Mustaqim.NET – Artikel ini juga sebagai jawaban, setelah sebelumnya kami menjawab saat pararabu mengatakan sebutkan hikmah pelaksanaan akikah. Kali ini, kami akan menjawab pertanyaan pararabu terkait bagaimana cara bertobat yang benar, kami lampirkan syarah nazam Kharidatul-Bahhiyah berikut ini:
وجَدِّدِ التَّوْبَةَ لِلْأَوْزَارِ ٦١ لَا تَيْأَسَنْ مِنْ رَحْمَةِ الغَفَّارِ
“Perbaruilah tobat atas dosa-dosamu. Jangan pernah putus asa dari rahmat Allah ﷻ yang Maha Pengampun”
Imam ad-Dardiri memberikan penjelasan sebagai berikut:
Seseorang berkewajibat melakukan tobat, atas dosa mereka, meski pun dosa kecil. Dalam keyakinan Ahlusunah Waljamaah, dosa itu terbagi menjadi dua. Besar dan kecil. Berbeda dengan dua aliran menyimpang seperti penjelasan dalam ‘ibarat dalam kitab Hasyiyah ash-Shawi ‘ala Syarhil-Kharidah al-Bahhiyah (hlm. 430)
قَوْلُهُ: (وَلَوْ صَغِيرَةً): أَيْ: هَذَا إِذَا كَانَ كَبِيرَةً، بَلْ وَلَوْ صَغِيرَةً، وَفِي كَلَامِهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ الذُّنُوبَ قِسْمَانِ: صَغَائِرُ وَكَبَائِرُ، وَهُوَ مَذْهَبُ أَهْلِ السُّنَّةِ، فَفِيهِ رَدٌّ عَلَى الْمُرْجِئَةِ الْقَائِلِينَ: إِنَّ الذُّنُوبَ كُلَّهَا صَغَائِرُ، وَلَا يَضُرُّ مَعَ الْإِيمَانِ ذَنْبٌ، وَعَلَى الْخَوَارِجِ حَيْثُ قَالُوا: إِنَّ كُلَّ ذَنْبٍ كَبِيرَةٌ وَمُرْتَكِبُهَا كَافِرٌ.
“Penjelasan ‘meski pun dosa kecil’ artinya (kewajiban tobat) berlaku baik dosa besar, bahkan dosa kecil. Dalam penjelasan ini terdapat pula isyarat bahwa dosa itu terbagi menjadi dua jenis: dosa kecil dan dosa besar, dan inilah mazhab Ahlusunah.
Ini membantah terhadap golongan Murji’ah yang meyakini bahwa semua dosa itu adalah dosa-dosa kecil, dan tidak ada dosa yang membahayakan selama disertai keimanan.
Juga, membantah terhadap golongan Khawarij di mana mereka berpendapat bahwa setiap dosa adalah dosa besar dan pelakunya berstatus kafir.”
Membedakan Dosa Besar dan Dosa Kecil
Setelah sebelumnya kita singgung pendapat Ahlusunah Waljamaah yang membagi dosa menjadi dua. Perlu kiranya, kami sampaikan perbedaan keduanya. Sayangnya, dalam Hasyiyah ash-Shawi ‘ala Syarhil-Kharidah al-Bahhiyah (hlm. 430-431) terdapat penjelasan bahwa dosa besar itu tidak terhitung. Namun, kita sekadar bisa mengamati tanda-tandanya sebagaimana berikut:
وَاعْلَمْ: أَنَّ الْكَبَائِرَ لَا تُحْصَرُ بِعَدَدٍ، وَإِنَّمَا لَهَا أَمَارَاتٌ؛ مِنْهَا: إِيجَابُ الْحَدِّ، وَمِنْهَا: الْإِيعَادُ عَلَيْهَا بِالْعَذَابِ بِالنَّارِ وَنَحْوِهَا، وَمِنْهَا: وَصْفُ فَاعِلِهَا بِالْفِسْقِ نَصًّا، وَمِنْهَا: اللَّعْنُ كَلَعْنِ السَّارِقِ، وَأَكْبَرُهَا الْكُفْرُ بِاللَّهِ تَعَالَى، ثُمَّ الْقَتْلُ الْعَمْدُ، وَمَا خَرَجَ عَنْ حَدِّ الْكَبِيرَةِ وَضَابِطِهَا فَهُوَ صَغِيرَةٌ، وَلَا تُحْصَرُ أَفْرَادُهَا، وَرُبَّمَا تُقْلَبُ الصَّغِيرَةُ كَبِيرَةً بِأُمُورٍ؛ مِنْهَا: الْإِصْرَارُ، وَالتَّهَاوُنُ، وَالْفَرَحُ، وَالِافْتِخَارُ بِهَا.
