Hukum Donor Ginjal dan Anggota Tubuh yang Lain

- Penulis

Minggu, 9 Februari 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kerangka Analisi Masalah

Sebagai organ vital, keberadaan ginjal sangat penting bagi manusia. Fungsi ginjal sangat kompleks, sebagai salah satu organ pembersih darah dari racun-racun hasil metabolisme tubuh melalui urine. Namun, jumlah penderita gangguan ginjal kronik di Indonesia tergolong tinggi.

Jumlah penderita penyakit ginjal kronik (PGK) maupun penderita gangguan ginjal tahap akhir (GGTA) datanya belum pasti. Menurut  Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) melalui Indonesian Renal Registry (IRR) diperkirakan ada sekitar 25 ribu pasien penyakit ginjal baru setiap tahunnya. Sebanyak 120 ribu pasien GGTA masih membutuhkan transplantasi. Namun, baru sekitar 12 ribu pasien yang mendapatkan pendonor yang cocok dan melakukan dialisis.

Ahli penyakit dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr. Tunggul D Situmeang, SpPD jumlah tersebut pun terus naik, seiring dengan banyaknya pasien yang dibiayai oleh BPJS. Hal ini juga membuat beban pemerintah untuk membiayai dialisis tersebut menempati urutan kedua terbesar, dari tiga jenis penyakit degeneratif yang membutuhkan dana besar dari BPJS. 

“Karena jumlah penderita penyakit ginjal cukup banyak di Indonesia, jelas ginjal merupakan organ yang paling banyak dicari. Selain itu, ginjal juga merupakan organ manusia yang paling sering rusak. Maka dari itu, jual beli organ ginjal marak beredar di negeri ini,” katanya pada acara diskusi peran profesi penyakit dalam pada penyakit ginjal di Jakarta, Rabu (3/2). Selain itu menurut Tunggul, transplantasi ginjal sejatinya membutuhkan proses panjang dan matang. Hal itu tidak boleh sembarang melakukan transplantasi. Pendonor maupun penerima donor ginjal harus melakukan pemeriksaan kesehatan yang kompleks. 

Di Indonesia biaya untuk melakukan transplantasi ginjal ini sangatlah mahal sehingga banyak sekali orang yang melakukan segala cara guna mendapatkan donor ginjal yang tepat. Termasuk orang yang sengaja menjual ginjalnya, demi kepentingan pribadi semata. “Maraknya jual beli ginjal yang ilegal di Indonesia erat kaitannya dengan kesenjangan sosial. Kalau di dunia kedokteran sendiri tiada maaf bagi penjual ginjal. Kecuali bentuknya mendonorkan, bukan di jual,” kata dia.

Harga organ tubuh seperti ginjal yang dibutuhkan oleh penderita penyakit ginjal stadium akhir harganya bervariasi, dari jutaan hingga miliaran rupiah. Sangat terbatasnya jumlah pendonor legal dan juga mahalnya organ tubuh ginjal membuat sebagian orang mencari alternative lain, yaitu pasar gelap. Seperti yang telah terungkap akhir-akhir ini.

Di negara berkembang seperti Indonesia, menjadi tempat makelar beraksi untuk mencari orang yang bersedia menjual ginjalnya. Bermacam alasan orang menjual ginjalnya. Bahkan ada yang rela menjual ginjalnya untuk membeli iPhone, iPad, HP dan playstation. Namun tidak sedikit orang yang mengambil jalan pintas menjual satu ginjalnya disebabkan kebutuhan ekonomi yang mendesak .    

