Mustaqim.NET – Karena kami hendak melaksanakan akikah untuk putra kami, maka sebagai hadiah kepada pararabu, kami akan menjelaskan hikmah pelaksanaan akikah secara terperinci. Sebagian besar kami ambil dari kitab al-Fiqh al-Manhajî ‘alâ Madzhabil-Imâm asy-Syâfi’î.
Sejarah dan Asal-Usul Penamaan Akikah
Akikah telah dikenal di kalangan bangsa Arab pada masa Jahiliyah. Imam al-Mawardi dalam al-Hâwî al-Kabîr (15/126) menceritakan:
فَأَمَّا الْعَقِيقَةُ فَهِيَ شَاةٌ تُذْبَحُ عِنْدَ الْوِلَادَةِ كَانَتِ الْعَرَبُ عَلَيْهَا قَبْلَ الْإِسْلَامِ
“Adapun akikah, ia adalah seekor kambing yang disembelih saat kelahiran, dan bangsa Arab telah melakukannya sebelum Islam”
Di antara hadis yang menunjukkan hal itu adalah riwayat Abdullah bin Buraidah yang menceritakan perkataan ayahnya:
كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِنَا غُلَامٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَّخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنُلَطِّخُهُ بِزَعْفَرَانٍ
“Dahulu kami pada masa Jahiliyah, apabila salah seorang di antara kami dilahirkan seorang anak laki-laki, ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepalanya dengan darah kambing tersebut. Maka ketika Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih seekor kambing, mencukur kepalanya, dan melumurinya dengan za’faran”
(HR. Abu Dawud)
Hal itu juga ditunjukkan oleh riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits tentang akikah, ia berkata:
وَكَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَجْعَلُونَ قُطْنَةً فِي دَمِ الْعَقِيقَةِ وَيَجْعَلُونَهُ عَلَى رَأْسِ الصَّبِيِّ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجْعَلَ مَكَانَ الدَّمِ خَلُوقًا
“Dahulu orang-orang Jahiliyah meletakkan kapas di dalam darah akikah dan meletakkannya di kepala bayi laki-laki. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar mengganti darah tersebut dengan khaluq (sejenis minyak wangi)”.
(HR. Al-Baihaqi)
Imam as-Suyuthi menyebutkan bahwa Abdul Muththalib, kakek Nabi ﷺ, telah mengakikahi beliau pada hari ketujuh kelahirannya. Imam as-Suyuthi menceritakan:
وَأَخْرَجَ ابْنُ عَسَاكِرَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: لَمَّا وُلِدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْهُ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ بِكَبْشٍ وَسَمَّاهُ مُحَمَّدًا فَقِيلَ لَهُ يَا أَبَا الْحَارِثِ: مَا حَمَلَكَ عَلَى أَنْ سَمَّيْتَهُ مُحَمَّدًا وَلَمْ تُسَمِّهِ بِاسْمِ آبَائِهِ؟ قَالَ: أَرَدْتُ أَنْ يَحْمَدَهُ اللَّهُ فِي السَّمَاءِ وَيَحْمَدَهُ النَّاسُ فِي الْأَرْضِ
“Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ibnu Abbas ia berkata: Ketika Nabi ﷺ dilahirkan, Abdul Muththalib mengakikahi beliau dengan seekor kibas dan menamainya Muhammad. “Wahai Abu Al-Harits, apa yang mendorongmu menamainya Muhammad dan tidak menamainya dengan nama nenek moyangnya?” tanya seseorang. Ia menjawab, ‘Aku ingin agar Allah memujinya di langit dan manusia memujinya di bumi’.”
