Dalil Kesunahan Puasa Rajab ala Aswaja

- Penulis

Sabtu, 20 Desember 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Mustaqim.NETMengingat Senin ini kita sudah memasuki bulan Rajab, alangkah afdalnya bila kita menyimak anjuran dan dalil kesunahan bulan Rajab. Terlebih banyak konten-konten bermunculan, yang menafikan kesunahan puasa Rajab, bahkan mengampanyekan bahwa hal itu bidah.

Pararabu sebagai sosok yang bermanhaj Ahlusunah Waljamaah, maka semestinya harus bermazhab mengikuti ulama mazhab. Dalam kitab yang biasa kita pelajari di pesantren, Al-Iqna’ karya Imam al-Mawardi tersebutkan:

وَيُسْتَحَبُّ صِيَامُ شَهْرِ اللهِ الْأَصَمِّ وَهُوَ رَجَبٌ

“Disunahkan berpuasa di bulan Allah ﷻ, yaitu bulan Rajab.”

Dalam mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i semua sepakat akan kesunahan puasa Rajab. Selaras dengan penjabaran dalam al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (1/895):

يُنْدَبُ صَوْمُ شَهْرِ رَجَبَ وَشَعْبَانَ بِاتِّفَاقِ ثَلَاثَةٍ مِنَ الْأَئِمَّةِ، وَخَالَفَ الْحَنَابِلَةُ. (الْحَنَابِلَةُ قَالُوا: إِفْرَادُ رَجَبَ بِالصَّوْمِ مَكْرُوهٌ، إِلَّا إِذَا أَفْطَرَ فِي أَثْنَائِهِ فَلَا يُكْرَهُ)

“Disunnahkan puasa bulan Rajab dan Sya’ban berdasarkan kesepakatan tiga Imam (Hanafi, Maliki, dan Syafi’i), sedangkan Madzhab Hanbali berbeda pendapat. (Ulama Hanbali berkata: Mengkhususkan bulan Rajab untuk berpuasa [secara penuh] hukumnya makruh, kecuali jika ia berbuka/tidak berpuasa di tengah-tengah bulan tersebut, maka hukumnya tidak makruh).”

Dalam kitab al-Inshaf karya Imam al-Mardawi (5/500), yang memberikan detail lebih dalam mengenai diskursus internal di dalam Mazhab Hanbal terkait puasa Rajab memaparkan sebagaimana berikut:

قَالَ فِي الْفُرُوعِ: لَمْ يَذْكُرْ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ اسْتِحْبَابَ صَوْمِ رَجَبٍ وَشَعْبَانَ. وَاسْتَحْسَنَهُ ابْنُ أَبِي مُوسَى فِي الْإِرْشَادِ. قَالَ ابْنُ الْجَوْزِيِّ فِي كِتَابِ أَسْبَابِ الْهِدَايَةِ: يُسْتَحَبُّ صَوْمُ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ وَشَعْبَانَ كُلِّهِ، وَهُوَ ظَاهِرُ مَا ذَكَرَهُ الْمَجْدُ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ.

“Penulis kitab al-Furu’ (Ibnu Muflih) berkata: ‘Kebanyakan sahabat (ulama mazhab Hanbali) tidak menyebutkan tentang kesunahan puasa Rajab dan Sya’ban. Namun, Ibnu Abi Musa dalam kitab al-Irsyad menganggapnya sebagai hal yang baik (dianjurkan)’. Ibnu al-Jauzi berkata dalam kitab Asbab al-Hidayah: ‘Disunahkan berpuasa di bulan-bulan haram dan bulan Sya’ban seluruhnya’. Dan hal ini sesuai dengan apa yang nampak dari penjelasan Al-Majd mengenai bulan-bulan haram.”

Hadis yang melatar belakangi pendapat kesunahan puasa Rajab, antara lain penjelasan Rasulullah ﷺ terkait puasa bulan Sya’ban, yang kemudian menunjukkan bahwa Rajab juga sunah berpuasa. Dalam Sunan al-Nasa’i (4/201):

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: “ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبَ وَرَمَضَانَ”.