“Ketahuilah: Bahwa dosa besar tidak terbatas jumlahnya, akan tetapi ia memiliki tanda-tanda; di antaranya: 1) mendapat konsekuensi had, 2) terdapat ancaman siksa neraka atau semisalnya atas dosa tersebut, 3) pelakunya disifati secara eksplisit sebagai orang yang fasik, dan 4) terdapat laknat seperti melaknat pencuri. Dosa terbesar adalah kufur kepada Allah ﷻ, kemudian pembunuhan yang disengaja. Adapun apa saja yang keluar dari batasan dan kriteria dosa besar, maka ia adalah dosa kecil. Dosa-dosa kecil pun tidak terbatas jumlahnya.”
Terkadang Dosa Kecil Berubah Menjadi Besar
Kelanjutan ‘ibarat di atas:
وَرُبَّمَا تُقْلَبُ الصَّغِيرَةُ كَبِيرَةً بِأُمُورٍ؛ مِنْهَا: الْإِصْرَارُ، وَالتَّهَاوُنُ، وَالْفَرَحُ، وَالِافْتِخَارُ بِهَا
“Terkadang dosa kecil bisa berubah menjadi dosa besar karena beberapa hal; di antaranya: membanggakannya, terus-menerus (al-iṣrār) melakukannya, menganggapnya remeh, merasa senang dengannya.”
Cara Bertobat yang Benar
Dalam bertobat, setidaknya harus memenuhi tiga rukun tobat. Penjelasan ini dapat kita baca dalam Syarhu-Kharidah al-Bahhiyah (hlm. 185)
1. Menyesal (an-Nadm)
النَّدَمُ عَلَى مَا وَقَعَ مِنْهُ مِنَ الْمُخَالَفَاتِ لِمُرَاعَاةِ حَقِّ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
“Menyesali pelanggaran yang dilakukan demi menghormati hak Allah ﷻ.”
Rukun pertama dalam tobat ialah menyesali atas dosa yang telah ia perbuat. Tanpa penyesalan, takkan ada istilah tobat melekat pada dirinya.
2. Bertekad (al-‘Azm) Tidak Mengulanginya
وَالْعَزْمُ عَلَى أَنْ لَا يَعُودَ لِمِثْلِهِ. وَهَذَانِ لَا بُدَّ مِنْهُمَا فِي كُلِّ تَوْبَةٍ.
“Bertekad kuat untuk tidak akan kembali melakukan hal yang serupa. Kedua rukun ini mesti ada pada setiap tobat.”
3. Tidak Melanjutkan (al-Iqla’)
الْإِقْلَاعُ عَنِ الذَّنْبِ فِي الْحَالِ، وَهَذَا إِنَّمَا يَتَأَتَّى فِي ذَنْبٍ لَمْ يَنْقَضِ فَيَجِبُ الْكَفُّ عَنِ اسْتِتْمَامِ الزِّنَا وَشُرْبِ الْخَمْرِ، وَعَنْ أَذِيَّةِ أَحَدٍ، وَرَدُّ الْمَظَالِمِ إِلَى أَهْلِهَا، وَاسْتِسْمَاحُ الْمَظْلُومِ إِنْ أَمْكَنَ، وَإِلَّا اسْتَغْفَرَ لَهُ وَتَصَدَّقَ لَهُ بِمَا يُمْكِنُهُ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِذَا عَلِمَ صِدْقَ الْعَبْدِ أَرْضَى اللَّهُ عَنْهُ خُصَمَاءَهُ.
“Meninggalkan dosa (berhenti) saat itu juga. Ini hanya dapat terjadi pada dosa yang belum selesai. Dengan demikian, wajib berhenti saat melakukan zina, meminum khamr, atau menyakiti seseorang.
Begitu pula harus mengembalikan hak-hak zalim kepada pemiliknya, dan meminta maaf kepada orang yang dizalimi, jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan, maka ia beristighfar untuk orang tersebut dan bersedekah untuknya semampunya. Sesungguhnya, Allah ﷻ mengetahui kejujuran hamba-Nya, Allah ﷻ pun akan membuat rida orang yang ia rampas haknya.”
Apakah Allah ﷻ Pasti Menerima Tobat?
Dalam Syarhu-Kharidah al-Bahhiyah (hlm. 185):
وَتَوْبَةُ الْكَافِرِ عَنْ كُفْرِهِ بِالْإِسْلَامِ مَقْبُولَةٌ قَطْعًا، وَالْمُؤْمِنُ الْمُذْنِبُ مِنْ ذَنْبِهِ مَقْبُولَةٌ ظَنًّا، وَقِيلَ: قَطْعًا .
“Dan tobat orang kafir dari kekufurannya dengan (masuk) Islam, diterima secara pasti (qaṭ’an), dan (tobat) orang mukmin yang berdosa dari dosanya, diterima secara dugaan (ẓannan), dan ada yang mengatakan: secara pasti (qaṭ’an).”