Akikah juga dikenal dalam syariat Musa. Dalam sebuah hadis, Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ الْيَهُودَ تَعُقُّ عَنِ الْغُلَامِ وَلَا تَعُقُّ عَنِ الْجَارِيَةِ فَعُقُّوا عَنِ الْغُلَامِ شَاتَيْنِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةً
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi mengakikahi anak laki-laki dan tidak mengakikahi anak perempuan. Maka akikahilah anak laki-laki dengan dua ekor kambing dan anak perempuan dengan seekor kambing”
(HR. Al-Baihaqi)
Terkait asal-usul nama akikah, mengutip dari kitab al-Fiqh al-Manhajî ‘alâ Madzhabil-Imâm asy-Syâfi’î (III/55):
اَلْعَقِيقَةُ فِي اللُّغَةِ: مُشْتَقَّةٌ مِنَ الْعَقِّ، وَهُوَ الْقَطْعُ، وَتُطْلَقُ فِي الْأَصْلِ عَلَى الشَّعْرِ الَّذِي يَكُونُ عَلَى رَأْسِ الْمَوْلُودِ حِينَ وِلَادَتِهِ، سُمِّيَ بِذَلِكَ، لِأَنَّهُ يُحْلَقُ وَيُقْطَعُ.
“Akikah berasal dari kata al-‘aqqu, yang bermakna memotong. Kata ini menunjukkan rambut kepala bayi saat lahir. Dinamakan demikian karena rambut tersebut biasa dicukur dan dipotong.”
وَالْعَقِيقَةُ شَرْعًا: مَا يُذْبَحُ لِلْمَوْلُودِ عِنْدَ حَلْقِ شَعْرِهِ، وَسُمِّيَتْ هَذِهِ الذَّبِيحَةُ بِهَذَا الِاسْمِ، لِأَنَّهَا تَقْطَعُ مَذَابِحَهَا وَتُشَقُّ، حِينَ الْحَلْقِ. .
“Akikah dalam istilah syariat adalah hewan yang disembelih untuk bayi, saat mencukur rambutnya. Bernama demikian karena saat memotong hewan sembelihan, bersamaan dengan pencukuran rambut bayi.”
وَيُسْتَحَبُّ تَسْمِيَةُ الْعَقِيقَةِ نَسِيكَةً، أَوْ ذَبِيحَةً. وَدَلِيلُ ذَلِكَ مَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ فِي [الْأَضَاحِي، ـ بَابٌ ـ فِي الْعَقِيقَةِ، رَقْم: 2842] أَنَّهُ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْعَقِيقَةِ، فَقَالَ: “لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْعُقُوقَ” فَكَأَنَّهُ كَرِهَ الِاسْمَ، وَقَالَ: “مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ، فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ”.»
“Disunnahkan menamai akikah dengan nasikah atau dzabihah. Dalilnya adalah riwayat Abu Dawud dalam [Kitab Kurban, Bab tentang akikah, nomor: 2842] bahwa Rasulullah ﷺ ditanya tentang akikah, lalu beliau bersabda: ‘Allah tidak menyukai durhaka.’ Seolah-olah beliau tidak menyukai nama tersebut, dan bersabda: ‘Barang siapa yang dikaruniai anak, lalu ia ingin menyembelih (hewan) untuknya, maka hendaklah ia menyembelih.’ [dengan menggunakan istilah nusk/nasikah]”
4 Hikmah Pelaksanaan Akikah
Mengutip dari kitab al-Fiqh al-Manhajî ‘alâ Madzhabil-Imâm asy-Syâfi’î (III/56-57), hikmah akikah ada empat:
- Bergembira dengan nikmat Allah ﷻ yang telah memudahkan kelahiran, dan menganugerahkan anak kepada kedua orangtua.
- Menyebarkan nasab anak. Akikah sendiri merupakan ibadah yang menjadi sarana terbaik mengumumkan soal nasab anak. Karena soal nasab memang harus disebar-luaskan. Hikmahnya, untuk menangkal hal yang tidak diinginkan terjadi.
- Akikah merupakan sarana untuk melatih diri dalam upaya menumbuhkan sikap dermawan dan murah hati pada diri, dan melawan dorongan kikir akibat dorongan nafsu.
- Menyenangkan hati keluarga, kerabat, teman-teman, dan orang-orang fakir, yaitu dengan mengumpulkan mereka untuk makan, dan dengan pertemuan tersebut terjalin kasih sayang, cinta, dan keakraban.