“Dari Usamah bin Zaid, ia berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa di bulan-bulan lain sebanyak engkau berpuasa di bulan Sya’ban.’ Beliau bersabda: ‘Itu adalah bulan yang sering dilalaikan manusia, letaknya di antara bulan Rajab dan Ramadan’.”

Beliau menjelaskan bahwa pada bulan Sya’ban banyak yang lalai berpuasa karena letak bulan tersebut antara Rajab dan Ramadan. Kita tahu, Ramadan wajib berpuasa. Rajab, tentu sunah berpuasa.

Dalam Sahih Muslim (1060) pun tersebutkan:

قَالَ (عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ): سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ، وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِي رَجَبٍ، فَقَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُولُ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ.

“Utsman bin Hakim berkata, ‘Aku bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab, dan saat itu kami sedang berada di bulan Rajab. Maka ia menjawab: ‘Aku mendengar Ibnu Abbas RA berkata: Dahulu Rasulullah ﷺ berpuasa hingga kami mengatakan beliau tidak pernah berbuka (puasa terus), dan beliau berbuka (tidak puasa) hingga kami mengatakan beliau selalu tidak berpuasa’.”

Imam an-Nawawi memahami hadis tersebut dan mengaitkannya dengan anjuran puasa asyhuril-hurum yang bulan Rajab pun termasuk di dalamnya.

الظَّاهِرُ أَنَّ مُرَادَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ بِهَذَا الِاسْتِدْلَالِ أَنَّهُ لَا نَهْيَ عَنْهُ وَلَا نَدْبَ فِيهِ لِعَيْنِهِ، بَلْ لَهُ حُكْمُ بَاقِي الشُّهُورِ. وَلَمْ يَثْبُتْ فِي صَوْمِ رَجَبٍ نَهْيٌ وَلَا نَدْبٌ لِعَيْنِهِ، وَلَكِنَّ أَصْلَ الصَّوْمِ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ، وَفِي سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَدَبَ إِلَى الصَّوْمِ مِنَ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ وَرَجَبٌ أَحَدُهَا، وَاللهُ أَعْلَمُ.

“Yang nampak secara lahiriah, bahwa maksud Sa’id bin Jubair dengan pendalilan ini adalah: Bahwa tidak ada larangan untuk berpuasa di bulan Rajab, dan tidak ada pula kesunahan khusus karena zat bulan itu sendiri, melainkan ia memiliki hukum yang sama dengan bulan-bulan lainnya. Tidak ada ketetapan yang shahih mengenai larangan maupun kesunnahan puasa Rajab karena alasan zat (kekhususan) bulan tersebut. Akan tetapi, pada dasarnya ibadah puasa adalah hal yang dianjurkan (mandub). Dan dalam Sunan Abi Dawud disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ menganjurkan berpuasa di bulan-bulan haram (al-ashhur al-hurum), sedangkan Rajab adalah salah satunya. Wallahu a’lam.”

Adapun dalam Sunan Abi Dawud (2/322) yang beliau maksud adalah sebagaimana berikut:

عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ: أَتَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالَتُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ أَمَا تَعْرِفُنِي؟ قَالَ: “وَمَنْ أَنْتَ؟” قَالَ: أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ. قَالَ: “فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ؟” قَالَ: مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ؟” ثُمَّ قَالَ: “صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ”. قَالَ: زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً. قَالَ: “صُمْ يَوْمَيْنِ”. قَالَ: زِدْنِي. قَالَ: “صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ”. قَالَ: زِدْنِي. قَالَ: “صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ، صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ، صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ”. وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا.