Seperti yang telah disinggung di atas bahwa, tidak semua orang bisa bebas mendonorkan ginjal atau organ tubuh lainnya apalagi memperjualbelikannya. Jika pun harus mendonorkan salah satu organ tubuh kita karena alasan medis atau kemanusiaan, tentu ada prosedurnya dan tidak sembarangan. Prosedur ini pun dilindungi produk hukum yang mengatur tentang kesehatan dan etika kerja tenaga medis (Kode Etik Kedokteran). Dalam hal hukum tertulis, negara mengatur antara lain melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya pasal 64 ayat 3 yang menyebutkan, organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apa pun. Jika melanggar aturan hukum ini, pelaku bisa diancam pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar (pasal 192 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009).

Secara medis hidup dengan memiliki satu ginjal tidak ada masalah. Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Hasan Sadikin, Nucki Nursjamsi Hidajat, menjelaskan tak ada dampak bagi pendonor satu ginjal kepada pasien yang membutuhkan. Menurut dia, setiap manusia tetap bisa hidup normal meski hanya memiliki satu ginjal.

Lain dari pada itu pemerintah memilah mana yang di sebut legal dan mana yang ilegal. Seperti yang diungkapkan Menkes Nila F Moeloek setelah berdiskusi dengan Bareskrim terkait transplantasi ginjal beberapa waktu yang lalu. Nila menegaskan, transplantasi ginjal legal asalkan sesuai aturan. “Kami memilah yang disebut legal dan ilegal. Yang legal adalah tindakan kesehatan. Bagaimanapun juga kita menolong untuk kehidupan manusia. tapi kan ada tentu syarat-syaratnya dari masalah ini. Dari keluarga mau memberikan, iya. Terus kami tentu akan melanjutkan misalnya untuk jadi pendonor. Ini semua ada SOP-nya,” tegas dia. Namun soal transplantasi ginjal yang tengah disidik Polri, Nila memastikan itu ilegal bila ada jual beli. “Kalau ini semua menurut SOP ya kami legal. Tetapi kalau di luar itu ada yang jual beli, itu ilegal,” tutup dia. Hal senada juga diungkapkan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, “Jadi kalau seseorang misalnya mendonorkan ginjalnya ke Si A, Si B, itu langsung tidak ada masalah walaupun dikasih dana untuk perawatan kesehatan sah-sah saja boleh-boleh saja,” ucap Badrodin di Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (10/2/2016). (REPUBLIKA.CO.ID, TRIBUNNEWS.COM, DETIK.COM dan berbagai sumber. )

Pertanyaan:

Rumusan

  1. Bagaimanakah sebenarnya fiqih menyikapi pendonoran dan penjualan ginjal dengan berbagai motif yang melatarr belakangi ?

Jawaban

Para ulama’ mutaqaddimin tidak membolehkan pendonoran ginjal untuk orang lain.

Sedangkan di kalangan ulama’ mutaakhkhirin, terdapat perbedaan pendapat.

Menurut keputusan Fatawa Azhar, didukung pula oleh Syaikh Ramadlan Al Buthi, diperbolehkan pendonoran ginjal dari seseorang yang hidup atau telah meninggal, dengan mempertimbangkan syarat-syarat sebagai berikut:

  • Keadaan darurat pada calon penerima donor, dengan adanya penyakit yang sangat parah, bahkan berujung kematian
  • Tidak adanya dampak negatif yang signifikan pada pendonor setelah salah satu ginjalnya diambil, berdasarkan rekomendasi dokter yang ahli dan terpercaya
  • Atas seizin pendonor yang masih hidup, atau ahli waris pendonor yang telah meninggal.
  • Proses operasi / transplantasi dilakukan oleh tim dokter yang ahli dan terpercaya
  • Pendonoran ginjal adalah bentuk ta’awun / tabarru’ (tolong menolong), sehingga tidak boleh dibungkus dalam media kesepakatan jual beli. Hanya saja jika pihak pendonor mengungkapkan rasa terima kasihnya dalam bentuk pemberian kompensasi, maka hal tersebut diperbolehkan.

Sedangkan Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi tidak memperbolehkan pendonoran ginjal

  • Bagaimana dengan hasil uang yang didapat dari penjualan ginjalnya tersebut ?

