل عن شرب الدواء فقال: كل من دخل في شيء من الدواء فإنما هو سعة الله تعالى لأهل الضعف، ومن لم يدخل في شيء فهو أفضل، لأنه إن أخذ شيئاً من الدواء ولو كان هو الماء يسأل عنه لم أخذه؟ ومن لم يأخذ فلا سؤال عليه. وكان مذهبه ومذهب البصريين تضعيف النفس بالجوع وكسر الشهوات لعلمهم بأن ذرة من أعمال القلوب: مثل الصبر والرضا والتوكل أفضل من أمثال الجبال من أعمال الجوارح، والمرض لا يمنع من أعمال القلوب إلا إذا كان ألمه غالباً مدهشاً.
وقال سهل رحمه الله: علل الأجسام رحمة الله وعلل القلوب عقوبة.

إحياء علوم الدين (3/ 381، بترقيم الشاملة آليا)
بيان ان ترك التداوي قد يحمد في بعض الأحوال ويدل على قوة التوكل وأن ذلك لا يناقض فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم اعلم أن الذين تداووا من السلف لا ينحصرون، ولكنه قد ترك التداوي أيضاً جماعة 556من الأكابر، فربما يظن أن ذلك نقصان، لأنه لو كان كمالاً لتركه رسول الله صلى الله عليه وسلم، إذ لا يكون حال غيره في التوكل أكمل من حاله. وقد روي عن أبي بكر رضي الله عنه أنه قيل له: لو دعونا لك طبيباً؟ فقال: الطبيب قد نظر إلي وقال: إني فعال لما أريد.
وقيل لأبي الدرداء في مرضه: ما تشتكي؟ قال: ذنوبي. قيل: فما تشتهي؟ قال: مغفرة ربي، قالوا: ألا ندعو لك طبيباً؟ قال: الطبيب أمرضني. وقيل لأبي ذر وقد رمدت عيناه: لو داويتهما؟ قال: إني عنهما مشغول؛ فقيل: لو سألت الله تعالى أن يعافيك؟ فقال: أسأله فيما هو أهم علي منهما.وكان الربيع بن خثيم أصابه فالج، فقيل له: لو تداويت؟ فقال: قد هممت ثم ذكرت عاداً وثمود وأصحاب الرس وقروناً بين ذلك كثيراً وكان فيهم الأطباء، فهلك المداوي والمداوى، ولم تغن الرقي شيئاً.
وكان أحمد بن حنبل يقول: أحب لمن اعتقد التوكل وسلك هذا الطريق ترك التداوي من شرب الدواء وغيره وإن كان به علل فلا يخبر المتطبب بها أيضاً إذا سأله.
وقيل لسهل: متى يصح للعبد التوكل؟ قال: إذا دخل عليه الضرر في جسمه والنقص في ماله فلم يلتفت إليه شغلاً بحاله وينظر إلى قيام الله تعالى عليه.
فإذا منهم من ترك التداوي وراءه، ومنهم من كرهه، ولا يتضح وجه الجمع بين فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم وأفعالهم إلا بحصر الصوارف عن التداوي.

إحياء علوم الدين (4/ 287)
ان لترك التداوي أسبابا السبب الأول ان يكون المريض من المكاشفين وقد كوشف بأنه انتهى أجله وأن الدواء لا ينفعه ويكون ذلك معلوما عنده تارة برؤيا صادقة وتارة بحدس وظن وتارة بكشف محقق ويشبه ان يكون ترك الصديق رضي الله عنه التداوي من هذا السبب فانه كان من المكاشفين فإنه قال لعائشة رضي الله عنها في أمر الميراث إنما هن أختاك وانما كان لها أخت واحدة ولكن كانت امرأته حاملا فولدت أنثى فعلم انه كان قد كوشف بأنها حامل بأنثى فلا يبعد ان يكون قد كوشف ايضا بانتهاء اجله والا فلا يظن به انكار التداوي وقد شاهد رسول الله صلى الله عليه و سلم تداوي وامر به السبب الثاني ان يكون المريض مشغولا بحاله وبخوف عاقبته واطلاع الله تعالى عليه فينسيه ذلك ألم المرض فلا يتفرغ قلبه للتداوي شغلا بحاله وعليه يدل كلام أبى ذر اذ قال أنى عنهما مشغول وكلام ابي الدرداء اذ قال انما اشتكي ذنوبي فكان تألم قلبه خوفا من ذنوبه اكثر من تألم بدنه بالمرض ويكون هذا كالمصاب بموت عزيز من أعزته أو كالخائف الذي يحمل إلى ملك من الملوك ليقتل إذا قيل له الا تاكل وانت جائع فيقول أنا مشغول عن ألم الجوع فلا يكون ذلك انكارا لكون الاكل نافعا من الجوع ولا طعنا فيمن اكل ويقرب من هذ اشتغال سهل حيث قيل له ما القوت فقال هو ذكر الحي القيوم فقيل انما سألناك عن القوام فقال : القوام هو العلم قيل سألناك عن الغذاء قال الغذاء هو الذكر قيل سألناك عن طعمة الجسد قال مالك وللجسد دع من تولاه أولا يتولاه آخرا : اذا دخل عليه علة فرده إلى صانعه اما رايت الصنعة اذا عيبت ردوها إلى صانعها حتى يصلحها السبب الثالث ان تكون العلة مزمنة والدواء الذي يؤمر به بالإضافة إلى علته موهوم النفع جار مجري الكي والرقية فيتركه المتوكل واليه يشير قول الربيع بن خثيم اذ قال ذكرت عادا وثمود وفيهم الأطباء فهلك المداوي والمداوى أي ان الدواء غير موثوق به وهذا قد يكون كذلك في نفسه وقد يكون عند المريض كذلك لقلة ممارسته للطب وقلة تجربته له فلا يغلب على ظنه كونه نافعا ولا شك في أن الطبيب المجرب اشد اعتقادا لي الأدوية من غيره فتكون الثقة والظن بحسب الاعتقاد والاعتقاد بحسب التجربة وأكثر من ترك التداوي من العباد والزهاد هذا مستندهم لانه يبقى الدواء عنده شيئا موهوما لا اصل له وذلك صحيح في بعض الأدوية عند من عرف صناعة الطب غير صحيح في البعض ولكن غير الطبيب قد ينظر إلى الكل نظرا واحدا فيرى التداوي تعمقا في الأسباب كالكي والرقي فيتركه السبب الرابع ان يقصد العبد بترك التداوي استبقاء المرض لينال ثواب المرض بحسن الصبر على بلاء الله تعالى أو ليجرب نفسه في القدرة على الصبر فقد ورد في ثواب المرض ما يكثر ذكره فقد قال عليه السلام نحن معاشر الأنبياء أشد الناس بلاء ثم الأمثل فالأمثل يبتلى العبد على قدر إيمانه فان كان صلب الإيمان شدد عليه البلاء وان كان في إيمانه ضعف حفف عنه البلاء // وفي الخبر ان الله تعالى يجرب عبده بالبلاء كما يجرب أحدكم ذهبه بالنار // حديث نحن معاشر الأنبياء أشد الناس بلاء ثم الأمثل فالأمثل الحديث رواه أحمد وأبو يعلي والحاكم وصححه على شرط مسلم نحوه مع اختلاف وقد تقدم مختصرا ورواه الحاكم ايضا من حديث سعد بن ابي وقاص وقال صحيح على شرط الشيخين

Bukti Manusia Lebih Mulia dari pada Malaikat

Mustaqim.NET – Banyak pararabu yang bertanya perihal: kemuliaan manusia yang lebih daripada malaikat ditegaskan dengan bukti apa? Kami pun pernah memhas hal-ihwal berkaitan malaikat terkait: apakah malaikat memiliki jenis kelamin? Dari sana kami dapat mengerti ternyata keingintahuan pararabu terkait malaikat sangatlah tinggi.

Terkait kemuliaan manusia daripada malaikat, ada dua model kajian. Kajian pertama menggunakan teks-teks keagamaan (nash). Kajian kedua menggunakan akal. Syekh Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya Kubral-Yaqiniyat al-Kauniyat (hlm. 245) menjelaskan:

الانسان أفضل المخلوقات وأشرفها. ثبتت بدليلين: أحدهما دليل الخبر اليقيني الصادق، ثانيهما برهان العقل

“Manusia merupakan makhluk yang afdal dan paling mulia. Hal tersebut berdasarkan dua dalil. Dalil pertama melalui jalur informasi yang terpercaya (nash al-Quran dan hadis). Dalil kedua menggunakan akal.”

Dengan begitu pembuktian terkait manusia lebih unggul daripada malaikat memiliki dua bukti: akal dan nash.

Dalil al-Quran Kemuliaan Manusia Lebih daripada Malaikat

Banyak ayat yang menjelaskan bahwa manusia lebih mulia daripada malaikat. Di antara dua ayat berikut ini:

وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam!’ Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir.”

(QS. Al-Baqarah: 34)

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ࣖ

“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”

(QS. Al-Isra: 70)

Mengenai dua ayat tersebut, Syekh Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi menjelaskan bahwa ayat tersebut secara sarih menjelaskan manusia makhluk yang paling mulia. Namun, untuk memosisikan manusia lebih mulia daripada malaikat masih ada keihtimalan. Keihtimalan tersebut terletak pada kata katsirin (kebanyakan) dalam ayat yang berbunyi:

 وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ࣖ

“Dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”

(QS. Al-Isra: 70)

Perbedaan Pendapat

Dalam memahami ayat tersebut terdapat silang pendapat. Ada yang memaminya menggunakan dalil khithab (mafhum mukhalafah/kebalikannya). Dengan kata lain, ayat tersebut memiliki pemahaman keberadaan sedikit makhluk yang masih lebih mulia ketimbang manusia. Karena dalam ayatnya, manusia lebih mulia di atas ‘banyak’ makhluk, bukan ‘semua’.

Namun, ada yang berpendapat pula bahwa kata katsirin merupakan kata lain dari kullin (semua). Jadi ayat tersebut menerangkan bahwa manusia lebih mulia dari semua makhluk. Penjelasan lengkapnya sebagaimana berikut:

اما من لم يتمسك بدليل الخطاب واكتفى بالأخذ بما ينطق به النص، فقد قال إن استعمال الكلمة كثير بدلا من الكل لا يدل على أن الحال في القليل بالضد. وأمضى الآية على عمومها في أفضلية الانسان على سائر المخلوقات.

“Adapun ulama yang tidak menggunakan dalil khithab (mafhum mukhalafah/memahami sebaliknya) serta mengambil cukup dari apa yang tertuang dalam teks, berpendapat bahwa kata katsir merupakan kata ganti dari kull (semua) serta tidak menunjukkan bahwa ada sebagian kecil yang sebaliknya. Ayat tersebut tetap pada keumumannya, yakni manusia lebih mulia ketimbang segenap makhluk.”

Malaikat Lebih Mulia Ketimbang Manusia

Sahabat nabi yang secara tegas berpendapat bahwa malaikat lebih mulia ketimbang manusia adalah Sahabat Ibnu Abbas. Beliau termasuk ulama yang memahami menggunakan dalil khithab terkait ayat yang telah kami cantumkan. Selain ayat tersebut, ayat lain juga ada yang menyiratkan bahwa malaikat lebih mulia ketimbang manusia. Ayat-ayat tersebut antara lain:

بَلْ عِبَادٌ مُّكْرَمُونَ لا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُم بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ

“Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.”
(QS. Al-Anbiya’: 26-27)

لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

“(Malaikat-malaikat) tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

(QS. At-Tahrim: 6)

Juga, selain al-Quran, ada hadis Qudsi yang berbunyi:

يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

“Allah berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku pada-Ku. Aku bersamanya apabila dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku sendiri, Aku mengingatnya sendiri. Jika dia mengingat-Ku dalam keramaian, Aku mengingatnya dalam keramaian yang lebih baik dari mereka. Jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepada-Nya sehasta. Jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepada-Nya sedepa. Jika dia mendatangi-Ku berjalan, Aku akan mendatanginya berlari.”

Mengomentari hadis tersebut, Imam al-Qurthubi menjelaskan:

وهو نص في أفضلية الملائكة

“Hadis tersebut merupakan nash terkait keafdalan malaikat (ketimbang manusia).”

Manusia Lebih Mulia Ketimbang Malaikat

Menjawab kemuliaan manusia yang lebih daripada malaikat ditegaskan dengan bukti nash dan akal, menurut pendapat jumhur Ahlusunah Waljamaah, soal keutamaan manusia dan malaikat perlu memerlukan perincian. Para nabi dan shiddiqin selaku manusia yang khash, lebih utama ketimbang para malaikat yang khash. Begitu pula, manusia awam tentu lebih mulia dari malaikat yang awam. Dalam kitab yang sama, Syekh Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi mengatakan:

ومذهب جمهور أهل السنة والجماعة أن الخواص البشر من الانبياء والصديقين أفضل من الخواص الملائكة. وهم الذين خصهم الله بالذكر في كتابه الكريم وعوام البشر وهم الصالحون من المسلمين أفضل من عوام الملائكة

“Mazhab jumhur Ahlusunah Waljamaah berpandangan bahwa manusia yang  khawwas, yakni para nabi dan shiddiqin, lebih utama ketimbang malaikat yang khawwash. Mereka adalah yang secara khusus Allah sebutkan dalam kitab-Nya. Begitu pula manusia yang awam, yakni muslim yang saleh, lebih mulia ketimbang malaikat yang awam.”

Dalil al-Qurannya sebagaimana berikut:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اُولٰۤىِٕكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِۗ

“Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.”

(QS. Al-Bayyinah: 7)

Tentunya, al-bariyyah di sana mencakup pula malaikat. Jadi, manusia memang lebih mulia ketimbang seluruh makhluk, termasuk malaikat.

Begitu pula hadis yang Abu Dawud riwayatkan:

إِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ

“Sesungguhnya malaikat menaruh sayapnya karena rida kepada penuntut ilmu”

(HR. Ibnu Majah)

Dalam Syarah an-Nasafiyah (hlm. 501) terdapat keterangan bahwa manusia memiliki tuntutan taklif, sekaligus memiliki ragam syahwat dan hawa nafsu, yang mana manusia dapat mendapatkan pahala jika bisa mengalahkannya. Hal tersebut tidak ada pada diri malaikat. Dari sanalah, manusia memiliki kedudukan yang lebih tinggi ketimbang malaikat.

Itulah tadi penjelasan terkait kemuliaan manusia yang lebih daripada malaikat ditegaskan dengan bukti nash dan akal.

Kajian secara lengkapnya bisa dilihat pada video berikut:

 

Tradisi Maulid di Pasuruan, Jawa Timur

Mustaqim.NET – Setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing dalam menggelar perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Salah satunya tradisi di daerah pasuruan lebih tepatnya di kecamatan Wonorejo. Setiap perayaan bulan kelahiran Nabi ini, di Wonorejo selalu menggelar rebutan. Rebutan sendiri merupakan tradisi maulid di Wonorejo yang tidak pernah absen setiap tahunnya.

Rebutan ini istilahnya untuk para peserta maulid yang memperebutkan hadiah yang digantung dengan tali rafia.
Hadiah-hadiah yang diberikan cukup beragam mulai dari peralatan rumah tangga seperti sapu, panci masak, pakaian, makanan, uang tunai, dll.

Rebutan dimulai ketika mahallu-qiyam dibacakan, aksi saling dorong, tua muda, laki-laki perempuan saling berebut, sehingga mahallul-qiyam yang diharapkan momen yang dianggap sakral menjadi sebuah momentum kegembiraan yang perlu diadakan setiap tahunnya. Kiai Taufiq sebagai pendatang baru menggeleng-geleng kepala melihat situasi ini. Dia menganggap tradisi ini tidak sopan karena dia meyakini bahwasannya baginda Rasul akan datang saat perayaan bulan maulid.

Bagaimana fiqih menyikapi tradisi tersebut (rebutan saat mahallul-qiyam)?

Tujuan utama dari majlis maulid adalah menambah rasa cinta kepada Rasulullah saw dan mengagumkannya dengan cara membaca shalawat dan syama’il.

Oleh karena itu, majlis maulid seharusnya dilaksankan dengan penuh hidmah dan menampakkan rasa ta’dhim khususnya pada saat mahallul qiyam dimana bacaan pada saat itu menceritakan saat-saat kelahiran Rasulullah saw, para ulama sangat menganjurkan untuk berdiri sambil membayangkan kehadiran Rasulullah saw.

Imam alqorofi bahkan mewajibkan berdiri pada saat mahallul qiyam sebagai simbol penghormatan kepada rasulullah saw. Sehingga Rebutan sebagaimana yang dimaksud dalam pertanyaaan sangat berlawanan dengan sikap ta’dhim yang seharusnya dilakukan dengan simbol berdiri. Dengan demikian hukumnya adalah haram sebab tindakan tersebut cenderung merusak kesakralan majlis maulid dan terkesan tidak menghormati Rasulullah saw.

Bagaimana tuntunan maulid menurut kitab salaf?

Tidak ada cara yang mengikat dalam pengadaan maulid nabi akan tetapi yang penting harus :

  1. Berisi amal kebaikan, seperti membaca shalawat, syamail, al quran dan sedekah dll
  2. Tidak bersamaan dangen kemungkaran
  3. Dilakukan dengan tatakrama (adab) dalam artian dengan tetap menjaga kesakralan maulid.

Referensi

Referensi tercantum di sini dan dalam kitab At-Tanbihat al-Wajibat adikarya Mbah Hasyim Asy’ari.

Hukum Alam dalam Islam

Mustaqim.NET – Dari #pararabu ada yang bertanya terkait hukum alam. Bagaimana akidah menyikapinya?

 

Lihat postingan ini di Instagram

 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Muhammad ibnu Romli (@miromly)

Hukum alam dalam KBBI memiliki makna: ketentuan menurut kodrat alam.

Seenggaknya ada tiga golongan dalam memahami hukum alam:

  1. Thaba’i’in (1)
  2. Thaba’i’in (2)
  3. Kelompok Aswaja

Mari ketiganya kita ulas satu-persatu:

“[konsep ini] membatalkan pandangan thaba’i’in. Mereka berpendapat bahwa bahwa segala hal berjalan secara alami. Contoh: makanan = mengenyangkan; air = mengalir, menumbuhkan, menyucikan, dan membersihkan; api = membakar; pakaian = menutupi aurat dan anti-panas-dingin serta contoh-contoh yang lain. Kelompok ini sebenarnya beragam. Kelompok Thaba’i’in versi pertama meyakini bahwa yang memberikan pengaruh adalah hakikat dan tabiat dari benda itu sendiri (tanpa melibatkan Allah). Ibnu Dahhaq berpendapat: tidak khilaf terkait kekafirannya”.

“Kelompok Thaba’i’in versi kedua meyakini bahwa hakikat dari benda tersebut tidak memiliki pengaruh sedikit pun. Hanya saja, benda itu memiliki kekuatan yang Allah titipkan. Andaikan Allah mencabut kembali, niscaya benda tersebut kembali tidak memiliki pengaruh apa pun. Banyak orang awam yang mengikuti pandangan filosofi semacam ini. Tidak ada khilaf mengenai kebidahan pemikiran semacam ini. Namun, dalam perihal kekafiran orang yang meyakininya masih ada khilaf.”

“Sedangkan orang yang keimanannya tahqiq tidak mengaitkan penciptaan barang tersebut dengan sesuatu apa pun; tidak mengaitkan dengan penciptaan yang berkaitan dengan tabiat, tidak pula dikaitkan dengan kekuatan yang Allah titipkan kepada benda tersebut. Orang mukmin sejati berkeyakinan bahwa Allahlah yang memberlakukan hukum adat di sana, sesuai dengan ikhtiar Allah.”

9 Macam Nama (الاسم) Beserta Penjelasan dan Contohnya

Mustaqim.NET – Saat dalam pengkajian nama-nama Allah, atau yang kita kenal dengan 99 Asmaul Husna, sebagian orang bertanya, “Sebenarnya apa perbedaan antara sifat dan nama, bukankah yang terkandung dalam Asmaul Husna itu juga terkandung sifat-sifat ketuhanan?” Untuk menjawab kebingungan tersebut, perlu kiranya membahas terkait esensi dari sebuah nama.

Dalam kita kitab Nihayatuz-Zain, Syekh Nawawi, Banten saat mensyarahi basmalah (dengan menyebut nama Allah), beliau memerinci bahwa kata yang menunjukkan arti nama (الاسم) itu ada sembilan macam, meninjau dari makna dari nama tersebut. Perinciannya sebagaimana berikut:

Pertama, Kata Zat

Kata yang menunjukkan zat seseorang, itu tergolong nama. Hal ini sebagaimana yang biasa kita gunakan dalam keseharian; setiap kata yang berfungsi untuk memanggil seseorang atau benda lainnya itu tergolong nama.

Nah, istilah nama tersebut merupakan kategori pertama dari sembilan kategori nama. Contoh, seperti kata Zaid untuk seseorang. Zaid merupakan nama dari orang tersebut, serta memang menunjukkan kepada hakikat dari zat orang tersebut.

Kedua, Bagian Zat

Tergolong dari nama, ialah kata yang menunjukkan satu bagian dari sekian banyak bagian dari sebuah zat. Semisal, kata fisik ditujukan kepada manusia. Manusia sendiri di antara ciri-cirinya adalah berfisik. Maka fisik merupakan nama dari manusia. Namun, hal ini merupakan nama dengan kategori yang kedua.

Ketiga, Sifat Hakiki

Termasuk dari nama ialah setiap kata yang menunjukkan sifat hakiki (sifat yang memang memiliki entitas tersendiri yang melekat kepada zat, bukan salbi atau pula idhafi). Contoh: hitam, putih, panas, dan dingin. Semua itu merupakan sifat yang memang maujud. Sehingga kata hitam, putih, panas, dan dingin tergolong nama pada kategori ketiga.

Keempat, Sifat Idhafi

Sifat Idhafi adalah sifat yang membutuhkan sandaran kepada hal lain. Seperti, kata pemilik. Kata ini membutuhkan “sandaran” kepada hal lain, yakni: sesuatu yang dimiliki. Oleh karenanya, kata pemilik juga tergolong nama dengan kategori menunjukkan sifat idhafi. Contoh serupa juga termasuk: maklum, mafhum, madzkur, dan mamluk.

Kelima, Sifat Salbi

Sifat salbi adalah sifat yang berfungsi untuk memfilter sesuatu yang tidak layak/sebaliknya sifat tersebut. Seperti contoh, buta. Kata buta tergolong nama dari sifat salbi. Dengan arti menafikan sifat kebalikannya: melihat. Kata buta, berarti tidak melihat. Oleh karenanya, buta juga tergolong cakupan dari sebuah nama di kategori ketujuh.

Keenam, Sifat Hakiki dan Sifat Idhafi Sekaligus

Ada pula nama yang mencakup sifat salbi hakiki dan idhafi sekaligus. Semisal, kata dzat yang berilmu atau dzat yang mampu. Dalam kata tersebut, terkandung sifat hakiki berupa sifat ilmu dan kemampuan. Namun, tentunya sifat hakiki yang terkandung di dalamnya membutuhkan sandaran berupa sesuatu yang diketahui dan sesuatu yang ia mampu. Dengan begitu, kata ‘aliman atau qadiran tergolong nama yang mencakup sifat hakiki dan idhafi sekaligus.

Ketujuh, Sifat Hakiki dan Sifat Salbi Sekaligus

Cakupan nama pada kategori ketujuh ialah: sebuah nama yang mengandung makna sifat hakiki dan salbi sekaligus. Contohnya sama seperti contoh yang keenam, hanya saja memiliki sudut pandang yang berbeda. Contohnya adalah kata kata dzat yang berilmu. Dengan arti dzat yang berilmu memiliki sifat hakiki berupa ilmu. Juga, jika kita artikan berilmu berarti tidak bodoh, itu sudah tergolong sifat salbi.

