Mustaqim.NET – Definisi puasa (الصوم), puasa secara bahasa adalah menahan diri. Segala sesuatu yang bersifat menahan diri maka tergolong puasa secara bahasa. Puasa secara syariat Islam adalah: menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa dengan cara tertentu. Bagaimana caranya? Apa saja yang membatalkan? Artikel kali ini akan mengulasnya secara ringkas dan menyeluruh.
Seseorang tergolong wajib berpuasa bila memenuhi lima kriteria berikut ini:
1. Islam
Islam menjadi syarat ibadah secara umum, mulai dari bersuci, salat, zakat, puasa hingga haji. Orang kafir tidak terkena khitab berpuasa. Meski pun ia berpuasa, puasanya tidak diterima.
Jika sudah login agama Islam, orang tersebut wajib berpuasa, serta yang telah berlalu tidak perlu qada. Sesuai dengan firman Allah:
قُلْ لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِنْ يَّنْتَهُوْا يُغْفَرْ لَهُمْ مَّا قَدْ سَلَفَۚ وَاِنْ يَّعُوْدُوْا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ الْاَوَّلِيْنَ
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya), “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu; dan jika mereka kembali lagi (memerangi Nabi) sungguh, berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu (dibinasakan).”
(QS. Al-Anfal: 38)
2. Mukalaf
Seseorang tergolong mukalaf (terkena taklif) jika telah memenuhi dua kriteria, balig dan berakal. Anak kecil (yang belum balig) tidak wajib puasa. Akan tetapi, orang tua wajib mengajarkan berpuasa ketika ia berumur tujuh tahun, bahkan menindaknya (dengan cara memukul yang tidak melukai) ketika meninggalkan puasa saat berumur sepuluh tahun.
Al-Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri memperjelas keterangan tersebut dengan menjabarkan bahwa: anak kecil diperintah puasa ketika umur tujuh tahun. Akan tetapi, berhak dipukul lantaran meninggalkan puasa ketika umur sepuluh tahun, jika memang pada umur tersebut ia mampu melakukan ibadah seperti salat.
Status puasa anak kecil yang belum balig, tetap sah dan mendapatkan pahala. Namun, tidak wajib sampai ia baligh. Hal tersebut sebagaimana penjelasan kebanyakan ulama. Namun, sebagian kecil ulama menjelaskan, anak kecil yang sudah berumur sepuluh tahun sudah wajib berpuasa, berdasarkan hadis:
إذَا أَطَاقَ الْغُلَامُ الصِّيَامَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَجَبَ عَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ.
“Jika seorang anak mampu menahan diri dari makan dan minum selama tiga hari, maka wajib baginya untuk berpuasa selama bulan Ramadhan.”
(HR. Abu Labibah Al-Ashaly)
Jika ada anak berpuasa, siang hari ia baligh, ia wajib menyempurnakannya, dan tidak perlu qadha. Bila ketika baligh tadi dalam keadaan tidak berpuasa, tidak perlu mengqadhainya, serta tidak wajib imsak. Hal tersebut juga berlaku kepada orang yang sembuh dari kegilaannya dan atau orang kafi masuk islam pada siang hari bulan Ramadan.
Tergolong sesuatu yang ulama sesalkan ialah, jika ada orang tua lalai dalam urusan mengajarkan anaknya dalam berpuasa. Hal ini berdampak buruk kepada anak. Dalam sebuah syair Arab karya Imam Abul ‘Ala al-Maarri tergambar:
وَيَنشَأُ ناشِئُ الفِتيانِ مِنّا * عَلى ما كانَ عَوَّدَهُ أَبوهُ
وَما دانَ الفَتى بِحِجىً وَلَكِن * يُعَلِّمُهُ التَدَيُّنَ أَقرَبوهُ
“Dan tumbuhlah anak muda dari kalangan kita
Menurut kebiasaan yang telah diajarkan oleh ayahnya
Bukan karena dia belajar dari guru
Namun ia belajar sopan santun dari keluarganya”
Jika orang tua sudah lalai, anak pun juga pasti lalai. Hal serupa sebagaimana syair berikut ini:
إِذَا كَانَ رَبُّ الْبَيْتِ بِالدَّفِّ ضَارِبًا * فَلَا تُلَمُّ الصِّبْيَانَ فِيهِ عَلَى الرَّقْصِ
“Jika tuan rumah menabuh rebana, jangan salahkan anak-anak karena menari.”
3. Mampu
Istilah mampu meninjau dari dua aspek. Ada dari sisi indriawi, ada juga dari sisi syariat. Orang yang tidak mampu berpuasa lantaran tua renta, sakit yang tidak mungkin sembuh, tidak wajib berpuasa lantaran masuk dalam kategori tidak mampu secara indriawi. Mereka memiliki kewajiban membayar fidyah.
Orang haid dan nifas, tergolong tidak mampu lantaran ada penghalang syariat. Mereka berkewajiban qadha.
4. Sehat
Tidak wajib puasa bagi orang sakit, jika ia khawatir dengan berpuasa terjadi mudarat. Jika ia berpuasa, maka tetap mendapat pahala.
Dalam Syarah al-Yaqut an-Nafis, ada sebuah kisah, Sayyid Yahya bin Ahmad Alydrus pernah mendapat pertanyaan dari hadirin terkait penyakit ginjal (maradhul-kula/مرض الكلى). Dokter menyarankan kepadanya untuk meminum air setiap 4 jam sekali. Jika tidak, penyakitnya bisa makin parah. Pertanyaannya, apakah ia boleh makan?
Beliau menjawab seraya mengutip ayat:
فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوْتُ بِالْجُنُوْدِ قَالَ اِنَّ اللّٰهَ مُبْتَلِيْكُمْ بِنَهَرٍۚ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّيْۚ وَمَنْ لَّمْ يَطْعَمْهُ فَاِنَّهٗ مِنِّيْٓ اِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً ۢبِيَدِهٖ ۚ
“Maka ketika Talut membawa bala tentaranya, dia berkata, ‘Allah akan menguji kamu dengan sebuah sungai. Maka barangsiapa meminum (airnya), dia bukanlah pengikutku. Dan barangsiapa tidak meminumnya, maka dia adalah pengikutku kecuali menciduk seciduk dengan tangan’.”
(QS. Al-Baqarah: 249)
Dengan ayat tersebut, minuman tercakup juga makanan. Sehingga jika ia diperkenankan minum, makan pun juga tidak masalah.
Namun, di sisi lain ada sebuah kisah dalam kitab yang sama terkait Sayyid Abu Bakar. Ada seorang pelajar bertanya kepada beliau terkait penyakitnya. Dokter menyarankan untuk minum, padahal ia sedang berpuasa. Sayyid Abu Bakar mengatakan, “Silakan minum, tapi jangan makan. Lakukan sesuai apa yang diperintahkan dokter kepadamu. Jangan lebih.”
5. Muqimٍ
Syarat berikutnya adalah mukim (iqamah). Musafir, yang perjalanannya panjang, itu diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Berdasarkan firman Allah:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Rasulullah sendiri terkadang memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa ketika sedang perjalanan, terkadang memerintahkan untuk tidak berpuasa. Yang afdala, adalah yang paling ringan.
Dalam sahih Muslim terdapat sebuah hadis: