Mustaqim.NET – Jika pararabu termasuk orang yang jengkel jika ada junior menyanggah senior, ada baiknya pararabu menyimak kisah berikut ini. Kisah ini tertera dalam kita Maraqil-‘Ubudiyah, karya Syekh Nawawi, Banten. Beliau mengisahkan:
Konon, ada majelis para ulama dari empat mazhab belajar. Iya, majelis ini murid-muridnya adalah para ulama. Pengajarnya merupakan seorang imam agung yang sudah tersohor. Beliau adalah Syekh Man’usy. Saat mengajar para imam yang agung, beliau menuturkan kejanggalannya akan rumusan Imam asy-Syafi’i yang berupa:
إذا دخل شرط على شرط، فلا يوجب الحكم إلا بتقديم المؤخر
“Bila ada syarat masuk ke syarat, maka tidak terjadi hukum apa pun, terkecuali mendahulukan syarat yang akhir.”
Dari rumusan tersebut, muncullah hukum berikut ini: jika suami mengakatan, “Bila kamu masuk rumah, maka kau tertalak,” dari rumusan tersebut, perceraian tidak terjadi seketika, terkecuali si istri masuk rumah. Beliau merasa janggal lantaran tidak pernah menemukan padanan serupa dalam bahasa Arab.
لم نر لهذا القول دليلاً في كلام العرب
“Tak satu pun dalil serupa dalam bahasa Arab,” begitu ungkapnya.
Tiba-tiba muncul suara anak kecil. “Rumusan Imam asy-Syafi’i sudah sangat benar,” begitulah suara kecil tersebut yang mengagetkan Syekh Man’usy dan para jemaah. Para jemaah pun jengkel dan menegur anak kecil tersebut. Rupanya, anak tersebut adalah Syekh Hamdan yang kala itu masih sangat muda.
Namun, dengan kebijaksanaan Syekh Man’usy, beliau mempersilahkan anak tersebut. Syekh Man’usy balik menegur para jemaah yang mencegah anak kecil tersebut, seraya mengatakan:
دعوه فإنه ليس بيننا وبين الحق خصومة، وإن كان من صغير
“Biarkan dia bersuara, karena dalam urusan kebenaran tidak ada permusuhan di antara kita. Toh, meski pun kebenaran datang dari seorang bocah,” ujar beliau.
ومن خصوصيتنا قبول الحق، ولو من صغير، ورد الصغير على الكبير في الحق بخلاف الأمم السابقة إذا أخطأ الكبير لم يتجاسر أحد على الرد عليه، فيصير خطؤه شريعة يعمل بها في الكون
“Termasuk keistimewaan umat Islam ialah menerima kebenaran, meski pun datang dari seorang bocah. Anak kecil pun boleh menegur orang yang sudah tua. Ini berbeda dengan umat terdahulu, yang mana jika ada seorang tokoh melakukan kesalahan, tidak satu pun orang yang berani menegur. Jika begitu, kesalahan tersebut malah menjadi syariat bagi masyarakat tersebut,” tambah beliau.
Usai menasehati para jemaah, Syekh Man’usy fokus menghadapkan wajah berkharisma beliau kepada Syekh Hamdan muda. “Silahkan lanjutkan,” pinta Syekh Man’usy.
“Apa pendapat Anda terhadap syair Arab berikut ini?” Tanya balik Syekh Hamdan seraya menyodorkan sebuah syair yang memiliki dua syarat berikut ini:
إنْ يَسْتَغِيثُوا بِنَا إنْ يُذْعرُوا يَجِدُوا * مِنَّا مَعَاقِدَ عِزَ زَانَهَا كَرَمُ
“Jika mereka meminta tolong kepada kita, jika mereka ketakutan, maka mereka akan mendapatkan dari kita tempat-tempat perjanjian yang agung, yang berhias kemuliaan.”
Mendengar syair tersebut, Syekh Man’usy bahagia sekali menyadari keselahannya. Beliau sadar bahwa dalam syair tersebut sudah ada pepatah Arab yang tentunya mendahulukan syarat yang akhir. Meminta tolong tentu setelah terjadi ketakutan.
صدقت يا ولدي
“Engkau benar, Nak,” ujar Syekh Man’usy dengan tersenyum bangga seraya mendoakan kebaikan kepada Syekh Hamdan muda.
Dengan penuh rendah hati, Syekh Hamdan muda bercerita:
ولم أكن أهلاً للرد إلا أني ظننت أن الإمام الشافعي هو الذي حرك لساني بالكلام
“Saya bukan seorang yang ahli dalam hal ini. Hanya saja seakan Imam asy-Syafi’i yang menggerakkan lisanku,” begitulah pengakuan dari Syekh Hamdan.
Dalam kisah tersebut, tergambar jelas renungan dari sebuah syair Arab yang berbunyi:
وَكَمْ مِنْ صَغِيرٍ لاحَظَتْهُ عِنَايَةٌ * مِنَ الله فاحْتَاجَتْ إِلَيْهِ الأكابِرُ
“Betapa banyak bocah yang mendapat pertolongan Allah, sehingga para pembesar membutuhkannya.”