Mustaqim.NET – Sebelumnya, kita pernah membahas sekelumit tentang ungkapan utlubul ilma minal mahdi ilal lahdi. Untuk kali ini, kita akan menjelaskan terkait perkataan, “al-insanu mahalul-khoto wan-nisyan”, yang tulisan Arabnya beserta artinya sebagaimana berikut:
ألإِنْسِانُ مَحَلُّ الخَّطَاء وَالنِّسْيَان
“Manusia tempat salah dan lupa.”
Mengapa ungkapan ini sangat masyhur, khususnya pada kalangan pesantren? Ungkapan tersebut sudah termaktub dalam pelajaran fikih dasar, yakni kitab Sullamut-Taufiq ila Mahabbatil-Lah ‘alat-Tahqiq. Kitab tersebut karya Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’alawi al-Hadhrami.
Kitab ini merupakan pelajaran fan fikih untuk murid dasar. Kebanyakan menjadi mata pelajaran pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), tetapi tidak jarang pula yang menjadi materi pengajian umum. Sehingga sangat wajar, jika kandungannya, termasuk pula perkataan, “al-insanu mahalul-khoto wan-nisyan” juga ikut masyhur.
Karena pada dasarnya, ilmu yang bersifat umum, akan lebih masyhur ketimbang ilmu yang bersifat eksklusif.
Namun, apakah ungkapan ini sebuah sabda Nabi Muhammad? Kami belum pernah menemukan satu pun rawi yang meriwayatkan demikian. Akan tetapi, untuk kandungan yang selaras ungkapan ini, sangat banyak, baik berupa ayat al-Quran, hadis, hingga makalah ulama.
Ayat al-Quran
Kita mulai dari ayat al-Quran. Setidaknya ada dua ayat yang kandungannya serupa dengan ungkapan tersebut. Dalam surah al-Baqarah terdapat ayat:
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah”
(QS. Al-Baqarah: 286)
Dalam ayat tersebut ada dua lafal yang berasal dari kata nisyan dan khatha’. Selain itu, juga terdapat ayat serupa yang memiliki kandungan terkait tidak berdosa orang yang melakukan kesalahan (yang tidak disengaja):
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.”
(QS. Al-Ahzab: 05)
Hadis Serupa al-Insanu Mahalul-Khoto wan-Nisyan
Ada banyak sabda Nabi sendiri yang serupa dengan ungkapan al-insanu mahalul-khoto wan-nisyan. Antara lain sabda Nabi Muhammad yang berbunyi:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ.
“Setiap manusia memiliki kesalahan. Orang bersalah yang paling baik adalah orang yang bertaubat.”
(HR. Ibnu Majah)
Ada pula sabda Nabi Muhammad yang mengumpulkan dua kata nisyan dan khatha’. Lagi-lagi menerangkan tentang ketidakberdosaan atau tidak ada tuntutan bagi mereka yang melakukan kesalahan tanpa sengaja. Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah membiarkan (mengampuni) kesalahan dari umatku akibat kekeliruan dan lupa”
(HR. Ibnu Majah)
Dalam hadis lain menggunakan lafal:
رُفع -أو: وضع- عن أمتي الخطأ والنسيان
“Tidak dicatat dari umatku apabila melakukan kekeliruan dan lupa.”
(HR. Ibnu Majah)
Penjelasan Ulama
Sebenarnya apa kaitan nash yang menerangkan terkait kekeliruan manusia dengan ungkapan yang sedang kita bahas? Meski pun secara literal berbeda, tetapi nash-nash terkait tidak ada dosa bagi orang yang melakukan kekeliruan atau lupa memiliki kandungan yang sama. Dengan kata lain, nash-nash tersebut menjelaskan bahwa tabiat manusia memang pelupa, sehingga Allah tidak menghukum perbuatan atas dasar lupa.
Hal ini juga sama dengan keterangan yang ada dalam Syarah Umdatul-Ahkam (9/30)
فالله تعالى لا يؤاخذ على النسيان؛ لأن الإنسان طبيعته النسيان، كما قيل: وما سمي الإنسان إلا لنسيه ولا القلب إلا أنه يتقلب فإذا فعل شيئاً من هذه المحظورات وهو ناسٍ صيامه فلا يضره، حتى إن السهو والنسيان يقع في الصلاة ولا يبطلها، بل تجبر بسجدتي السهو كما هو معروف،
“Allah tidak menganggap perbuatan dengan alasan lupa. Karena manusia memiliki tabiat lupa. Sebagaimana pepatah ulama: tidak dinamai manusia kecuali karena ia pelupa, tidak dinamakan kalbu, terkecuali ia sering berubah-ubah.
Manusia yang berpuasa jika melakukan sesuatu yang terlarang dalam keadaan lupa, tidak berpengaruh kepada puasanya. Begitu pun saat lupa dalam salat, salatnya tidak batal. Namun, ditambal menggunakan sujud sahwi sebagaimana yang telah kita ketahui.”
Syair ini juga dikutip dalam Syarah Sullam-Tauffiq, yakni Is’adur-Rafiq:
وما سُمّيَ الإنسانُ إلّا لنسيّه * ولا القلبُ إلّا أنّه يتقلّبُ
“Tak dinamai insan, terkecuali karena kelupaannya (nisyan). Tak bernama kalbu, terkecuali karena berubah-ubath (taqallub).”