وَالْوَلَدُ مُحَبَّبٌ لِلْوَالِدَيْنِ، فَيَنْبَغِي شُكْرُ وَاهِبِهِ، وَالْمُنْعِمِ بِهِ
“Anak sudah pasti kecintaan kedua orangtua. Sepantasnya mereka bersyukur kepada (Allah ﷻ) sang Pemberi Nikmat.”
وَالْإِسْلَامُ دِينُ أُلْفَةٍ وَمَحَبَّةٍ وَاجْتِمَاعٍ.
“Islam adalah agama persahabatan, cinta, dan persatuan.”
Hukum Akikah Menurut 4 Madzhab
Mengutip dari Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (30/276):
- Madzhab Syafi’i dan Hanbali berpandapat yang sahih dan masyhur menurut mereka akikah berhukum sunah muakkadah.
- Menurut madzhab Hanafi, akikah sebatas mubah pada hari ketujuh kelahiran setelah pemberian nama, pencukuran rambut, dan bersedekah. Ada qil: akikah menjadi tathawwu’ dengan niat bersyukur kepada Allah ﷻ.
- Madzhab Maliki berpendapat bahwa akikah berhukum mandub. Dalam madzhab Maliki mandub kedudukannya lebih rendah dari masnun (sunah).
Madzhab Syafi’i dan Hanbali berdalil dengan banyak hadits, salah-satunya:
حَدِيثُ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَلْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ، يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ
“Hadis Samurah bin Jundab, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Setiap anak laki-laki tergadai dengan akikahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh”
Dalam riwayat lain:
كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ، وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى.
“Setiap anak laki-laki merupakan tanggungan berupa mengakikahkannya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama.”
Kesunahan tersebut bagi orang yang wajib menafkahi anak ketika kelahirannya. Dengan catatan, ia memiliki harta yang cukup untuk biaya akikah sebelum 60 hari kelahiran anaknya tersebut. Dalam Hâsyiatâl-Qalyûbî wa ‘Umairah (16/133) diterangkan:
( تُسَنُّ ) مُؤَكَّدَةً مِمَّنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ إنْ مَلَكَهَا زَائِدَةً عَلَى مَا فِي الْفِطْرَةِ قَبْلَ مُضِيِّ أَكْثَرِ مُدَّةِ النِّفَاسِ… وَلَا تُطْلَبُ مِمَّنْ أَيْسَرَ بَعْدَهَا وَلَا تَجُوزُ مِنْ مَالِ الْمَوْلُودِ لِأَنَّهَا تَبَرُّعٌ.
“Akikah sangat disunahkan (muakkadah) bagi orang berkewajiban menfkahi (anak yang baru lahir) jika memiliki (biaya akikah) melebihi kadar yang wajib dalam zakat fitrah, sebelum lewat masa maksimal nifas (60 hari)… Bagi orang yang mampu (biaya akikah) setelah lewat masa maksimal nifas (60 hari) tidak dianjurkan akikah. Akikah tidah boleh menggunakan harta anak yang diakikahi karena akikah adalah bentuk ibadah suka rela.”
Kesunnahan akikah juga disinggung dalam kitab Hâsyiyatul-Jamal, (22/204):
( قَوْلُهُ وَهِيَ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ ) قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَفْرَطَ فِي الْعَقِيقَةِ رَجُلَانِ رَجُلٌ قَالَ إنَّهَا بِدْعَةٌ وَرَجُلٌ قَالَ هِيَ وَاجِبَةٌ يَعْنِي الْحَسَنَ الْبَصْرِيَّ وَاللَّيْثَ.
“Hukum akikah adalah sunah muakkadah. Imam Syafi’i berkata: Ada dua orang lelaki yang ekstrim dalam menghukmi akikah. Yang satu (al-Hasan al-Basri) menghukumi bidah. Yang satu lagi (al-Laits) menghukumi wajib.”