Begitu pula dengan kata dzat yang mampu, kata tersebut mencakup sifat hakiki berupa kemampuan sekaligus mencakup sifat salbi berupa tidak lemah. Dengan begitu, kata ‘aliman atau qadiran tergolong nama yang mencakup sifat hakiki dan salbi sekaligus.

Kedelapan, Sifat Idhafi kepada Sifat Salbiyah

Nama juga ada yang mengandung makna sifat idhafi/disandarkan kepada sifat salbiyah. Contohnya seperti asma Allah al-awwal. Nama ini memiliki arti: mendahului dari selain-Nya (berarti sifat idhafi). Juga mengandung makna, selain-Nya tidak mendahului (berarti salbiyah).

Kesembilan, Keseluruhan Sifat (Hakiki, Idhafi, dan Salbi)

Ada juga nama yang mengandung makna keseluruhan sifat, mulai dari hakiki, idhafi hingga salbi. Contohnya adalah kata tuhan. Kata tuhan sendiri menunjukkan sifat hakiki ketuhanan, sekaligus menunjukkan sifat salbi yang menafikan segala sifat yang tidak layak kepada tuhan, dan pula menunjukkan sifat idhafi, yakni tuhan kuasa menciptakan sesuatu.

Referensi:

أقسام الاسم تسعة: أوّلها: الاسم الواقع على الشيء بحسب ذاته كسائر الأعلام؛ نحو زيد فإنه ذات الشيء وحقيقته. ثانيها: الواقع على الشيء بحسب جزء من أجزاء ذاته كالجوهر للجدار والجسم له. ثالثها: الواقع على الشيء بحسب صفة حقيقية قائمة بذاته كالأسود والأبيض والحار والبارد. رابعها: الواقع على الشيء بحسب صفة إضافية فقط كالمعلوم والمفهوم، والمذكور والمالك والمملوك. خامسها: الواقع على الشيء بحسب صفة سلبية: كأعمى وفقير وسليم عن الآفات. سادسها: الواقع على الشيء بحسب صفة حقيقية مع صفة إضافية: كعالم وقادر بناء على أن العلم والقدرة صفة حقيقية لها إضافة للمعلومات والمقدورات. سابعها: الواقع على الشيء بحسب صفة حقيقية مع صفة سلبية: كقادر لا يعجز، وعالم لا يجهل، وكواجب الوجود. ثامنها: الواقع على الشيء بحسب صفة إضافية على صفة سلبية كلفظة أوّل، فإنه عبارة عن كونه سابقاً غيره، وهو صفة إضافية، وأنه لا يسبقه غيره، وهو صفة سلبية، وكالقيوم فإن معناه كونه قائماً بنفسه: أي لا يحتاج إلى غيره وهو سلب، ومقوّماً لغيره وهو إضافة. تاسعها: الواقع على الشيء بحسب مجموع صفة حقيقية وإضافية وسلبية كالإله فإنه يدل على كونه موجوداً أزلياً واجب الوجود لذاته، وعلى الصفات السلبية الدالة على التنزيه، وعلى الصفات الإضافية الدالة على الإيجاد والتكوين،
[نهاية الزين شرح قرة العين 1/ 2]

Filosofi Rambut Putih (Uban) ala Kasidah Burdah

Mustaqim.NET – Sangat beda rasanya jika kita membaca kasidah Burdah sebagai lantunan saja, dengan membaca seraya meresapi maknanya. Tidak hanya berisi sanjungan kepada baginda Nabi Muhammad, tetapi ada beberapa nasihat yang sangat penting untuk kita renungkan, terutama bagi kita yang sedang berusaha melawan hawa nafsu.

Tepatnya dalam pasal kedua, yakni al-Fashlust-Tsani fit-Tahdzir min Hawan-Nafsi, pasal kedua terkait peringatan akan bahaya hawa nafsu. Kita renungkan bersama-sama poin-poin yang tercantum dalam pasal tersebut.

Filosofi Uban ala Imam al-Bushiri

Sebelum masuk ke pasal dua terkait hawa nafsu, ada satu bait terakhir dalam pasal pertama yang tidak boleh terlewatkan. Bait tersebut ialah:

إِنِّى اتَّهَمْتُ نَصِيْحَ الشّيْبِ فِي عَذَلِي ۞ وَالشّيْبُ أَبْعَدُ فِي نُصْحِ عَنِ التُّهَمِ

“Aku menuduh ubanku turut serta mencercaku.
Padahal ubanku pastilah tulus dalam memperingatkanku.”

Dalam bait tersebut Imam al-Bushiri memosisikan uban sebagai penasehat yang tulus. Imam al-Bushiri menyebutkan dengan: wasy-syaibu ab’adu fin-nushhi ‘anit-tuhami, uban dalam urusan nasehat jauh dari tuduhan dusta. Mengapa demikian? Karena uban itu memberi tahu (menasihati) kita terkait umur kita yang menua, serta ajal yang semakin mendekat. Nasihat tersebut tentu tulus, tidak mengharapkan sesuatu yang lain. Tidak seperti manusia yang sok menjadi si paling penasihat.

Tidak ada penasihat yang lebih tulus daripada uban. Ia selalu memperingati kita, tanpa mengharap imbalan sedikit pun. (Inspirasi kasidah Burdah)

Kemudian, Imam al-Bushiri memperjelas hal itu pada pasal berikutnya, yakni pasal yang akan kita bahas saat ini: al- Fashlust-Tsani fit-Tahdzir min Hawan-Nafsi, pasal kedua terkait peringatan akan bahaya hawa nafsu.

الفصل الثاني : في التحذير من هوى النفس

Pasal kedua terkait peringatan akan bahaya hawa nafsu

فَإِنّ أَمّارَتِ بِالسّـوءِ مَا اتّعَظَتْ ۞ مِنْ جَهْلِهَا بِنَذِيرِ الشّيْبِ وَالَهَرَمِ

Sungguh nafsu amarahku tidak mau menerima nasihat.
Karena tidak tahu akan peringatan uban dan kerentaan.

وَلَا أَعَدَّتْ مِنَ الفِعْلِ الَجَمِيْلِ قِرَى ۞ ضَيْفٍ أَلَمَّ بِرَأْسِي غَيْرَ مُحْتَشِمِ

(Nafsu amarahku itu) tidak pula mempersiapkan diri dengan amal baik untuk menjamu tamu
yang bersemayam di kepalaku tanpa rasa malu.

لَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ أَنِّـي مَــا أُوَقّـــــــــِرُهُ ۞ كَتَمْتُ سِرًّا بَدَا لِيْ مَنْهُ بِالكَتَمِ

Jika saja aku tahu aku tahu bahwa aku menghormati uban yang bertamu.
Lebih baik kusembunyikan dengan semir rahasia (ketuaanku itu).

Dalam bait tersebut, Imam al-Bushiri menyandingkan uban dengan tua renta, as-syaibi dan al-harami. Hal ini menunjukkan bahwa uban itu merupakan pengingat akan kematian.

Juga, ulama kelahiran Maroko ini memosisikan uban sebagai tamu, yang kelaziman dari tamu ialah selayaknya kita memberikan suguhan. Tentu hanya orang yang tidak memiliki rasa malu yang dengan bangga menelantarkan tamu-tamunya. Oleh karenanya, murid dari Imam Asy-Syadzili inilah mengungkapkan: andai tahu tidak bisa menghormati tamu, lebih baik kusembunyikan saja “tamu” itu.

Uban adalah tamu. Tuan rumah sepatutnya menyuguhkan kebaikan kepada tamu itu. Kecuali Anda tidak tahu malu.

Aswaja, Salafi dan Wahabi

Mustaqim.NET – Diakui atau tidak, ajaran wahabi “laris di pasaran” lantaran klaim mereka bahwa akidah merekalah yang sesuai dengan manhaj salaf, padahal tidak. Dalam video ini, kami betapa berbeda antara konsep akidah ulama salaf dengan akidah wahabi. Selamat menyimak!

 

Hukum Bisnis MLM (Multi Level Marketing) dalam Islam

Mustaqim.NET – Pada zaman modern saat ini bisnis MLM seperti (PayTren, UVO, CNI, DLL) sudah merambah kesetiap elemen masyarakat pada umunya.Sebutlah Pak Maman yang baru bergabung dengan bisnis MLM tersebut. Yang mana bisnis ini dijalankan dengan Pak Maman masuk sebagai anggota baru dan Pak M

aman harus menyetorkan sejumlah uang untuk membeli produk MLM tadi dan kemudian Pak Maman harus mencari dan mengajak orang lain (keluarga, teman, tetangga, sahabat) untuk menjadi anggota, yang mana posisi mereka semua berada dibawah Pak Maman. Dan setiap produk dari MLM yang terjual dan Pak Maman dapat member baru, maka Pak Maman akan mendapatkan bonus dari MLM tadi. Reward (keuntungan) akan diberikan kepada Pak Maman sejauh mana banyaknya produk yang terjual dan member baru yang didapatkan oleh Pak Maman.

Pertanyaan

Apakah status akad yang terjadi antara Pak Maman dan orang yang berada dibawah Pak Maman?

Jawaban

Terjadi Transaksi Jual Beli (Bai’ Shohih), antara Pak Maman dan orang yang di bawahnya.

Referensi

  • فتح المعين – (ج 3 / ص 2)

باب البيع  

هو لغة مقابلة شيء بشيء وشرعا مقابلة مال بمال على وجه مخصوص والأصل فيه قبل الإجماع آيات كقوله تعالى { وأحل الله البيع } وأخبار كخبر سئل النبي صلى الله عليه وسلم أي الكسب أطيب فقال عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور أي لا غش فيه ولا خيانة ( يصح ) البيع ( بإيجاب ) من البائع ولو هزلا وهو ما دل على التمليك دلالة ظاهرة ( كبعتك ) ذا بكذا أو هو لك بكذا ( وملكتك ) أو وهبتك ( ذا بكذا ) وكذا جعلته لك بكذا إن نوى به البيع

  • أسني المطالب جــ 2 صــ  2

وهو لُغَةً مُقَابَلَةُ شَيْءٍ بِشَيْءٍ وَشَرْعًا مُقَابَلَةُ مَالٍ بِمَالٍ على وَجْهٍ مَخْصُوصٍ وَالْأَصْلُ فيه قبل الْإِجْمَاعِ آيَاتُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَقَوْلُهُ لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عن تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَأَخْبَارٌ كَخَبَرِ سُئِلَ النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ فقال عَمَلُ الرَّجُلِ بيده وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ لَا غِشَّ فيه وَلَا خِيَانَةَ رَوَاهُ الْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ وَخَبَرُ إنَّمَا الْبَيْعُ عن تَرَاضٍ رَوَاهُ ابن حِبَّانَ وَصَحَّحَهُ قال في الْمَجْمُوعِ تَبَعًا لِلْغَزَالِيِّ وَأَرْكَانُهُ ثَلَاثَةٌ صِيغَةٌ وَعَاقِدٌ وَمَعْقُودٌ عليه وَاخْتَارَ الرَّافِعِيُّ أنها شُرُوطٌ له وقد ذَكَرْت دَلِيلَهُ وَالْجَوَابَ عنه في شَرْحِ الْبَهْجَةِ

Kajian Lanjut Terkait Bisnis MLM

Definisi Multi Level Marketing (MLM)

Multi Level Marketing (MLM) adalah strategi pemasaran berjenjang, di mana tenaga penjual (sales) tidak hanya mendapatkan kompensasi atas penjualan yang mereka hasilkan, tetapi juga atas  penjualan sales lain yang mereka rekrut. Tenaga penjual tersebut dikenal dengan anggota “downline)

Ilustrasi Multi Level Marketing  

up line (tingkat atas)

down line (tingkat bawah)

System Multi Level Marketing (MLM) (1)

Mula-mula pihak perusahaan berusaha menjaring konsumen untuk menjadi member dengan cara mengharuskan calon konsumen membeli paket produk perusahaan dengan harga tertentu.

System Multi Level Marketing (MLM) (2)

Dengan membeli paket produk perusahaan tersebut, pihak pembeli diberi satu formulir keanggotaan (member) dari perusahaan.