Haram. Hanya saja, pendonor boleh memanfaatkan kompensasi dari pendonoran ginjal,

  • Bagaimana pula membeli ginjal baik legal atau ilegal ?

Tidak boleh, kecuali dalam keadaan darurat

  • Bolehkah ginjal wanita didonorkan untuk laki-laki yang bukan mahrom atau sebaliknya ?

Boleh.

Ibarot

تحفة الحبيب على شرح الخطيب ـ مشكول – (4 / 51)

ولو وصل عظمه لحاجة بنجس من عظم لا يصلح للوصل غيره عذر في ذلك ، فتصح صلاته معه ، ولا يلزمه نزعه إذا وجد الطاهر كما في الروضة كأصلها ، فإن لم يحتج لوصله أو وجد صالحا غيره من غير الآدمي وجب عليه نزعه إن أمن من نزعه ضررا يبيح التيمم ولم يمت ، ومثل الوصل بالعظم فيما ذكر الوشم ففيه التفصيل المذكور

تحفة الحبيب على شرح الخطيب ـ مشكول – (4 / 54)

قوله : ( من غير الآدمي ) فإن لم يصلح إلا عظم الآدمي قدم عظم الحربي كالمرتد ثم الذمي ثم المسلم .

الفقه الإسلامي وأدلته – (7 / 126)

القَرارَات وَالتوصيَات الدَّورَة الرابعة لمجلس مجْمع الفقه الإسلامي جدة: 18 – 23 جمادى الآخرة 1408 هـ/ 6-11 فبراير 1988م . القرارات .بسم الله الرحمن الرحيم . الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيدنا محمد خاتم النبيين وعلى آله وصحبه . قرار رقم (1) بشأن انتفاع الإنسان بأعضاء جسم إنسان آخر حياً كانَ أو ميتاً . إن مجلس مجمع الفقه الإسلامي المنعقد في دورة مؤتمره الرابع بجدة في المملكة العربية السعودية من 18-23 جمادى الآخرة 1408 هـ، الموافق 6-11 فبراير 1988 م. بعد اطلاعه على الأبحاث الفقهية والطبية الواردة إلى المجمع بخصوص موضوع «انتفاع الإنسان بأعضاء جسم إنسان آخر حياً أو ميتاً» . وفي ضوء المناقشات التي وجهت الأنظار إلى أن هذا الموضوع أمر واقع فرضه التقدم العلمي والطبي، وظهرت نتائجه الإيجابية المفيدة والمشوبة في كثير من الأحيان بالأضرار النفسية والاجتماعية الناجمة عن ممارسته دون الضوابط والقيود الشرعية التي تصان بها كرامة الإنسان، ومع مراعاة مقاصد الشريعة الإسلامية الكفيلة بتحقيق كل ما هو خير ومصلحة غالبة للفرد والجماعة، والداعية إلى التعاون والتراحم والإيثار. وبعد حصر هذا الموضوع في النقاط التي يتحرر فيها محل البحث وتنضبط تقسيماته وصوره وحالاته التي يختلف الحكم تبعاً لها. قرر ما يلي:

من حيث التعريف والتقسيم :

أولاً: يقصد هنا بالعضو: أي جزء من الإنسان، من أنسجة وخلايا ودماء ونحوها، كقرنية العين، سواء أكان متصلاً به، أم انفصل عنه.

ثانياً : الانتفاع الذي هو محل البحث، هو استفادة دعت إلىها ضرورة المستفيد لاستبقاء أصل الحياة، أو المحافظة على وظيفة أساسية من وظائف الجسم كالبصر ونحوه.

على أن يكون المستفيد يتمتع بحياة محترمة شرعاً.