Jumlah Hewan Akikah untuk Laki-Laki dan Perempuan
Mengutip dari kitab al-Fiqh al-Manhajî ‘alâ Madzhabil-Imâm asy-Syâfi’î (III/57):
Kesunahan akikah sebenarnya sudah tercapai dengan orangtua menyembelih seekor kambing untuk anak laki-laki, dan seekor kambing untuk anak perempuan. Dalilnya adalah riwayat Tirmidzi, Sayyidina Ali bercerita:
عَقَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْحَسَنِ بِشَاةٍ
“Rasulullah ﷺ mengakikahi Sayyidina Hasan dengan seekor kambing”.
(HR. Tirmidzi: 1519)
Akan tetapi, yang lebih utama adalah orangtua menyembelih dua ekor kambing akikah anak laki-laki, dan seekor kambing untuk anak perempuan.
Dalilnya adalah riwayat Tirmidzi, Sayyidina ‘Aisyah bercerita:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَرَهُمْ: عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُتَكَافِئَتَانِ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
Rasulullah ﷺ Memerintahkan untuk mengakikahi anak laki-laki dua ekor kambing yang sepadan, dan untuk anak perempuan seekor kambing”.
(HR. Tirmidzi: 1513)
Kriteria Hewan yang Sah untuk Akikah
Syarat hewan akikah agar sah, sama persis dengan syarat hewan kurban: dari segi jenis, usia, dan selamat dari cacat yang menyebabkan kekurangan daging. Kesamaan ini lantaran akikah dan kurban sama-sama sembelihan yang dianjurkan.
Dengan demikian, syarat untuk sapi dan kambing adalah berumur dua dan telah masuk umur tiga tahun. Adapun unta harus telah masuk umur keenam. Sedangkan untuk domba ada dua macam, pertama, domba berumur satu tahun dan telah masuk umur dua tahun. Kedua, ajda’ merupakan istilah bagi domba yang telah tanggal gigi serinya, meskipun belum mencapai satu tahun. Berdasarkan sabda Baginda Nabi Muhammad ﷺ:
نِعْمَت الْأُضْحِيَّة الْجَذَعُ مِنَ الضَّأْنِ
“Sebaik-baik kurban adalah jadza’ dari domba”.
(HR. Ahmad: 2/245)
Adapun cacat yang dimaksud ialah sebagaimana sabda Baginda Nabi Muhammad ﷺ:
أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأَضَاحِي: اَلْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا، وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا، وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ عَرَجُهَا، وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تُنْقَى
“Empat (jenis hewan) yang tidak boleh dijadikan kurban: yang buta sebelah dan jelas kebutaannya, yang sakit dan jelas sakitnya, yang pincang dan jelas kepincangannya, dan yang kurus lagi tidak berlemak.”
(HR. Abu Dawud: 2802)
Dikiaskan dengan empat cacat ini segala sesuatu yang serupa dengannya dalam menyebabkan kurus dan mengurangi daging.
Selengkapnya terkait kurban, bisa menyimak kajian 20 menit berikut ini:
Perbedaan Akikah dan Kurban
Mengutip dari kitab al-Fiqh al-Manhajî ‘alâ Madzhabil-Imâm asy-Syâfi’î (III/59):
Memang syarat akikah persis dengan syarat kurban. Namun, bukan berarti akikah serupa dengan kurban dalam segala aspek. Ada perbedaan ketentuan pembagian daging akikah dan daging kurban. Juga ketentuan dan anjuran lain yang tidak ada dalam masalah kurban. Kami ringkas sebagai berikut:
Pertama, Akikah Sunah Dimasak
Sunah menghidangkan akikah dalam keadaan masak, seperti halnya walimah pada umumnya (menyedekahkannya dalam keadaan matang). Bukan seperti kurban yang pembagiannnya dalam keadaan mentah.
Anjurannya, memasak daging akikah dengan racikan yang manis, sebagai harapan agar akhlak bayi menjadi manis.
Yang afdal menyedekahkan daging dan kuahnya kepada orang-orang miskin, dengan mengantarnya. Sebagaimana disunahkan pula memakan dan membarikan sebagian daging kurban.
Kedua, Memotong Tulang dari Persendiannya
Sunah pula tidak mematahkan tulang hewan akikah, selagi memungkinkan. Dengan cara, memotong setiap tulang melalui persendiannya. Hal ini sebagai harapanatas keselamatan seluruh anggota tubuh bayi.