 

System Multi Level Marketing (MLM) (3)

Sesudah menjadi member, maka tugas berikutnya adalah mencari calon member-member baru dengan cara seperti di atas, yakni membeli produk perusahaan dan mengisi formulir keanggotaan.

System Multi Level Marketing (MLM) (4)

Para member baru (down line) juga bertugas mencari calon member-member baru lagi dengan cara seperti di atas, yakni membeli produk perusahaan dan mengisi formulir keanggotaan.

System Multi Level Marketing (MLM) (5)

Jika member mampu menjaring member-member baru (down line) yang banyak, maka ia akan mendapat bonus dari perusahaan. Semakin banyak member yang dapat dijaring, maka semakin banyak pula bonus yang akan didapatkan, karena perusahaan merasa diuntungkan oleh banyaknya member yang sekaligus menjadi konsumen paket produk perusahaan.

System Multi Level Marketing (MLM) (6)

Dengan adanya para member baru (down line) yang sekaligus menjadi konsumen paket produk perusahaan, maka member yang berada pada level pertama (up line /member awal/ pelopor), kedua dan seterusnya akan selalu mendapatkan bonus secara estafet dari perusahaan karena perusahaan merasa diuntungkan dengan adanya member-member baru yang sekaligus menjadi konsumen paket produk perusahaan.

Persyaratan menjadi distributor Multi Level Marketing (MLM).

Berusia minimal 17 tahun.

Memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau SIM (Surat Izin Mengemudi).

Mengisi formulir keanggotaan.

Membeli Starter Kit senilai Rp. 110.000 atau membeli Paket Starter Kit senilai 200 poin untuk masa keanggotaan setahun. Keanggotaan ini dapat diperpanjang dengan membayar
Rp 55.000 per tahun.

Produk-Produk Multi Level Marketing (MLM)

Makanan kesehatan (Health Food) 

Makanan dan minuman (Food & Beverages)

Produk perawatan diri (Personal Care)

Produk kebutuhan rumah tangga (Home Care)

Hukukm Bisnis Multi Level Marketing (MLM)

  1. Berpendapat bahwa bisnis Multi Level Marketing (MLM) hukumnya halal (boleh)
  2. Berpendapat bahwa bisnis Multi Level Marketing (MLM) hukumnya Haram (tidak`boleh)

Tokoh dan lembaga Yang berpendapat bahwa bisnis Multi Level Marketing (MLM) hukumnya halal (boleh)

دار الإفتاء الليبية والتونسية ولجنة الفتوى بالأزهر ولجنة الفتوى بالجامعة الأردنية والشيخ عبد الله بن جبرين والشيخ سلمان العودة ، انظر: موقع جريدة الوفد ،  

Dalil yang  berpendapat bahwa bisnis multi level marketing (mlm) hukumnya halal (boleh)

قوله تعالى: وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا} البقرة / 275، وأل التعريف تقتضي العموم، فيكون الأصل في البيوع الإباحة ما لم يرد نص بتحريمه، وتسويق متعدد المستويات التجاري معاملة مستحد ثة لم يرد فيه نص.

قال العلامة أبو الحسن الماوردى فى الحاوى الكبير:  “أَنَّ الْأَصْلَ فِي الْبُيُوعِ الْإِبَاحَةُ : لِعُمُومِ قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ : وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “( )الحاوى الكبير، أبو الحسن الماوردى ج 5 ص 454(

Dalil yang  berpendapat bahwa bisnis multi level marketing (mlm) hukumnya halal (boleh)

تسويق متعدد المستويات نوع من السمسرة، والعمولات التي يأخذها المسوق مقابل الدلالة والترويج لمنتجات الشركة.

قال بن حجر العسقلاني  فى تغليق التعليق: “ولم ير ابن سيرين وعطاء وإبراهيم والحسن بأجر السمسار بأسا قال ابن عباس لا بأس أن يقول بع هذا الثوب فما زاد على كذا وكذا فهو لك”) تغليق التعليق : أحمد بن علي بن حجر أبو الفضل العسقلاني الشافعي، ج 2 ص 117(

Tokoh dan lembaga Yang berpendapat bahwa bisnis Multi Level Marketing (MLM) hukumnya Haram (tidak boleh)

مجمع الفقه الإسلامي بالسودان، ودائرة الإفتاء الأردنية، ودار الإفتاء المصرية، واللجنة الدائمة للإفتاء بالسعودية، ودار الإفتاء الفلسطينية، والدكتور سامي السويلم وهو أول من حرر الكلام في المسألة، والدكتور يوسف الشبيلي والدكتور أحمد الحجي الكردي والدكتور حسين شحاته والدكتور حسام الدين عفانة

Dalil Tokoh dan lembaga Yang berpendapat bahwa bisnis Multi Level Marketing (MLM) hukumnya Haram (tidak boleh)

جاء في فتوى لدائرة الإفتاء الأردنية: “أسلوب تسويق متعدد المستويات التجاري  وأخذ العمولات عليه ليس من السمسرة الشرعية في كثير من صوره المنتشرة اليوم، بل هو من باب الميسر والمقامرة المحرمة؛ لأن المشتركين عادة لا يشتركون إلا بغرض تحصيل المكافآت على إحضار زبائن آخرين، فإذا جلب المشترك عدداً من الزبائن، وحقق شروط الشركة أخذ عمولته التي قد تزيد أو قد تنقص عن المبلغ الذي دفعه ابتداء، وإذا فشل خسر المبلغ كله، وهذا الاحتمال يُدخِلُ المعاملة في شبهة الغرر والميسر) . موقع دائرة الإفتاء الأردنية،https://goo.gl/cMgUgh.

وجود القمار والميسر الذي ورد الشرع بتحريمه لما فيه من المخاطرة والغرر  .فالمنتج غير مقصود في المعاملة، فيكون المشترك قد دفع أموالا مقابل احتمالية الحصول على أرباح أعلى أو الخسارة ذلك.

وقال ابن القيم فى إعلام الموقعين عن رب العالمين: وقد تظاهرت أدلة الشرع وقواعده على أن القصود في العقود معتبرة ، وأنها تؤثر في صحة العقد وفساده وفي حله وحرمته ، بل أبلغ ) إعلام الموقعين عن رب العالمين. ابن القيم (

Dalil Tokoh dan lembaga Yang berpendapat bahwa bisnis Multi Level Marketing (MLM) hukumnya Haram (tidak boleh)

وجود الربا بنوعيه، ربا الفضل وربا النسيئة) في المعاملة؛ جاء في فتوى اللجنة الدائمة للإفتاء: “فالمشترك يدفع مبلغاً قليلاً من المال ليحصل على مبلغ كبير منه، فهي نقود بنقود مع التفاضل والتأخير، وهذا هو الربا المحرم بالنص والإجماع، والمنتج الذي تبيعه الشركة على العميل ما هو إلا ستار للمبادلة، فهو غير مقصود للمشترك، فلا تأثير له

فال ابو حسن فى إعانة الطالبين : الربا وشرعا: عقد واقع على عوض مخصوص غير معلوم التماثل في معيار الشرع، أو واقع مع تأخير في البدلين، أو أحدهما”. )إعانة الطالبين ،:    ابو حسن  ج 3 ص   470(

Dalil Tokoh dan lembaga Yang berpendapat bahwa bisnis Multi Level Marketing (MLM) hukumnya Haram (tidak boleh)

دخول الغش والتدليس في المعاملة، من خلال المبالغة والتهويل بفوائد السلعة المروجة، أو إغراء المشتركين الجدد بالعمولات الضخمة التي سيجنونها من اشتراكهم.

Dalil Tokoh dan lembaga Yang berpendapat bahwa bisnis Multi Level Marketing (MLM) hukumnya Haram (tidak boleh)

أنها من الغرر المحرَّم شرعًا، لأن المشترك لا يدري هل ينجح في تحصيل العدد المطلوب من المشتركين أم لا؟! وتسويق متعدد المستويات التجاري  مهما استمر فإنه لا بد أن يصل إلى نهاية يتوقف عندها، ولا يدري المشترك حين انضمامه إلى الهرم هل سيكون في الطبقات العليا منه فيكون رابحًا، أو في الطبقات الدنيا فيكون خاسرًا؟! والواقع أن معظم أعضاء الهرم خاسرون إلا القلة القليلة في أعلاه.

فالغالب إذن؛ هو الخسارة، وهذه هي حقيقة الغرر، وهي التردُّد بين أمرين أغلبهما أخوفهما، عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ. رواه مسلم

Diskusi Dalil Yang menghalalkam MLM (1)

قوله تعالى: {وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا} البقرة / 275، وأل التعريف تقتضي العموم، فيكون الأصل في البيوع الإباحة ما لم يرد نص بتحريمه، والتسويق الشبكي معاملة مستحدثة لم يرد فيه نص.

ويمكن أن يناقش هذا الدليل بأنه خارج محل النزاع؛ لأن كلا الفريقين متفق على أن الأصل في المعاملات الإباحة، والاختلاف قد وقع بسبب وجود محظورات في المعاملة.

Diskusi Dalil Yang menghalalkam MLM (2)

تسويق متعدد المستويات التجاري  نوع من السمسرة، والعمولات التي يأخذها المسوق مقابل الدلالة والترويج لمنتجات الشركة.

وقد أجاب المانعون بأن عقد السمسرة يحصل السمسار بموجبه على أجر لقاء ترويج السلعة وأن مقصود العقد الترويج للسلعة، وأما تسويق متعدد المستويات التجاري فيدفع المسوق الأجر ليقوم بالتسويق، ومقصود العقد الترويج للعمولات والأرباح وليس للسلع.

Diskusi Dalil Yang menghalalkam MLM (3) 

أن تسويق متعدد المستويات التجاري  نوع من الوكالة بأجر، فتقوم الشركة بإبرام عقد وكالة مع المسوق لترويج المنتجات مقابل عمولات على ذلك الجهد.أن عمولة التسويق الشبكي تدخل في باب الجعالة

وقد أجيب بأن الجعالة لا يقدم المجعول له مالا ابتداء فهو لا يخسر سوى جهده، وأما في التسويق الشبكي فالمسوق يقدم مالا في أي صورة كان.

4 Ciri Na’at dan Man’ut Serta Penjelasannya

Mustaqim.NET – Kali ini, kita akan membahas perihal na’at-man’ut. Perlu diketahui sebelumnya, bahwa na’at tergolong satu dari keempat tawabi’; na’at, ‘athaf, taukid dan badal. Pengertian dari na’at sendiri adalah, kata sifat yang menjadi penyempurna man’ut (yang disifati) dan bermakna se (Madura) atau kang (Jawa).

Adapun ciri-cirinya sendiri, ada 4 macam:

  1. Berupa isim sifat, termasuk isim fa’il dan maf’ul.
  2. Isim nasab
  3. Isim tafdil
  4. Isim isyarah yang setelah isim makrifat

Penjelasan lengkapnya, bisa Anda simak dalam audio di atas.

Pembagian Na’at

Na’at terbagi menjadi dua bagian: hakiki dan sababi.

Na’at Hakiki

Na’at Hakiki adalah na’at yang merafa’kan isim dhamir yang kembali kepada man’ut. Na’at hakiki harus cocok dengan man’utnya dalam 4 hal:

  1. I’rab
  2. Mufrad, tastniyah, dan jama’
  3. Mudzakkar-muannats
  4. Makrifat-nakirah

Contoh na’at hakiki

  1.  إعلم أن الحكم العقلي
  2. أي تأخذ ذاته العلية

Na’at Sababi

Na’at Sababi adalah na’at yang merofa’kan isim dzahir yang sembung dengan dhamirnya man’ut.

Na’at sababi harus cocok dengan man’utnya dalam 2 hal:

  1. I’rab
  2. Makrifat-nakirah

Setiap isim sifat ketika menjadi naat apabila dimudhafkan maka tergolong na’at sababi. Dengan alasan, ia tidak merofa’kan isim dhamir.