Mengapa tobat orang mukmin ulama masih memperselisihkannya, sedangkan orang kafir ulama sepakat Allah ﷻ pasti menerimanya? Jawaban ini, bisa pararabu temukan dalam Hasyiyah ash-Shawi ‘ala Syarhil-Kharidah al-Bahhiyah (hlm. 432):
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْكَافِرِ وَالْعَاصِي: أَنَّ الْكَافِرَ مَطْرُودٌ عَنْ رَحْمَةِ اللَّهِ بِالْكُلِّيَّةِ، وَالْعَاصِيَ لَيْسَ بِمَطْرُودٍ، بَلْ غَايَةُ مَا فِي الْعَاصِي تَطْهِيرُهُ بِالْعَذَابِ ثُمَّ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، فَالْكَافِرُ يَحْتَاجُ تَأْلِيفَهُ بِقَبُولِ تَوْبَتِهِ، إِذْ لَمْ تُقْبَلْ تَوْبَتُهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، بِخِلَافِ الْعَاصِي، فَمَآلُهُ لِلْجَنَّةِ وَلَوْ بَلَغَ فِي الْعِصْيَانِ مَهْمَا بَلَغَ.
“Perbedaan antara orang kafir dan orang yang bermaksiat adalah: Orang kafir tertolak sepenuhnya dari rahmat Allah ﷻ. Sementara orang yang bermaksiat tidak tertolak, melainkan puncak nasib orang yang bermaksiat adalah disucikan dengan siksa kemudian ia akan masuk surga.
Orang kafir membutuhkan penjinakan dengan diterimanya tobatnya. Jika tobatnya tidak diterima, ia tidak akan masuk surga. Berbeda dengan orang yang bermaksiat, tempat kembalinya adalah surga, meskipun ia telah mencapai tingkat kemaksiatan setinggi apa pun.”
Orang Kafir yang Tobat dengan Menjadi Islam
Terkait dosa kafir, bagi orang kafir yang masuk Islam, jelas dan pasti tobatnya Allah ﷻ terima. Hal ini berdasan firman Allah ﷻ:
قُلْ لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِنْ يَّنْتَهُوْا يُغْفَرْ لَهُمْ مَّا قَدْ سَلَفَۚ وَاِنْ يَّعُوْدُوْا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ الْاَوَّلِيْنَ ٣٨
“Katakanlah (Nabi Muhammad ﷺ) kepada orang-orang yang kufur itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekufurannya dan masuk Islam), niscaya akan diampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu. Jika mereka kembali lagi (memerangi Nabi), sungguh berlaku (kepada mereka) sunah (aturan Allah ﷻ untuk menjatuhkan sanksi atas) orang-orang terdahulu.’”
(QS. al-Anfal[8]: 38)
Dari ayat ini, Imam Asy’ari, Imam Haramain, dan al-Qadhi bersepakat bahwa orang kafir yang bertobat atas kekafirannya, pasti Allah ﷻ terima tobatnya.
Dalam Hasyiyatu-Syarhi-Kharidah al-Bahhiyah (hlm. 322-323) Syekh Sa’id ‘Abd al-Latif Foudah menambahkan landasan beripa hadis riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya [17861]:
Sayyidina ‘Amr bin al-‘Ash bercerita:
مَّا أَلْقَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي قَلْبِي الْإِسْلَامَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأُبَايِعَهُ، فَبَسَطَ يَدَهُ إِلَيَّ
“Ketika Allah ﷻ menanamkan Islam di dalam hatiku, aku mendatangi Nabi ﷺ untuk berbaiat kepadanya. Beliau menjulurkan tangannya kepadaku,” ujarnya menceritakan awal dirinya masuk Islam. Kemudian beliau mengungkapkan kepada Nabi Muhammad ﷺ:
لَا أُبَايِعُكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ حَتَّى تَغْفِرَ لِي مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِي
“Aku tidak akan berbaiat kepadamu, ya Rasulullah, sampai engkau memohonkan ampunan bagiku atas dosa-dosaku yang telah lalu,” ujar Sayyidina ‘Amr bin al-‘Ash kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah menjawab:
يَا عَمْرُو، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الْهِجْرَةَ تَجُبُّ مَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوبِ. يَا عَمْرُو، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ يَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهُ مِنَ الذُّنُوبِ
“Wahai ‘Amr, tahukah engkau bahwa hijrah itu menghapus dosa-dosa yang sebelumnya? Wahai ‘Amr, tahukah engkau bahwa Islam itu menghapus dosa-dosa yang terjadi sebelumnya?”
Tobat Orang Mukmin yang Bermaksiat
Terjadi silang pendapat tentang apakah Allah ﷻ menerima tobat pelaku maksiat. Perbedaan itu berujung apda firman Allah ﷻ:
وَهُوَ الَّذِيْ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِه وَيَعْفُوْا عَنِ السَّيِّاٰتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَۙ ٢٥
Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya, memaafkan kesalahan-kesalahan, mengetahui apa yang kamu kerjakan,
(QS. asy-Syura[42]: 25)
Imam al-Haramain dan al-Qadhi memahami ayat tersebut dengan arti: Allah ﷻ belum tentu menerima tobat orang Islam. Sebaliknya, Imam al-Asy’ari menjelaskan dari ayat tersebut, Allah ﷻ pasti menerima tobat orang Islam dari maksiat.