Ketiga, Menyedekahkan Bagian Kaki kepada Bidan atau Dukun Anak
Sunah menghadiahkan kaki hewan sampai pangkal paha (yang lebih utama adalah kaki kanan) kepada bidan yang menangani persalinan dalam keadaan mentah, bukan dalam keadaan matang. Sebagai harapan baik agar anak itu hidup dan berjalan. Hal ini sebagimana perintah Baginda Nabi Muhammad ﷺ kepada Sayyidah Fatimah. Sayyidina Ali menceritakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ فَاطِمَةَ فَقَالَ: زِنِي شَعَرَ الْحُسَيْنِ وَتَصَدَّقِي بِوَزْنِهِ فِضَّةً وَأَعْطِي الْقَابِلَةَ رِجْلَ الْعَقِيقَةِ
“Rasulullah ﷺ memerintahkan Sayyidah Fatimah, lalu bersabda, ‘Timbanglah rambut Husain dan bersedekahlah seberat timbangannya dengan perak, dan berikanlah kepada bidan kaki hewan akikah.'”
Keempat, Ketentuan Kepemilikan Setelah Pembagian Daging
Selanjutnya adalah perbedaan ketentuan pembagian daging akikah dan daging kurban kepada orang kaya. Jika akikah dihadiahkan (dibagikan) kepada orang kaya, secara otomatis orang kaya tersebut mendapat kepemilikan penuh. Berbeda dengan kurban. Saat daging kurban diberikan kepada orang yang kaya, maka itu sebatas dhiyafah yang tidak boleh diperjual-belikan.
Semua itu menjadi jelas saat melihat catatan Hâsyiyah al-Bujairamî ‘ala Syarhil-Minhaj (4/302) terhadap teks berikut:
وَسُنَّ طَبْخُهَا كَسَائِرِ الْوَلَائِمِ إلَّا رِجْلُهَا فَتُعْطَى نِيئَةً لِلْقَابِلَةِ لِخَبَرِ الْحَاكِمِ الْآتِي وَ سُنَّ طَبْخُهَا بِحُلْوٍ مِنْ زِيَادَتِي تَفَاؤُلًا بِحَلَاوَةِ أَخْلَاقِ الْوَلَدِ وَلِأَنَّهُ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُحِبُّ الْحَلْوَى وَالْعَسَلَ وَإِذَا أُهْدِي لِلْغَنِيِّ شَيْءٌ مِنْهَا مَلَكَهُ بِخِلَافِهِ فِي الْأُضْحِيَّةِ كَمَا مَرَّ لِأَنَّ الْأُضْحِيَّةَ ضِيَافَةٌ عَامَّةٌ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى لِلْمُؤْمِنِينَ بِخِلَافِ الْعَقِيقَةِ وَأَنْ لَا يَكْسِرَ عَظْمَهَا تَفَاؤُلًا بِسَلَامَةِ أَعْضَاءِ الْوَلَدِ فَإِنْ كَسَرَ فَخِلَافُ الْأَوْلَى
“Dan disunnahkan memasaknya seperti perjamuan-perjamuan lainnya, kecuali kakinya, maka diberikan mentah kepada bidan berdasarkan hadits Hakim yang akan datang. Dan disunnahkan memasaknya dengan manisan ini tambahan dariku, sebagai harapan baik atas manisnya akhlak anak, dan karena Nabi ﷺ menyukai manisan dan madu. Dan jika dihadiahkan kepada orang kaya sesuatu darinya, maka ia memilikinya, berbeda dengan kurban sebagaimana telah lalu, karena kurban adalah jamuan (dhiyafah) umum dari Allah ﷻ untuk kaum mukminin, berbeda dengan akikah. Dan agar tidak mematahkan tulangnya sebagai harapan baik atas keselamatan anggota tubuh anak, maka jika mematahkannya, menyalahi yang utama (khilaful-awla).”