Isim Fa’il dan Maf’ul: Contoh, Pengertian, Perbedaan dan Penjesalannya

Mustaqim.NET – Rekaman ini merupakan metode pendekatan pemahaman terkait isim fa’il dan isim maf’ul. Metode-metode pendekatan yang mutakhir diperlukan untuk memberi pemahaman kepada peserta didik yang masih nol terkait ilmu alat.

Dalam audio tersebut, kami memadukan gramatika bahasa Indonesia dengan ilmu alat bahasa Arab. Dengan menjelaskan bahwa isim musytaq (termasuk pula isim fa’il dan isim maf’ul) merupakan kata yang berimbuhan dalam bahasa Indonesia.

Contoh isim fa’il: ناصر kalau diterjemah, “penolong”. Berasal dari fi’il madhi نصر yang memiliki arti pertolongan/tolong. Untuk menunjukkan makna subyek diberikanlah imbuhan pe menjadi penolong. Begitu pun pula نصر agar menunjukkan subyek, maka diberikan imbuhan alif setelah fa’ fi’il, jadilah ناصر.

Sama persis dengan isim maf’ul. Kata نصر memiliki isim maf’ul منصور. Dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang ditolong. Imbuhan di dalam bahasa Arab menggunakan huruf mim di awal dan wawu setelah ‘ain fi’il.

Mengenal Isim Fa’il dan Isim Maf’ul

Isim Fa’il dan Isim Maf’ul merupakan dua shighat yang musytaq (antonim dari jamid). Karena itulah kita menamai keduanya merupakan kata yang berimbuhan.

Pengertian Jamid dan Musytaq

Isim ada dua: jamid dan musytaq. Pengertian jamid adalah sebagaimana dalam kitab Jami’ud-Durus:

فالإسمُ الجامدُ ما لا يكونُ مأخوذاً من الفعل: كحجرٍ وسَقفٍ ودرهمٍ. ومنه مَصادِرُ الأفعالِ الثُّلاثية المجرَّدة، غيرُ الميميّة: كعِلْمٍ وقراءةٍ.

Isim jamid adalah: isim yang tidak diambilkan dari fi’il. Seperti, hajar (batu), saqfin (atap), dirham. Termasuk pula masdar tsulatsi mujarad (tiga huruf tanpa tambahan), yang bukan mashdar mim, seperti: ‘ilm (ilmu), qira’ah (bacaan).

Sedangkan pengertian isim musytaq adalah sebagaimana berikut:

والاسم المشتقُّ: ما كان مأخوذاً من الفعل: كعالمٍ ومُتعلِّمٍ ومِنشارٍ ومُجتَمَعٍ ومستشفىً وصَعْبٍ وأدعجَ.

“Isim Musytaq adalah setiap kata yang diambilkan (berubah/diimbuhi) dari fi’il, seperti ‘alim, muta’allim, minsyar, mujtama’, sha’b, adja’.

Isim yang Tergolong Musytaq

Dalam kitab yang sama, terdapat perincian isim-isim yang tergolong musytaq. Setidaknya, ada 10 isim yang tergolong musytaq, antara lain:

والأسماءُ المشتقة من الفعل عشرة انواع: وهي: إسمُ الفاعل، واسمُ المفعول، والصفةُ المشبّهةُ، ومبالغةُ اسمِ الفاعل، واسمُ التَّفضيل، واسمُ الزمان، واسمُ المكان، والمصدرُ الميميُّ، ومصدرُ الفعل فوق الثلاثيّ المجرَّدِ، واسمُ الآلة.

“Isim-isim yang musytaq setidaknya ada 10 macam: isim fa’il, isim maf’ul, sifat musyabbihah, mubalaghah, isim tafdhil, isim zaman, isim makan, mashdar mim, mashdar yang bukan tsulatsi mujarrad, dan isim alat.

Apa Itu Kalamullah? – Memahami al-Quran yang Bukan Makhluk

Mustaqim.NET – Sering kali kami lihat percekcokan terkait kalamullah. Silang pendapat tersebut berupa, “Apakah kalamullah itu makhluk atau bukan.” Untuk itu penting kiranya mengetahui terkait 2 macam yang tercakup dalam istilah kalamullah dan al-Quran. Dua macam tersebut singkatnya sebagaimana berikut:

Kalamullah/al-Quran terbagi menjadi dua makna:

  1. al-Qadim al-Azali (yang tanpa huruf dan suara): statusnya kadim dan bukan makhluk
  2. Rangkaian kata yang diturunkan kepada para nabi: statusnya hadis dan makhluk

Sedangkan mushaf adalah yang tertuju kepada makna kedua. Jadi, statusnya makhluk. Sedangkan isinya sesuai dengan kalamullah al-Azali.

Untuk penjelasan lengkapnya pernah kami bahas dalam artikel yang berjudul Perbedaan Mushaf dan al-Quran. Juga pernah kami bahas sekilas dalam artikel yang berjudul Apakah al-Quran itu Makhluk?. Anda bisa merujuk kedua artikel tersebut untuk menambah wawasan terkait pembagian tersebut.

Oh, iya, jika berkenan silahkan bergabung dengan komunitas WA kami dengan mengklik tautan ini

 

 

Lirik Lagu Kan Terkenang Selalu

Mustaqim.NET – Setelah sebelumnya kami membahas terkait Mars Muslimat NU, kali ini kita akan membahas lirik lagu kan terkenang selalu. Lagu ini merupakan hymne resmi Milad Sidogiri ke-283.

 

Kan terkenang selalu

akan membekas selalu

dalam setiap sejarahmu

kukagumimu

 

Kucoba petik hikmahnya

kuuntaikan sebuah doa

semoga kau tetap sahaja

di bumi Nusantara

 

Oh betapa senang hatiku

bahagia perasaanku

andai dapat aku rengkuh

berkah darimu

***

 

Kan terkenang selalu

akan membekas selalu

dalam setiap sejarahmu

kukagumimu

 

Kucoba petik hikmahnya

kuuntaikan sebuah doa

semoga kau tetap sahaja

di bumi Nusantara

 

Oh, betapa senang hatiku

bahagia perasaanku

andai dapat aku rengkuh

berkah darimu

 

[reff]

Setiap siang dan malamku

aku mendengar munajatmu

 

Di setiap hari-hariku

terdengar merdu

suara burdahmu

 

Kuingin mencintaimu

serta penuh pengabdianku

 

Ku akan mencintaimu

karena engkau pesantrenku

 

Oh, betapa senang hatiku

bahagia perasaanku

andai dapat aku rengkuh

berkah darimu

***

 

Kan terkenang selalu

akan membekas selalu

dalam setiap sejarahmu

kukagumimu

 

Kucoba petik hikmahnya

kuuntaikan sebuah doa

semoga kau tetap sahaja

di bumi Nusantara

 

Oh, betapa senang hatiku

bahagia perasaanku

andai dapat aku rengkuh

berkah darimu

 

[reff]

Marhaban hai kawan santri

kita jalin silaturahmi

jalinan kasih yang tercipta

jejak para masyayikh kita

 

Mari kita satukan cita

demi bangsa dan negara

serta umat beragama

di negeri Indonesia

 

Wahai masyayikh kami

bimbinglah jiwa kami

jadi santri yang berbakti

dengan sepenuh hati

 

Ya Allah Ya Tuhan kami

Ampunilah dosa kami

lindungilah makhad kami

untuk bumi pertiwi

 

Ya Allah yang Mahakuasa

inilah yang kami minta

berharap engkau

kabulkannya

ya Rabbana

***

 

Kan terkenang selalu

akan membekas selalu

dalam setiap sejarahmu

kukagumimu

 

Kucoba petik hikmahnya

kuuntaikan sebuah doa

semoga kau tetap sahaja

di bumi Nusantara

 

Oh, betapa senang hatiku

bahagia perasaanku

andai dapat aku rengkuh

berkah darimu.

Alat Musik Rebana, Hukum Beserta Dalilnya

Mustaqim.NET – Kali ini saya akan merangkum hal-ihwal terkait alat musik rebana. Sumber kebanyakan kami kutip dari kitab at-Tanbihat al-Wajibat liman Yasna’u al-Maulid bi al-Munkarat, adikarya Mbah Hasyim Asy’ari. Pendiri Nahdlatul Ulama ini mengutip dari kitab Tuhfatul-Muhtaj, adikarya Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami (Ibnu Hajar al-Haitami).

Secara garis-besar, menabuh rebana boleh-boleh saja saat acara pernikahan. Karena hal itu juga terjadi saat pernikahan Sayyidah Fathimah dengan Sayyidina Ali, dan Rasulullah sendiri mengetahuinya. Imam al-Baghawi dari berbagai hadis terkait menabuh rebana bahkan berpendapat: sunah menabuh rebana dalam pernikahan dan selain pernikahan.

Juga, yang sangat jelas adalah boleh menabuh rebana dalam perayaan khitan. Hal itu berdasarkan riwayat bahwa Sayyidina Umar bin Khathab membiarkan menabuh rebana dalam acara nikah dan khitan, tetapi mengingkari menabuh rebana selain keduanya.

Dalam semua acara dalam rangka mengekspresikan kebahagiaan, menurut kaul ashah juga boleh. Ada sebuah hadis yang menceritakan bahwa ada seseorang yang bernazar untuk menabuh rebana saat ke-rawuh-an Rasulullah dari medan perang. Rasulullah bersabda, “Kalau kamu bernazar seperti itu, maka tunaikanlah.”

Dari hadis tersebut disimpulkan bahwa tidak ada khilaf terkait menabuh rebana saat ke-rawuh-an orang alim dan pemimpin, bahkan berhukum sunah. Karena sesuatu yang mubah seharusnya ketika dinazari tidak wajib dipenuhi. sedangkan dalam kasus tersebut, Rasulullah memerintahkan untuk memenuhi nazarnya.

Lantas, bagaimana kalau dalam rebana tersebut sudah dimodif memiliki kecer? Tentu juga tidak masalah. Lantaran hadis tersebut bersifat mutlak. Baik kecer rebana Arab, yang kecernya berupa kelintingan ada di dalam, atau pula kecer rebana non-Arab, yang kecernya ditempelkan pada beberapa lubang sekeliling rebana.

Berikut ringkasan ulama tentang hukum menabuh rebana yang telah dimodifikasi:

NO ULAMA/KITAB HUKUM REBANA KETERANGAN
1 al-Hawi ash-Shaghir dan ulama dan kitab lainnya Boleh
2 al-Adzra’i Haram Rebana malah lebih berpotensi membikin orang berjoget melebihi alat musik yang lain
3 al-Hilmi Ditinjau Halal hanya untuk perempuan (pendapat ini ditolak Imam as-Subki)

 

At-Tanbihat al-Wajibat liman Yasna’u al-Maulid bi al-Munkarat

Mustaqim.NET – Kali ini admin akan mereview kitab yang selama ini #pararabu tunggu-tunggu. Kitab apa lagi kalau bukan at-Tanbihat al-Wajibat liman Yasna’u al-Maulid bi al-Munkarat, adikarya Mbah Hasyim Asy’ari. Dari judulnya, kita sudah bisa mengetahui bahwa kitab ini mengkritisi terkait perayaan maulid yang berisi kemungkaran.

Bagi kaum nahdliyin, kitab ini terbilang sangat penting. Selain karena pengarangnya memang muassis Nahdlatul Ulama, kitab ini menjadi bahan perenungan dan introspeksi. Diakui atau tidak, kaum nahdliyinlah yang memang paling semangat merayakan maulid. Hal itu sangat memerlukan “buku panduan” agar perayaannya tidak melampaui batas-batas terlarang menurut syariat Islam.

Pertanyaannya: apakah ada maulid yang mungkar? Sejatinya bukan maulidnya yang mungkar, tetapi orang yang mengadakan perayaan kemungkaran berkedok maulid Nabi Muhammad. Jadi, letak pengingkarannya adalah komponen di dalam maulid nabi. Bukan perayaan maulid Nabi Muhammad.

