AGAMA & SAINS: Kritik Seputar Istilah Ilmiah

- Penulis

Senin, 9 September 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilmiah atau pengetahuan yang tidak mungkin salah, sebenarnya sudah sejak lama Imam al-Ghazali mengonsepnya dengan rapi. Dalam al-Munqidz minadh-Dhalal (47) beliau mendefinisikan:

أن العلم اليقيني هو الذي ينكشف فيه المعلوم انكشافاً لا يبقى معه ريب، ولا يفارقه إمكان الغلط والوهم، ولا يتسع القلب لتقدير ذلك،

“Pengetahuan yang pasti adalah: ilmu di mana objek yang diketahui tampak dengan jelas sehingga tidak ada keraguan yang tersisa, tidak ada kemungkinan kesalahan atau dugaan salah yang menyertainya, dan hati tidak memiliki ruang untuk melakukan hal tersebut (meragukan dan menyalahkan).”

Contohnya, sebagaimana berikut:

فإني إذا علمت: أن العشرة أكثر من الثلاثة، فلو قال لي قائل: لا بل الثلاثة أكثر، بدليل أني أقلب هذه العصا ثعباناً، وقلبها، وشاهدت ذلك منه، لم أشك بسببه في معرفتي، ولم يحصل لي منه إلا التعجب من كيفية قدرته عليه! فأما الشك بسببه فيما علمته فلا

“Jika saya tahu bahwa sepuluh lebih besar dari tiga, lalu seseorang berkata kepada saya, ‘Tidak, sebenarnya tiga lebih besar,’ dan sebagai bukti ia mengubah tongkat ini menjadi ular di depanku, dan saya melihatnya sendiri, maka saya tidak akan meragukan pengetahuan saya tentang bilangan. Yang akan saya rasakan hanyalah kekaguman terhadap bagaimana ia mampu melakukan hal itu. Adapun meragukan pengetahuan saya tentang bilangan karena perkataannya, itu tidak akan terjadi.”

Lantas, apakah yang sampai ke taraf ‘ilm-yaqini itu hanya sesuatu yang pasti-pasti saja (seperti sepuluh lebih besar dari tiga), ataukah agama juga termasuk dalam ‘ilmul-yaqini tersebut?

Perbincangan keilmiahan ‘agama’ tak lepas dari sudut pandang bagaimana ia mengaitkan pengetahuan (‘ilmul-yaqini) dengan agama itu sendiri. Ada tiga kelompok yang berbeda terkait sudut pandang ini.

Pertama, kelompok yang mempertentangkan keduanya. Kelompok ini sering kali bentrok satu-sama lain, baik dari kalangan saintis atau pun agamis. Kelompok ini beranggapan: orang yang beragama, berkonsekuensi tidak percaya sains. Pun sebaliknya, semakin orang percaya sains, semakin menjauh pula dari agama.

Sosok yang agamis yang memiliki sudut pandang seperti ini cenderung menolak semua hukum sains. Ia mengira dengan menolak sains akan menolong agama. Namun, realitanya terbalik. Imam al-Ghazali menggambarkan dalam kitab yang sama (hlm. 66):

نشأت من صديق للإسلام جاهل، ظن أن الدين ينبغي أن ينصر بإنكار كل علم منسوب إليهم. فأنكر جميع علومهم وادعى جهلهم فيها حتى أنكر قولهم في الكسوف والخسوف

“Muncul dari seorang teman bagi Islam yang jahil, ia mengira bahwa agama harus dinaungi dengan mengingkari segala ilmu yang dikaitkan dengan mereka (para filsuf). Maka ia mengingkari semua ilmu mereka dan mengklaim kebodohan mereka di dalamnya, bahkan ia mengingkari ucapan mereka tentang gerhana matahari dan bulan.”

Pandangan ini sangat keliru. Juga, pandangan ini sangat merugikan kepada Islam itu sendiri. Lebih tepatnya, berikut komentar Imam al-Ghazali:

ولقد عظم على الدين جناية من ظن أن الإسلام ينصر بإنكار هذه العلوم، وليس في الشرع تعرض لهذه العلوم بالنفي والإثبات، ولا في هذه العلوم تعرض للأمور الدينية.

“Sungguh merupakan kejahatan besar kepada agama, orang yang mengira bahwa Islam dapat diperkuat dengan mengingkari ilmu-ilmu ini. Tidak ada dalam syariat (Islam) yang menyangkal atau membenarkan ilmu-ilmu ini, dan dalam ilmu-ilmu ini pun tidak ada sangkut pautnya dalam urusan-urusan agama.”

Kedua, kelompok yang tidak membenturkan antara sains dan agama, melainkan ia memilahnya. Ia berpandangan bahwa: agama berdasarkan keyakinan, sedangkan sains berdasarkan pengetahuan. Konsekuensinya, ia menyatakan agama tidak dibangun atas dasar pengetahuan, melainkan keyakinan.

Mereka sangat anti membahas keagamaan dengan pengetahuan. Karena menurutnya, agama hanya bersifat dogmatis dan tidak ilmiah. Sehingga tidak heran jika sebagian penganut paham ini tidak mau, bahkan mengharamkan belajar akidah (ilmu kalam), lantaran pelajaran tersebut merupakan upaya merasionalisasikan akidah Islam, yang (katanya) seharusnya hanya berbentuk keyakinan yang tidak rasional, dan tidak perlu dirasionalkan.