Dalam hasyiyah-nya terdapat catatan:
قَوْلُهُ: إلَّا رِجْلَهَا أَيْ: إلَى أَصْلِ الْفَخِذِ، وَالْأَفْضَلُ أَنْ تَكُونَ الْيَمِينَ شَرْحُ م ر. قَوْلُهُ: فَتُعْطَى نِيئَةً تَفَاؤُلًا بِأَنَّ الْوَلَدَ يَعِيشُ، وَيَمْشِي زي. قَوْلُهُ: تَفَاؤُلًا بِحَلَاوَةِ أَخْلَاقِ الْوَلَدِ وَلَا يُقَالُ: بِمِثْلِهِ فِي، وَلِيمَةِ الْعُرْسِ تَفَاؤُلًا بِأَخْلَاقِ الْعَرُوسِ؛ لِأَنَّهَا طُبِعَتْ فَاسْتَقَرَّ طَبْعُهَا، وَهُوَ لَا يُغَيَّرُ شَوْبَرِيٌّ. قَوْلُهُ: كَانَ يُحِبُّ الْحَلْوَى هِيَ مَا دَخَلَتْهُ النَّارُ، وَكَانَ مُرَكَّبًا مِنْ حُلْوٍ، وَغَيْرِهِ كَمَا قَالَهُ الْمُنَاوِيُّ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عَطْفُ الْعَسَلِ عَطْفَ مُغَايِرٍ
“Ungkapan kecuali kakinya maksudnya sampai pangkal paha, dan yang lebih utama adalah kaki kanan, ini merupakan penjelasan mim ra’. Perkataan maka diberikan mentah sebagai harapan baik agar anak itu hidup dan berjalan, menurut zai ya’. Ucapan sebagai harapan baik atas manisnya akhlak anak dan tidak dikatakan: seperti itu pula dalam walimah pernikahan sebagai harapan baik atas akhlak pengantin perempuan; karena ia telah tercipta dan tabiatnya telah menetap, dan itu tidak berubah, ini menurut Syaubari. Makalah beliau ﷺ menyukai manisan yaitu sesuatu yang masuk ke dalam api, dan terdiri dari rasa manis dan selainnya sebagaimana dikatakan oleh Al-Munawi, maka atas dasar ini, pengaitan madu adalah pengaitan yang berbeda jenis.”
Berbeda dengan keterangan di atas, dalam kitab Bughyatul-Mustarsyidîn (hlm. 257) terdapat keterangan ulama yang tidak menghukumi makruh, bahkan menganjurkan mematahkan tulang akikah. Sebagai harapan agar anaknya kelak bisa mematahkan tulang-tulang ahli syirik dan bidah:
وَبَحَثَ بَعْضُ عُلَمَاءِنَا مِنَ اْلأَوْلِيَاءِ عَدَمَ كَرَاهَةِ تَكْسِيْرِ عِظَامِ الْعَقِيْقَةِ تَفَاؤُلًا بِأَنَّ الْمَوْلُوْدَ يُكَسِّرُ عِظَامَ أَهْلِ الشِّرْكِ وَالْبِدْعَةِ .
“Sebagian ulama kita dari kalangan para wali berpendapat tidak makruh mematahkan tulang-tulang akikah sebagai bentuk pengharapan agar anak yang dilahirkan kelak akan mematahkan tulang-tulang ahli syirik dan bidah.”
Niat dan Doa Akikah
Harus berniat akikah ketika menyembelih. Hendaknya ketika menyembelih membaca doa berikut ini:
بِاسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ هَذِهِ مِنْكَ وَإِلَيْكَ اَللَّهُمَّ هَذِهِ عَقِيْقَةُ (سبوت نما دي سيني)
“Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah, ini dari-Mu dan kepada-Mu. Ya Allah, ini adalah (sebutkan nama bayi).”
Ini sesuai dengan apa yang termaktub dalam Hâsyiyah al-Bâjûrî (II/303):
وَيُسَنُّ ذَبْحُهَا عِنْدَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَأَنْ يَقُوْلَ الذَّابِحُ عِنْدَ ذَبْحِهَا بِاسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ هَذِهِ مِنْكَ وَإِلَيْكَ اَللَّهُمَّ هَذِهِ عَقِيْقَةُ فُلَانٍ
“Disunahkan menyembelih akikah ketika terbit matahari, danketika menyembelih mengucapkan, ‘Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah, ini dari-Mu dan kepada-Mu. Ya Allah, ini adalah akikah Fulan (sebutkan nama bayi).'”