Dalam at-tanbih ast-tsalits Mbah Hasyim mengutip pandangan Syekh Tajuddin Umar bin ‘Ali al-Lakhami dalam kitabnya al-Maurid fil-Kalami ‘alal-Maulid. Dalam kitab tersebut beliau membagi maulid menjadi dua. Jenis maulid yang kedua inilah yang ulama haramkan. Karena terdapat kemungkaran di dalamnya. Dari pernyataan tersebut al-Imam as-Suyuthi menjelaskan:

قوله و الثاني الى اخره هو كلام صحيح في نفسه غير ان التحريم فيه إنما جاء من قبل هذه الاشياء المحرمات التي ضمت اليه لا من حيث الإجتماع لإظهار شعار المولد

“Pendapat Syekh Tajuddin, ‘wats-tsani ila akhirihi’, itu memang pendapat yang sejatinya benar. Hanya saja, pengharaman tersebut meninjau dari perbuatan haram yang ada dalam rangkaian maulid. Bukan dari sisi mengadakan perkumpulan untuk menampakkan syiar maulid.”

Kemungkaran yang kerap terjadi dalam maulid ialah antara lain

  1. Ikhtilath (bercampur) antar lawan jenis
  2. Memakai alat musik yang haram

Dari sana ulama mengatakan:

إذا علمت ذلك فاعلم أن عمل المولد اذا ادى الى معصية راجحة مثل المنكرات وجب تركه وحرم فعله

“Apabila kamu mengetahui hal tersebut, ketahuilah bahwa menyelenggarakan maulid bila mana cenderung dominan maksiat, wajib meninggalkannya dan haram mengerjakannya.”

Ringkasan Kitab at-Tanbihat al-Wajibat

Peringatan Pertama

Maulid yang dianjurkan adalah:

اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرأن ورواية الاخبار الواردة في مبدإ أمر النبي صلى الله عليه وسلم وما وقع في حمله ومولده من الإرهاصات وما بعده من سيره المباركات ثم يوضع له طعام يأكلونه وينصرفون وإن زادوا على ذلك ضرب الدفوف مع مراعة الأدب فلا بأس بذلك

“Perkumpulan manusia serta membaca al-Quran dan hadis tentang sirah awal nabi, serta yang terjadi ketika dalam kandungan dan setelah kelahiran. Termasuk pula beberapa keajaiban menjelang kenabian. Serta setelahnya dari sejarahnya yang terberkati. Kemudian menaruh makanan. Para hadirin makan, lalu pergi. Paling full, meski pun nambah ialah menabuh rebana dengan menjaga etika yang baik.”

Syekh Abu Syamah mengatakan: bidah terbaik pada zaman beliau ialah: perayaan yang ada di wilayah Arbil, Irak. Perayaan tersebut bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad. Rangkaian dalam perayaan tersebut ialah: sedekah, kebaikan, menampakkan perhiasan, menampakkan kebahagiaan.

Sosok pertama kali mengadakan perayaan maulid besar-besaran ialah Syekh Umar bin Muhammad yang kemudian ditiru oleh raja Arbil, Irak.

Abu Lahab tiap malam Senin siksanya diringankan lantaran bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad dengan memerdekakan budaknya, yakni Tsuwaibah. Ibnu Jazari menjelaskan cerita tersebut sebagaimana berikut:

Ketika Abu Lahab yang kafir saja yang al-Quran sendiri mencelanya, menerima balasan kebaikan akan bahagianya kepada Nabi Muhammad, lantas bagaimana dengan orang Islam. (Tentunya lebih pasti akan mendapatkan balasan).

Ringkasan

Daftar kitab yang menjadi Rujukan Mbah Hasyim:

NO PENULIS KITAB
1 Syekh Syihabuddin Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma’il (Abu Syamah) al-Ba’its fi Inkaril-Bida’ wal-Hawadits
2 Syekh Yusuf bin Isma’il an-Nabhani al-Awar al-Muhammadiyah
3 al-‘Allamah Ibnu Hajar al-Haitami Tuhfatul-Muhtaj
4 Syekh Tajuddin Umar bin Ali al-Lakhami as-Sakandari (al-Fakihani) al-Maurid fil-Kalami ‘alal-Maulid
5 Syekh Abu ‘Abdillah bin al-Haj al-Maliki al-Madkhal
6 al-Qadi ‘Iyadh asy-Syifa

Download Kitab Tanbihat al-Wajibat PDF

Kitab Tanbihat al-Wajibat PDF

Terjemah Kitab Tanbihat al-Wajibat

Al-Insanu Mahalul-Khoto wan-Nisyan, Kajian Lengkap!

Mustaqim.NET – Sebelumnya, kita pernah membahas sekelumit tentang ungkapan utlubul ilma minal mahdi ilal lahdi. Untuk kali ini, kita akan menjelaskan terkait perkataan, “al-insanu mahalul-khoto wan-nisyan”, yang tulisan Arabnya beserta artinya sebagaimana berikut:

ألإِنْسِانُ مَحَلُّ الخَّطَاء وَالنِّسْيَان

“Manusia tempat salah dan lupa.”

Mengapa ungkapan ini sangat masyhur, khususnya pada kalangan pesantren? Ungkapan tersebut sudah termaktub dalam pelajaran fikih dasar, yakni kitab Sullamut-Taufiq ila Mahabbatil-Lah ‘alat-Tahqiq. Kitab tersebut karya Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’alawi al-Hadhrami.

Kitab ini merupakan pelajaran fan fikih untuk murid dasar. Kebanyakan menjadi mata pelajaran pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), tetapi tidak jarang pula yang menjadi materi pengajian umum. Sehingga sangat wajar, jika kandungannya, termasuk pula perkataan, “al-insanu mahalul-khoto wan-nisyan” juga ikut masyhur.

Karena pada dasarnya, ilmu yang bersifat umum, akan lebih masyhur ketimbang ilmu yang bersifat eksklusif.

Namun, apakah ungkapan ini sebuah sabda Nabi Muhammad? Kami belum pernah menemukan satu pun rawi yang meriwayatkan demikian. Akan tetapi, untuk kandungan yang selaras ungkapan ini, sangat banyak, baik berupa ayat al-Quran, hadis, hingga makalah ulama.

al-insanu mahalul-khoto wan-nisyan sullam taufiq

Ayat al-Quran

Kita mulai dari ayat al-Quran. Setidaknya ada dua ayat yang kandungannya serupa dengan ungkapan tersebut. Dalam surah al-Baqarah terdapat ayat:

رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah”

(QS. Al-Baqarah: 286)

Dalam ayat tersebut ada dua lafal yang berasal dari kata nisyan dan khatha’. Selain itu, juga terdapat ayat serupa yang memiliki kandungan terkait tidak berdosa orang yang melakukan kesalahan (yang tidak disengaja):

وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ

“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.”

(QS. Al-Ahzab: 05)

Hadis Serupa al-Insanu Mahalul-Khoto wan-Nisyan

Ada banyak sabda Nabi sendiri yang serupa dengan ungkapan al-insanu mahalul-khoto wan-nisyan. Antara lain sabda Nabi Muhammad yang berbunyi:

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ.

“Setiap manusia memiliki kesalahan. Orang bersalah yang paling baik adalah orang yang bertaubat.”

(HR. Ibnu Majah)

Ada pula sabda Nabi Muhammad yang mengumpulkan dua kata nisyan dan khatha’. Lagi-lagi menerangkan tentang ketidakberdosaan atau tidak ada tuntutan bagi mereka yang melakukan kesalahan tanpa sengaja. Rasulullah bersabda:

إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah membiarkan (mengampuni) kesalahan dari umatku akibat kekeliruan dan lupa”

(HR. Ibnu Majah)

Dalam hadis lain menggunakan lafal:

رُفع -أو: وضع- عن أمتي الخطأ والنسيان

“Tidak dicatat dari umatku apabila melakukan kekeliruan dan lupa.”

(HR. Ibnu Majah)

Penjelasan Ulama

Sebenarnya apa kaitan nash yang menerangkan terkait kekeliruan manusia dengan ungkapan yang sedang kita bahas? Meski pun secara literal berbeda, tetapi nash-nash terkait tidak ada dosa bagi orang yang melakukan kekeliruan atau lupa memiliki kandungan yang sama. Dengan kata lain, nash-nash tersebut menjelaskan bahwa tabiat manusia memang pelupa, sehingga Allah tidak menghukum perbuatan atas dasar lupa.

Hal ini juga sama dengan keterangan yang ada dalam Syarah Umdatul-Ahkam (9/30)

فالله تعالى لا يؤاخذ على النسيان؛ لأن الإنسان طبيعته النسيان، كما قيل: وما سمي الإنسان إلا لنسيه ولا القلب إلا أنه يتقلب فإذا فعل شيئاً من هذه المحظورات وهو ناسٍ صيامه فلا يضره، حتى إن السهو والنسيان يقع في الصلاة ولا يبطلها، بل تجبر بسجدتي السهو كما هو معروف،

“Allah tidak menganggap perbuatan dengan alasan lupa. Karena manusia memiliki tabiat lupa. Sebagaimana pepatah ulama: tidak dinamai manusia kecuali karena ia pelupa, tidak dinamakan kalbu, terkecuali ia sering berubah-ubah.

Manusia yang berpuasa jika melakukan sesuatu yang terlarang dalam keadaan lupa, tidak berpengaruh kepada puasanya. Begitu pun saat lupa dalam salat, salatnya tidak batal. Namun, ditambal menggunakan sujud sahwi sebagaimana yang telah kita ketahui.”

Syair ini juga dikutip dalam Syarah Sullam-Tauffiq, yakni Is’adur-Rafiq:

وما سُمّيَ الإنسانُ إلّا لنسيّه * ولا القلبُ إلّا أنّه يتقلّبُ

“Tak dinamai insan, terkecuali karena kelupaannya (nisyan). Tak bernama kalbu, terkecuali karena berubah-ubath (taqallub).”

 

Utlubul Ilma minal Mahdi ilal Lahdi, Ungkapan Siapa?

Mustaqim.NET – Kali ini saya akan membahas sesuatu yang sering #pararabu perbincangkan, yaitu ungkapan, “utlubul ilma minal mahdi ilal lahdi”. Carilah ilmu dari ayunan hingga liang lahat. Sebelumnya, kami pernah merangkum 64+ Bahasa Arabnya Unta dan Hal Terkait, bagi yang penasaran, langsung cek saja!

Ada dua ungkapan yang serupa: pertama, uthlubul-‘ilma minal-mahdi ilal-lahdi. Kedua, thalabul-‘ilmi minal-mahdi ilal-lahdi. Keduanya memiliki arti serupa. Hanya saja, yang pertama menggunakan sigot fi’il amar, sedangkan yang kedua menggunakan sigot mashdar. Berikut teks Arab beserta artinya:

اطلبوا العلم من المهد إلى اللحد

Uthlubul-‘Ilma minal-Mahdi ilal-Lahdzi

“Carilah ilmu dari ayunan hingga liang lahad.”

Banyak para dai yang mengklaim bahwa perkataan itu adalah hadis. Namun, tidak ada satu pun rawi hadis yang menyebutkannya. Hal ini senada dengan keterangan Syekh Abdul Fattah Abu Ghudah dalam Qimatuz-Zaman ‘Indal-Ulama (hlm. 29):

 هذا الكلام: ” طلب العلم من المهد إلى اللحد” ويحكى أيضا بصيغة ” اطلبوا العلم من المهد إلى اللحد”: ليس بحديث نبوي، وإنما هو من كلام النّاس، فلا يجوز إضافته إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم كما يتناقله بعضهم …. وهذا الحديث الموضوع: ” اطلبوا العلم من المهد إلى اللحد”مشتهر على الألسنة كثير، ومن العجب أن الكتب المؤلفة في ” الأحاديث المنتشرة” لم تذكره. (قيمة الزمن عند العلماء ص 29).

Ungkapan, “carilah ilmu dari ayunan hingga liang lahat,” atau juga, “mencari ilmu dari ayunan hingga liang lahat,” bukanlah hadis. Itu tergolong perkataan manusia saja. Tidak boleh menisbatkan hal itu kepada Rasulullah, sebagaimana yang terlah banyak orang lakukan. Hadis ini palsu. Masyhur pada banyak lisan. Herannya, dalam kitab hadis-hadis yang masyhur tidak ada ungkapan ini.