“Dari Mujibah al-Bahiliyyah, dari ayahnya atau pamannya, bahwa ia mendatangi Rasulullah ﷺ, kemudian pergi dan datang lagi setahun kemudian dalam keadaan fisik dan penampilan yang telah berubah. Ia bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak mengenalku?’ Beliau menjawab: ‘Siapa engkau?’ Ia berkata: ‘Aku al-Bahili yang mendatangimu tahun lalu.’ Beliau bertanya: ‘Apa yang membuatmu berubah, padahal dulu penampilanmu bagus?’ Ia menjawab: ‘Aku tidak makan makanan kecuali di malam hari sejak aku berpisah denganmu (puasa terus-menerus).’ Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Mengapa engkau menyiksa dirimu sendiri?’ Kemudian beliau bersabda: ‘Berpuasalah di bulan sabar (Ramadan) dan satu hari setiap bulan.’ Ia berkata: ‘Tambahlah untukku, karena aku masih kuat.’ Beliau bersabda: ‘Berpuasalah dua hari.’ Ia berkata: ‘Tambahlah lagi.’ Beliau bersabda: ‘Berpuasalah tiga hari.’ Ia berkata: ‘Tambahlah lagi.’ Beliau bersabda: ‘Berpuasalah di bulan-bulan haram dan tinggalkanlah (berbuka), berpuasalah di bulan-bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan-bulan haram dan tinggalkanlah.’ Beliau memberi isyarat dengan tiga jarinya, menggenggamnya lalu melepaskannya.”

Dari sana sangat jelas anjuran Rasulullah ﷺ untuk berpuasa pada bulan mulia (asyhuril-hurum), yang tentu termasuk pula bulan Rajab. Selain itu, Imam an-Nawawi memahami hadis tersebut dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439) sebagaimana berikut:

قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ} إِنَّمَا أَمَرَهُ بِالتَّرْكِ؛ لِأَنَّهُ كَانَ يَشُقُّ عَلَيْهِ إِكْثَارُ الصَّوْمِ كَمَا ذَكَرَهُ فِي أَوَّلِ الْحَدِيثِ. فَأَمَّا مَنْ لَمْ يَشُقَّ عَلَيْهِ فَصَوْمُ جَمِيعِهَا فَضِيلَةٌ.

“Sabda Nabi ﷺ, ‘Berpuasalah di bulan mulia dan tinggalkanlah’, sesungguhnya beliau memerintahkannya untuk meninggalkan (berbuka sebagian hari) karena memberatkan baginya jika memperbanyak puasa, sebagaimana disebutkan di awal hadis. Adapun bagi orang yang tidak merasa berat, maka berpuasa di seluruh hari bulan-bulan haram tersebut adalah sebuah keutamaan.”

Berita Terkait

Hukum Istri Lebih Memilih Orangtua daripada Suami
Prinsip Mu’asyarah bil Ma’ruf Beserta Contohnya
Apa Fungsi Utama Masjid pada Zaman Rasulullah ﷺ?
Lengkap: Ketentuan, Hukum, dan Hikmah Pelaksanaan Akikah
Dalil Rukyat Hilal Tiap Bulan
Daftar Lengkap Halal-Haram Binatang ala Mazhab Syafi’i
Hubungan Syariat, Tarekat, dan Hakikat
Hukum Menyentuh Anjing dalam Keadaan Kering
Berita ini 20 kali dibaca
Tag :

Berita Terbaru

Fikih

Dalil Kesunahan Puasa Rajab ala Aswaja

Sabtu, 20 Des 2025 - 23:41 WIB

Akhlak

Syair Arab al-Ummu Madrasatul Ula

Rabu, 17 Des 2025 - 07:07 WIB

hadits tentang ayah dan anak perempuan

Hadis

Hadits Tentang Ayah dan Anak Perempuan

Sabtu, 6 Des 2025 - 01:36 WIB

Fikih

Hukum Istri Lebih Memilih Orangtua daripada Suami

Kamis, 4 Des 2025 - 20:19 WIB

Akidah

Malaikat Pencatat Amal

Selasa, 2 Des 2025 - 22:19 WIB