Ini tentu pernyataan yang keliru. Dan sebenarnya, kelompok pertama dan kedua sama-sama memiliki kesimpulan bahwa agama Islam tidak dibangun atas dasar pengetahuan. Pemikiran seperti ini yang sering terjadi kepada para rasionalis. Efeknya, ia bisa semakin tidak suka kepada agama (lantaran menurutnya tidak ilmiah) dan ia justru semakin tergila-gila dengan sains. Berikut gambaran dari Imam al-Ghazali:

ولكن اعتقد أن الإسلام مبني على الجهل وإنكار البرهان القاطع، فازداد للفلسفة حباً وللإسلام بغضاً

“… akan tetapi, (orang itu) meyakini bahwa Islam terbangun dari kebodohan dan mengingkari bukti yang pasti. Maka orang itu akan tambah cinta kepada filsafat dan akan tambah benci kepada Islam.”

Ketiga, dan ini yang benar, keyakinan bahwa akidah Islam terbangun atas dasar pengetahuan (makrifat), bukan hanya keyakinan tak berdasar. Imam as-Sanusi Syarh Ummul-Barahin (hlm. 53-54) menjelaskan:

يَجِبُ شَرْعًا عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ وَهُوَ البَالِغُ العَاقِلُ أَنْ يَعْرِفَ مَا ذُ كِرَ لِاَنَّهُ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ يَكُوْنُ مُؤْمِنًا مُحَقِّقًا لِاِيْمَانِهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ فِى دِينِهِ

“Wajib secara hukum syariah bagi orang mukalaf—yaitu orang yang baligh dan berakal—mengetahui (sifat wajib, mustahil, jaiz kepada Allah dan rasul-Nya), karena dengan mengetahui sifat tersebut, seseorang bisa dikatakan mukmin yang tahqiq atas keimanannya, dengan pengetahuan yang berdasarkan dalil dalam agama”

Ini tentu bukan hanya sekadar keyakinan, melainkan wajib sampai pada taraf pengetahuan. Adapun bila hanya sekadar yakin, tanpa dalil, maka itu masuk dalam kategori taklid, yang keabsahannya diperselisihkan ulama.

Lantas, bagaimana kita bisa mengetahui Tuhan, sedangkan kita tidak melihatnya? Pertanyaan ini kembali kepada perbincangan terkait sumber pengetahuan yang telah disebutkan Imam an-Nasafi terbagi menjadi tiga:

اسباب العلم ثلاثة العقل السليم والحواس السليمة والخبر الصادق
“Sebab pengetahuan ada tiga, akal sehat, panca indera sehat, dan informasi valid.”

Alhasil, tidak semua pengetahuan sumbernya adalah dengan empiris. Kita berkewajiban mengetahui Tuhan, ya, dengan akal, bukan dengan panca indera. Kita dapat mengetahui sejarah masa lalu, ya, menggunakan kabar orang terpercaya, bukan dengan panca indera pula. Begitu pun kita mengetahui hal gaib, ya, dengan kabar sosok yang terpercaya. Tidak semua pengetahuan menggunakan panca indera.

Jika ilmiah sumber pengetahuannya sebatas indriawi saja, maka tidak ada lagi kajian sejarah, lantaran sejarah sumber utamanya adalah informasi yang valid.

Berita Terkait

Hubungan Syariat, Tarekat, dan Hakikat
Bukti Manusia Lebih Mulia dari pada Malaikat
Hukum Alam dalam Islam
9 Macam Nama (الاسم) Beserta Penjelasan dan Contohnya
Aswaja, Salafi dan Wahabi
Apa Itu Kalamullah? – Memahami al-Quran yang Bukan Makhluk
Nur Muhammad Qadim dalam Al-Barzanji?
Akurat! Nazam Aqidatul Awam Latin dan Arab
Berita ini 33 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 8 Juli 2024 - 20:08 WIB

Dalil Rukyat Hilal Tiap Bulan

Jumat, 19 Januari 2024 - 22:28 WIB

Hubungan Syariat, Tarekat, dan Hakikat

Kamis, 7 September 2023 - 19:02 WIB

Hukum Menyentuh Anjing dalam Keadaan Kering

Kamis, 7 September 2023 - 05:48 WIB

Bagaimana Cara Salat Makmum yang Tertinggal Bacaan Al-Fatihahnya Imam?

Minggu, 30 April 2023 - 05:16 WIB

5 Kriteria Syarat Wajib Berpuasa Ramadan

Senin, 13 Februari 2023 - 16:38 WIB

Hukum Posting Foto Korban Bencana

Senin, 13 Februari 2023 - 03:03 WIB

Vaksin dalam Perspektif Islam

Minggu, 4 Desember 2022 - 05:12 WIB

Tradisi Maulid di Pasuruan, Jawa Timur

Berita Terbaru

al-Quran

Belajar al-Quran dengan Buku Iqro (Jilid 1-6)

Minggu, 20 Okt 2024 - 23:48 WIB

al-Quran

13+ Syarah Tuhfatul Athfal PDF

Minggu, 20 Okt 2024 - 02:43 WIB

Info

Membeli Ihya Darul Minhaj; Apakah Worth It?

Rabu, 9 Okt 2024 - 05:43 WIB

Akidah

AGAMA & SAINS: Kritik Seputar Istilah Ilmiah

Senin, 9 Sep 2024 - 17:00 WIB

Fikih

Dalil Rukyat Hilal Tiap Bulan

Senin, 8 Jul 2024 - 20:08 WIB