Lantas, Siapa yang Mengatakan Utlubul Ilma minal Mahdi ilal Lahdi?

Informasi yang paling spesifik, yang masih belum autentik, perkataan ini merupakan ungkapan Imam Ahmad bin Hambal. Alkisah sebagaimana berikut:

Ketika beliau sudah lanjut usia, Imam Ahmad tetap mengikuti dan hadir halakah. Padahal, beliau sendiri pendiri mazhab, mujtahid, dan kealimannya tidak diragukan lagi.

Hingga suatu saat ada yang celetuk, “Wahai, Imam. Anda orang alim (tidak perlu memaksakan diri untuk hadir ke halakah ini).” Imam Ahmad menjawab, “uthlubul-‘ilma minal-mahdi ilal-lahdi, carilah ilmu dari ayunan hingga liang lahat”.

Cerita ini lengkapnya sebagaimana berikut (ini saya dapatkan dari مصعب الخضير dalam salah-satu diskusi):

هذا قول والله تعالى أعلم. الإمام أحمد بن حنبل رحمه الله. لمااحدودب ظهره ومازال يحضر حلقات العلم وهوإمام. قيل ياإمام أنت عالم . قال اطلبوالعلم من المهد إلى اللحد .

“Perkataan ini merupakan (wallahu a’lam) perkataan Imam Ahmad bin Hambal. Semoga Allah merahmati beliau. Ketika tulang beliau membungkuk, beliau tidak pernah absen menghadiri beberapa halakah keilmuan. Padahal beliau sendiri sudah menjadi imam. Hingga ada yang mengatakan kepada beliau, ‘Wahai Imam, engkau orang alim.’, lalu beliau menjawab, ‘utlubul ilma minal mahdi ilal lahdi, carilah ilmu mulai dari ayunan hingga liang lahad.”

64+ Bahasa Arabnya Unta dan Hal Terkait

Mustaqim.NET – Setelah sebelumnya kita membahas terkait lirik hadzal quran, kali ini kita pindah kepada pembahasan bahasa Arabnya unta. Namun, kita mulai dari unta secara umum, hingga sampai kepada unta dengan kategori tertentu.

Dalam Islam sendiri, unta memiliki peran yang sangat penting. Selain karena ada kisa populer terkait unta Nabi Saleh, Allah sendiri sang pencipta alam, menjadikan unta sebagai hujah untuk orang yang mengingkari kekuasaan Allah. Allah berfirman

{أَفَلا يَنْظُرُونَ إِلَى الإبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الأرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (20) } .

“Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”

Mengapa unta yang layak jadi bahan renungan, daripada hewan-hewan yang lain? Para mufasir dengan lugas menjawab:

 ثم ذكر الإبل أولا لأنها كثيرة في العرب ولم يروا الفيلة

“Kemudian Allah menuturkan unta pertama kali, karena hewan itu banyak di Arab. Mereka pun tidak melihat gajah.”
[تفسير القرطبي 20/ 33]

Oke, tanpa basa-basi lagi, langsung kepada pembahasan.

Berikut ini deretan bahasa Arabnya unta:

  1. إبِل، : Unta secara umum
  2. بَعِيْر، : Unta secara umum
  3. جَمَل : Unta secara umum
  4. بَدَنَة : Unta yang digemukkan
  5. نَاقَة : Unta betina
  6. أَفِيْل : Anak unta
  7. هَجَّانَة : Pasukan unta
  8. لاَمَا : Sejenis unta tak berpunuk
  9. بَكْرٌ : Unta yang masih kecil
  10. الطِّبز : Unta berpunuk dua
  11.  ضائل : Unta pejantan yang kuat
  12. حَفَض : Unta pengangkut barang
  13.  الغَبّ : Unta yang minumnya dua hari sekali
  14.  الرِّبْع: Unta yang minumnya tiga hari sekali
  15.  الظاهرة: Unta yang minumnya sehari sekali
  16.  الرفة: Unta yang minum sewaktu waktu
  17.  القصريد: Unta yang minum sedikit air
  18.  العرجاء: Unta yang minum pagi sekali, sore sekali
  19. التندية: Unta yang kembali lagi ke telaga untuk minum
  20. السُّلوف: Unta yang menggiring unta lain menuju telaga air
  21.  الدفون: Unta yang berada di tengah kawanan unta
  22.  الهافة – الملواح: Unta yang cepat haus
  23. عَيُوف: Unta yang menciumi bau air tapi seringkali tidak meminumnya
  24.  مقامح: Unta yang tidak minum agar mengalahkan rasa sakitnya
  25. رَقوب: Unta yang tidak mau minum bareng-bareng dari telaga, tapi menunggu sampai sepi
  26.  ميْراد: Unta yang terburu-buru mendatangi telaga air
  27. الهيام : Unta yang kehausan
  28. الهياج: Unta pejantan yang siap kawin
  29. الهامل: Unta yang dibiarkan liar tanpa pemilik
  30. الحايل : Unta betina yang tidak hamil
  31. المسيّر – المجسّر : Unta betina yang siap kawin
  32. المعشّر : Unta betina di awal usia kehamilan
  33. اللَّقْحَة: Unta betina dalam usia 4 bulan kehamilannya
  34. الخَلِفَة : Unta yang melahirkan dalam waktu kurang dari 6 bulan usia kehamilannya
  35. العشرا : Unta betina yang melahirkan dalam waktu lebih dari 6 bulan usia kehamilannya
  36. الخلوج : Unta betina yang anaknya mati dan merintih sepanjang waktu
  37. الخفوت : Unta betina yang anaknya mati, tapi langsung melupakannya
  38. المضيّرة : Unta betina yang menyusui anak unta yang bukan anaknya
  39. المسوح : Unta yang bisa diperas susunya ketika anaknya tidak ada
  40. النحوس : Unta betina yang tidak mau diperas susunya
  41. الجضور : Unta yang menghasilkan banyak mentega ketika diperas susunya
  42.  الجَفول : Unta yang takut dengan apapun
  43. الشَرود: Unta yang sering kabur dan sulit ditangkap
  44. الأكله: Unta yang menelan apapun yang mendekatinya
  45. الرابخ: Unta yang kegemukan karena banyak makan rerumputan dan tanaman
  46. الثاوي: Unta lemah yang tidak bisa berdiri
  47. القوداء: Unta yang selalu menjadi penuntun unta yang lain
  48. المعطاء: Unta berleher panjang sedikit bulunya
  49. الهارب: Unta yang berjalan jauh di depan unta yang lainnya
  50. الفاهية : Unta yang mengungguli unta lainnya dalam segala hal
  51.  العليا: Unta jantan yang paling tinggi
  52. الوَجْناء: Unta yang dijinakkan untuk ditunggangi
  53. العوصاء: Unta khusus untuk ditunggangi dan kuat
  54.  الذود : Kawanan 3 sampai 10 unta
  55.  الزيمة: Kawanan 2 sampai 15 unta
  56. الرَسَل: Kawanan 15 sampai 25 unta
  57.  الصِّرْمَة: Kawanan 10 sampai 30 unta
  58. الصدعة : Kawanan 60 an unta
  59. العكرة: Kawanan 50 sampai 100 unta
  60. الجول: Kawanan 30 sampai 40 unta
  61. هند وهنيدة: seratusan ekor unta
  62. القرج: seratus lima puluhan ekor unta
  63.  ليلى : Kawanan 300 an unta
  64.  الحوم: Kawanan lebih dari 1000 ekor unta

Bahasa Arab yang berkaitan dengan unta

  1. هَوْدَج : pelana atau tempat duduk di punggung unta
  2. وَبَر : bulu unta

Nur Muhammad Qadim dalam Al-Barzanji?

Mustaqim.NET – Kali ini kita akan membahas terkait klaim bahwa dalam al-Barzanji terdapat unsur-unsur manunggaling kawula gusti.

Kalimat yang dibahas ialah:

وأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى النُّوْرِ الْمَوْصُوْفِ بِالتَّقَدُّمِ وَالْأَوَّلِيَّةِ

 

Lihat postingan ini di Instagram

 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Muhammad ibnu Romli (@miromly)

Ada yang mengaitkan kalimat tersebut dengan manunggaling kawula gusti, dengan mengubah terjemahannya.

Kesalahan fatal tersebut terletak saat mengartikan taqaddum dengan qadim (antonim hadis) dan awwaliyah diartikan azali. Pengertian yang benar adalah sebagaimana dalam syarahnya:

“Yang disifati dengan lebih dahulu daripada makhluk lain dan lebih awal meninjau makhluk yang lainnya.”

Jadi, Nur Muhammad adalah makhluk dan hadis, tetapi makhluk yang pertama kali. Berdasarkan hadis berikut ini:

كما في حديث جابر أنه سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن أول ما خلقه الله تعالى قال إن الله خلق قبل الأشياء نور نبيك فجعل ذلك النور يدور بالقدرة حيث شاء الله ولم يكن في ذلك الوقت لوح ولا قلم ولا جنة ولا نار ولا ملك ولا إنس ولا جن ولا أرض ولا سماء ولا شمس ولا قمر وعلى هذا فالنور جوهر لا عرض

“Sebagaimana tersebut dalam hadis riwayat sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa ketika ditanya perihal makhluk pertama yang diciptakan Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Sungguh, Allah menciptakan Nur Nabimu sebelum segala sesuatu.’ Allah menjadikan Nur (cahaya) itu beredar dengan kuasa Allah sesuai kehendak-Nya. Saat itu belum ada Lauh, Qalam, Surga, Neraka, Malaikat, Manusia, Jin, Bumi, Langit, Matahari, dan bulan. Atas dasar ini, Nur itu adalah substansi, bukan aksiden.”

(Syekh M Nawawi Al-Bantani, Madarijus Shu’ud ila Iktisa’il Burud)

Kandungan hadis yang dicantumkan oleh Syekh Nawawi, Banten tersebut dalam Madarijus-Shu’ud ila Iktisa’il Burud, sesuai dengan hadis lain yang berbunyi:

عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ في قَوْلِ اللَّهِ: ﴿وإذْ أخَذْنا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثاقَهُمْ﴾ الآيَةَ. قالَ: «كُنْتُ أوَّلَ النَّبِيِّينَ في الخَلْقِ، وآخِرَهم في البَعْثِ

“Dari Abu Hurairah: Nabi bersabda saat menerangkan firman Allah (وإذْ أخَذْنا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثاقَهُمْ), “Saya nabi pertama kali yang diciptakan dan terakhir kali diutus.”

 

Soal Marhaban Yang Dipersoalkan

Mustaqim.NET – Ada #pararabu yang menyodorkan sebuah artikel yang mempermasalahkan مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا مَرْحَبًا ياَ جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا

Berikut cuplikan artikelnya:

 

Tangkapan layar dari website nahimunkar.org yang berjudul Lima Kesesatan dalam Kitab Barzanji

 

Lihat postingan ini di Instagram

 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Muhammad ibnu Romli (@miromly)

Tulisan tersebut mengklaim bahwa menghadirkan ucapan marhaban hanya boleh kepada orang yang hadir secara fisik. Namun, tidak menyertakan alasan atau dalil sama-sekali.

 

Di sana malah membahas terkait ke-rawuhan Rasulullah apakah dengan jasad atau tidak. Sama-sekali tidak membahas alasan atau dalil pelarangan mengucapkan marhaban kepada yang non-fisik.

Sehingga tulisan tersebut sangat tidak layak untuk mempengaruhi #pararabu, terlebih kalau masih adminnya biasa mengungkapkan, “Marhaban ya Ramadan,” tiap bulan puasa. Bukankah Ramadan juga non-fisik?

 

اَتَاكُمْ رَمَضَانُ سَيِّدُ الشُّهُوْرِ فَمَرْحَبًا بِهِ وَاَهْلاً جَاءَ شَهْرُ الصِّيَامِ بِالبَرَكَاتِ فَاكْرِمْ بِهِ مِنْ رَائِرٍ هُوَ اَتٍ

“Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, penghulu segala bulan. Maka selamat datanglah kepadanya. Telah datang bulan puasa membawa segala rupa keberkahan. Maka alangkah mulianya tamu yang datang itu”.