Ketika acara walimah akikah membaca doa ini:
اللهم احْفَظْهُ مِنْ شَرِّالْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَأُمِّ الصِّبْيَانِ وَمِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ وَالْعِصْيَانِ وَاحْرِسْهُ بِحَضَانَتِكَ وَكَفَالَتِكَ الْمَحْمُوْدَةِ وَبِدَوَامِ عِنَايَتِكَ وَرِعَايَتِكَ أَلنَّافِذَةِ نُقَدِّمُ بِهَا عَلَى الْقِيَامِ بِمَا كَلَّفْتَنَا مِنْ حُقُوْقِ رُبُوْبِيَّتِكَ الْكَرِيْمَةِ نَدَبْتَنَا إِلَيْهِ فِيْمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ خَلْقِكَ مِنْ مَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ وَأَطْيَبُ مَا فَضَّلْتَنَا مِنَ الْأَرْزَاقِ اللهم اجْعَلْنَا وَإِيَّاهُمْ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَأَهْلِ الْخَيْرِ وَأَهْلِ الْقُرْآنِ وَلَا تَجْعَلْنَا وَإِيَّاهُمْ مِنْ أَهْلِ الشَّرِ وَالضَّيْرِ وَ الظُّلْمِ وَالطُّغْيَانِ
Ketika mencukur rambut bayi membaca doa ini:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ أَللهم نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَنُوْرُالشَّمْسِ وَالْقَمَرِ, اللهم سِرُّ اللهِ نُوْرُ النُّبُوَّةِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Ketika meniup ubun-ubun bayi membaca doa ini:
اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Waktu Akikah
Mengutip dari kitab al-Fiqh al-Manhajî ‘alâ Madzhabil-Imâm asy-Syâfi’î (III/56), waktu menyembelih akikah dimulai ketika seluruh tubuh bayi terpisah dari perut ibunya. Jika disembelih sebelum keluar sempurna, tidak dianggap sebagai akikah, melainkan hanya menjadi daging sembelihan biasa, yang tidak memiliki hukum sunah akikah.
Waktu disunahkannya terus berlanjut hingga baligh. Kemudian setelah baligh, tuntutan akikah gugur dari orangtua. Sebaiknya (ahsan) saat itu anak yang sudah baligh tersebut mengakikahi dirinya sendiri sebagai pengganti dari apa yang terlewatkan.
Disunnahkan untuk mengakikahi bayi pada hari ketujuh dari kelahirannya. Berdasarkan sabda Baginda Nabi Muhammad ﷺ:
اَلْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ، يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
“Setiap anak laki-laki tergadai dengan akikahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, diberi nama, dan dicukur rambutnya.”
(HR. Abu Dawud: 1522)
Ada dua pengertian tentang maksud tergadai dengan akikahnya
Pertama, pendidikan dan perawatan kepada bayi yang baik dan sempurna bergantung pada akikah untuknya.
Kedua, tidak akan memberi syafaat kepada kedua orangtuanya pada hari kiamat jika anak tersebut tidak diakikahi.
لَا يَشْفَعُ بِوَالِدَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنْ لَمْ يُعَقَّ عَنْهُ
Tidak akan memberi syafaat kepada kedua orangtuanya pada hari kiamat jika anak tersebut tidak diakikahi.
Referensi
- Al-Fiqh al-Manhajî ‘alâ Madzhabil-Imâm asy-Syâfi’î
- Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah
- Hâsyiyah al-Bujairamî ‘ala Syarhil-Minhaj
- Hâsyiyah al-Bâjûrî
- Al-Hâwî al-Kabîr
- Hâsyiatâl-Qalyûbî wa ‘Umairah
- Hâsyiyatul-Jamal
- Bughyatul-Mustarsyidîn