ثالثاً : تنقسم صور الانتفاع هذه إلى الأقسام التالية:

1 – نقل العضو من حي

2 – نقل العضو من ميت

3- النقل من الأجنّة

الصورة الأولى: وهي نقل العضو من حي، تشمل الحالات التالية: أ ـ نقل العضو من مكان من الجسد إلى مكان آخر من الجسد نفسه، كنقل الجلد والغضاريف والعظام والأوردة والدم ونحوها. ب ـ نقل العضو من جسم إنسان حي إلى جسم إنسان آخر.وينقسم العضو في هذه الحالة إلى ما تتوقف عليه الحياة وما لا تتوقف عليه. أما ما تتوقف عليه الحياة، فقد يكون فردياً، وقد يكون غير فردي، فالأول كالقلب والكبد، والثاني كالكلية والرئتين. وأما ما لا تتوقف عليه الحياة، فمنه ما يقوم بوظيفة أساسية في الجسم ومنه ما لا يقوم بها. ومنه ما يتجدد تلقائياً كالدم، ومنه ما لا يتجدد، ومنه ما له تأثير على الأنساب والموروثات، والشخصية العامة، كالخصية والمبيض وخلايا الجهاز العصبي، ومنه ما لا تأثير له على شيء من ذلك.

الصورة الثانية: وهي نقل العضو من ميت : ويلاحظ أن الموت يشمل حالتين: الحالة الأولى: موت الدماغ بتعطل جميع وظائفه تعطلاً نهائياً لا رجعة فيه طبياً.

الحالة الثانية: توقف القلب والتنفس معاً توقفاً تاماً لا رجعة فيه طبياً.

فقد روعي في كلتا الحالتين قرار المجمع في دورته الثالثة.

الصورة الثالثة: وهي النقل من الأجنة، وتتم الاستفادة منها في ثلاث حالات :

حالة الأجنة التي تسقط تلقائياً.

حالة الأجنة التي تسقط لعامل طبي أو جنائي.

حالة «اللقائح المستنبتة خارج الرحم» . من حيث الأحكام الشرعية :

أولاً: يجوز نقل العضو من مكان من جسم الإنسان إلى مكان آخر من جسمه، مع مراعاة التأكد من أن النفع المتوقع من هذه العملية أرجح من الضرر المترتب عليها، وبشرط أن يكون ذلك لإيجاد عضو مفقود أو لإعادة شكله أو وظيفته المعهودة له، أو لإصلاح عيب أو إزالة دمامة تسبب للشخص أذى نفسياً أو عضوياً. ثانياً : يجوز نقل العضو من جسم إنسان إلى جسم إنسان آخر، إن كان هذا العضو يتجدد تلقائياً، كالدم والجلد، ويراعى في ذلك اشتراط كون الباذل كامل الأهلية، وتحقق الشروط الشرعية المعتبرة. ثالثاً : تجوز الاستفادة من جزء من العضو الذي استؤصل من الجسم لعلة مرضية لشخص آخر، كأخذ قرنية العين لإنسان ما عند استئصال العين لعلة مرضية. رابعاً : يحرم نقل عضو تتوقف عليه الحياة كالقلب من إنسان حي إلى إنسان آخر. خامساً : يحرم نقل عضو من إنسان حي يعطل زواله وظيفة أساسية في حياته وإن لم تتوقف سلامة أصل الحياة عليها كنقل قرنية العينين كلتيهما، أما إن كان النقل يعطل جزءاً من وظيفة أساسية فهو محل بحث ونظر كما يأتي في الفقرة الثامنة. سادساً : يجوز نقل عضو من ميت إلى حي تتوقف حياته على ذلك العضو، أو تتوقف سلامة وظيفة أساسية فيه على ذلك. بشرط أن يأذن الميت أو ورثته بعد موته، أو بشرط موافقة وليّ المسلمين إن كان المتوفى مجهول الهوية أو لا ورثة له. سابعاً : وينبغي ملاحظة أن الاتفاق على جواز نقل العضو في الحالات التي تم بيانها، مشروط بأن لا يتم ذلك بوساطة بيع العضو. إذ لا يجوز إخضاع أعضاء الإنسان للبيع بحال ما. أما بذل المال من المستفيد، ابتغاء الحصول على العضو المطلوب عند الضرورة أو مكافأة وتكريماً، فمحل اجتهاد ونظر. ثامناً : كل ما عدا الحالات والصور المذكورة، مما يدخل في أصل الموضوع، فهو محل بحث ونظر، ويجب طرحه للدراسة والبحث في دورة قادمة، على ضوء المعطيات الطبية والأحكام الشرعية. والله أعلم قرار رقم (2) بشأن