(H.R. Ath-Thabrani)

Lirik Hadzal Quran – Arab, Latin, dan Artinya

Mustaqim.NET – Setelah sebelumnya kami menyajikan kepada #pararabu terkait mars muslimat yang secara detail kami bahas dari berbagai sisi, kali ini kami akan membahas tentang lirik hadzal quran. Lagu hadzal-Quran menjadi masyhur saat Majelis az-Zahir sering melantunkannya. Penampilannya sebagaimana video berikut ini:

Lirik Hadzal Quran Lengkap dengan Kalamun

Biasanya, saat az-Zahir membawakan lagu yang satu ini, terlebih dahulu memulainya dengan doa sebelum membaca al-Quran. Doanya sebagaimana berikut:

صَلَاةٌ وَتَسْلِيْمٌ وَأَزْكَى التَّحِيَّةِ. عَلَى الْمُصْطَفَى الْمُخْتَارِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ

Shalatun wa taslimun wa azka tahiyyati

‘Alal-mushthafal-mukhtari khairil-bbariyyatin

كَلاَمٌ قَدِيْمٌ لاَّ يُمَلُّ سَمَاعُهُ # تَنَزَّهَ عَنْ قَوْلٍ وَّفِعْلٍ وَّنِيَّةٍ

Kalamun qadimul-la yumallu sama’uhu

Tanazzaha ‘an qaulin wa fi’lin wa niyyati 

بِهِ أَشْتَفِيْ مِنْ كُلِّ دَاءٍ وَّنُوْرُهُ # دَلِيْلٌ لِّقَلْبِيْ عِنْدَ جَهْلِيْ وَحَيْرَتِيْ

Bihi asytafi min kulli dain wa nuruhu

dalilul-liqalbi ‘inda jahli wa hairati

فَيَا رَبِّ مَتِّعْنِيْ بِسِرِّ حُرُوْفِه # وَنَوِّرْ بِهِ قَلْبِيْ وَسَمْعِيْ وَمُقْلَتِيْ

Faya rabbi matta’ni bi sirri hurufihi

Wa nawwir bihi qalbi wa sam’i wa muqlati

Setelah membaca doa tersebut, biasanya langsung membaca lirik lagu hadzal-Quran. Untuk lagu hadzal-quran sendiri, liriknya (Arab, latin dan artinya): sebagaimana berikut:

هَذَا الْقُرْأنُ

Hadzal-Quran

Inilah al-Quran

هَذَا الْقُرْأنُ يُوَحِّدُنَا لِطَرِيْقِ الْخَيْرِ يُؤَدِّبُنَا

hadzal-Quranu yuwahhiduna, li thariqil-khairi yuaddibuna

Inilah al-Quran yang mempersatukan kita.
(Al-Quran) menuntun kita kepada jalan kebaikan.

اللهُ تَعَالى أَنْزَلَه وَرَسُوْلُ اللهِ مُعَلِّمُنَا

Allahu Ta’ala anzalahu wa rasulullahi mu’allimuna

Allah menurunkannya, sedangkan Rasulullah guru kita.

هَذَا الْقُرْأَنُ هُوَ الْهَادِ لِأَوَائِلِنَا وَأَوَاخِرناَ

hadzal-Quranu hual-hadi li-awwalina wa awakhirina

Inilah al-Quran; sang petunjuk baik untuk para pendahulu mau pun orang belakangan.

يَدْعُوْ لِلْعِلمِ وَلِلْعَمَلِ لاَشَيْءَ سِوَاهُ يُعَلِّمُنَا

yad’u lil-‘ilmi wa lil-‘amali la syai’a siwahu yu’allimuna

(al-Quran) mengajak kita kepada ilmu (belajar) dan mengamalkan.
Tidak ada penuntun selain al-Quran.

رَسُوْلُ اللهِ عَلَّمَنَا مِنَ اْلإِيْمَانِ أَجْمَلَهُ

Rasulullahi ‘allamana minal-imani ajmalahu

Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa beriman kepada kesempurnaan al-Quran.

كِتَابُ اللهِ نَعْلَمُهُ وَنَقْرَئُهُ وَنَفْهَمُهُ

Kitabullahi na’lamuhu wa naqra’uhu wa nafhamuhu

Itulah kitab Allah yang kita pelajari, kita baca dan kita pahami.

فِيْهِ الْأَجْرُ بِهِ الْفَوْزُ إِذَا كُنُّا نُبَلِّغُهُ

Fihil-ajru bihil-fauzu idza kunna nuballighuhu

Bila kita menyampaikan al-Quran, di sanalh tardapat pahala dan keberuntungan.

تَعَلَّم مِنْهُ لاَ تَسْئَمْ وَلِلُّدُنْيَا نَعْلَمُهُ

Ta’allam minhu la tas’am wa lid-dunya na’lamuhu

Senantiasalah belajarlah al-Quran, jangan pernah bosan, selagi masih ada di dunia.

Shobirin Sholawat · Hadzal Qur’an

 

 

Mars Muslimat NU – Lirik, Sejarah dan Filosofi

Mustaqim.NET – Setelah sebelumnya kami pernah membahas terkait sholawat nahdliyah lirik latin, kali ini kami akan memposting lirik mars muslimat NU. Namun, tidak hanya membahas marsnya saja, kita saat ini akan mengkaji mars tersebut dari berbagai sisi. Mulai dari sejarah, arti hingga filosofi.

Sejarah

Saat tahun 1926; tepatnya tahun perdana NU berdiri, perempuan belum begitu berperan banyak dalam NU. Hal itu berlangsung sampai tahun 1938. Pada tahun tersebutlah NOM, cikal bakal dari Muslimat berdiri. Banyak tokoh perempuan tampil mengutarakan pandangannya kala itu. Termasuk salah-satunya adalah Ibu Nyai Djunaisih yang mendapat dukungan penuh dari Ibu Nyai Siti Syarah. Ibu Nyai Djunaisih mengatakan:

“Dalam agama Islam tidak hanya laki-laki saja yang harus dididik berkenaan dengan ilmu agama melainkan perempuan juga harus dan wajib mendapat didikan yang selaras dengan tuntutan dan kehendak agama Islam”

Akan tetapi, NU tidak sembarangan mendirikan komunitas perkumpulan dengan tanpa dalil. Jauh sebelum itu, para aktifis bahtsul masail sudah membahasnya terlebih dahulu terkait hukum-hukum yang berkaitan dengan perempuan. Termasuk soal perempuan tampil kepada khalayak hingga pembahasan suara perempuan tergolong aurat atau bukan.

Hal itu terdokumentasikan dalam fatwa Bahtsul Masa’il ad-Diniyah pada tahun 1935. Keputusan tersebut berdasarkan referensi dari berbagai kitab, mulai dari Ittihaf al-saddah al-Muttaqin, Syarah al-Sittin, hingga al Fawa al-Kubra al-Fiqhiyah.

Untuk mengenang kiprah beserta melejitkan semangat anggota muslimat, terciptalah mars muslimat. Lirik dan filosofinya akan kami bahas pada bab berikut ini.

Lirik Mars Muslimat

Lirik Lagu Mars Muslimat NU - Gambar Teks dan Mp3

Marilah Kaum Ibu Muslimat
Nahdlatul Ulama nan setia
Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas
Menjadi pedoman utama
Demi agama, nusa, dan bangsa
Negara damai bahagia

Majulah kaum ibu muslimat
Pengemban, pembawa amanat
Pendidik, pembina bunga bangsa

Menunaikan tugas mulia
Berilmu, beramal, dan berbakti
Bertaqwa pada Ilahi

Marilah hai kaum ibu
Bimbinglah putra-putrimu
Iman teguh, bijaksana
Muslimat Indonesia

Setelah mengetahui liriknya, alangkah baiknya jika #pararabu mendengarkan versi audionya berikut ini:

MWCNU · Mars Muslimat NU

Untuk mengunduhnya (men-download) #pararabu bisa menggunakan link resmi dari NU Online berikut ini: https://storage.nu.or.id/storage/archive/1463625315573d2663d8dad.mp3.

Filosofi

Banyak nilai-nilai ajaran yang tertanam dalam mars tersebut. Mulai dari nilai-nilai keislaman, semangat ke-NU-an, hingga amanat perempuan.

Untuk nilai-nilai keislaman, tertuang indah pada awal-awal mars, tepatnya pada lirik, “Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas / Menjadi pedoman utama,”. Hal itu merupakan mashadirus-syaria’ah yang sampai saat ini segala keilmuan Islam bersumber dari 4 hal tersebut.

Selain itu, juga tertanam semangat ke-NU-an, khususnya dalam mencintai negeri. Hal itu tertuang jelas dalam lirik yang berbunyi, “Demi agama, nusa, dan bangsa / Negara damai bahagia”. Serta selebihnya merupakan amanat kaum hawa, mulai dari pendidik, pembina hingga pembimbing.

Sholawat Nahdliyah Lirik Latin Arab dan Artinya

Mustaqim.NET –  Setelah kami memposting Aqidatul Awam Latin, banyak dari #pararabu yang meminta kami untuk membuat sholawat nahdliyah lirik latin Arab dan terjemah. Tidak lain dan tidak bukan agar para Nahdliyin yang masih belum bisa baca tulis Arab, bisa melantunkan lagu nahdliyah yang satu ini.

Tapi siapa sangka, ternyata yang membikin lagu ini adalah ulama kelahiran Madura. Beliau bernama KH Hasan Abdul Wafi. Beliau merupakan ulama kelahiran Pamkesasan pada tahun 1923.

Pada tahun 1956, beliau belajar kepada Kiai Zaini Mun’im yang saat itu merintis pendirian PP Nurul Jadid, hingga beliau menikah dan wafat. Beliau wafat di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo Jawa Timur pada Rabu, 31 Juli 2000.

Sebelum ke liriknya, silahkan dengarkan terlebih dahulu audionya berikut ini:

Naja Ahmad · Veve Zulfikar Sholawat Nahdliyah

 

 Lirik Sholawat Nahdliyah

sholawat nahdliyah lirik latin arab

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad

Ya Allah, salawat semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad

صَلَاةً تُرَغِّبُ وَ تُنَشِّطُ

Shalatan turaghibu wa tunasysyithu

Selawat yang membikin kami senang dan rajin

وَ تُحَمِّسُ بِهَا الجِهَاد لِإِحْيَاءِ وَ اِعْلَاءِ دِيْنِ الإِسْلَام

Wa tuhammisu bihal-jihadi lil-iya’i wa i’lai dinil-islam

dan bersemangat untuk berjuang menghidupkan dan meninggikan agama Islam

وَاِظْهَارِشَعَائِرِهِ عَلَي طَرِيْقَة جَمْعِيَّةِ نَهْضَةِ العُلَمَاءِ

Wa idzhari sya’airihi ‘ala thariqati jam’iyyati nahdhatil ulama

Serta menampakkan syiar Islam berdasarkan jalan organisasi Nahdhatul Ulama

وَعَلَي اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

Wa ala alihi wa shahbihi wa sallim

beserta para keluarga dan sahabatnya semua

. اللهُ اللهُ اللهُ اللهُ.

Allah Allah Allahu Allah

ثَبِّتْ وَانْصُرْ اَهْلَ جَمْعِيَّة

Tsabbit wan-shur ahla jam’iyah

Tetapkanlah serta tolonglah para anggota organisasi

جَمْعِيَّة نَهْضَةِ العُلَمَاءِ

Jam’iyati nahdhatil ulama

Organisasi Nahdlatul Ulama

لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ اللهِ

Li i’lai kalimatil-Lah

Untuk meninggikan kalimat Allah

Itulah tadi sholawat nahdliyah lirik latin Arab beserta artinya. Semua hal ini merupakan lagu-lagu yang sering terdengar dalam acara ke-NU-an. Silahkan share kepada sesama nahdliyyin, ya, agar ghirah ke-NU-an kita meningkat. Semoga bermanfaat dan berkah, Amin!