فتاوي الازهر –(7 \356)

فاذا جزم طبيب مسلم ذو حبرة او غير مسلم كما هو مذهب الامام مالك بان شق اي جز ء من جسم الانسان الحي باذنه واخذ عضو منه او بعضه لنقله الى جسم انسان حي اخر لعلاجه اذا جزم ان هذا لا يضر بالماخوذ منه اصلا اذ الضرر لا يزال بالضرر ويفيد المنقول اليه جاز هذا شرعا بشرط الا يكون الجزء المنفول على سبيل البيع او بمقابل , لان بيع الانسان او بعضه باطل شرعا.

فتاوى الأزهر – (10 / 154)

هل يجوز نقل عضو من شخص إلى آخر ؟

اختلفت آراء الفقهاء ورجال القانون فى هذا الموضوع ، وبعد استعراض أدلتهم وما جاء فى كتب الفقه نرى ما يأتى :

أولا : إذا كان المنقول منه ميتا ، فإن كان قد أوصى أو أذن قبل وفاته بهذا النقل فلا مانع من ذلك حيث لا يوجد دليل يعتمد عليه فى التحريم وكرامة أجزاء الميت لا تمنع من انتفاع الحى بها ، تقديما للأهم على المهم ، والضرورات تبيح المحظورات كما هو مقرر .

وإن لم يوص أو لم يأذن قبل موته ، فإن أذن أولياؤه جاز ، وإن لم يأذنوا : قيل بالمنع وقيل بالجواز ، ولا شك أن الضرورة فى إنقاذ الحى تبيح المحظور . وهذا النقل لا يصار إليه إلا للضرورة .

ثانيا : إذا كان المنقول منه حيا ، فإن كان الجزء المنقول يفضى إلى موته مثل القلب كان النقل حراما مطلقا ، أى سواء أذن فيه أم لم يأذن ، لأنه إن أذن كان انتحارا ، وإن لم يأذن كان قتلا لنفس بغير حق ، وكلاهما محرم كما هو معروف .

وإن لم يكن الجزء المنقول مفضيا إلى موته ، على معنى أنه يمكن أن يعيش بدونه فينظر : إن كان فيه تعطيل له عن واجب ، أو إعانة على محرَّم كان حراما ، وذلك كاليدين معا أو الرجلين معا ، بحيث يعجز عن كسب عيشه أو يسلك سبلا غير مشروعة وفى هذه الحالة يستوى فى الحرمة الإذن وعدم الإذن .

وإن لم يكن فيه ذلك كنقل إحدى الكليتين أو العينين أو الأسنان أو بعض الدم ، فإن كان النقل بغير إذنه حرم ، ووجب فيه العوض ، على ما هو مفصل فى كتب الفقه فى الجناية على النفس والأعضاء ، وإن كان بإذنه قال جماعة بالتحريم ، واحتج بعضهم عليه بكرامة الآدمى التى تتنافى مع انتفاع الغير بأجزائه ، وبأن ما يقطع منه يجب دفنه .

يقول النووى فى حرمة وصل الشعر بشعر الآدمى : لأنه يحرم الانتفاع بشعر الآدمى وسائر أجزائه لكرامته ، بل يدفن شعره وظفره وسائر أجزائه (المجموع ج 3 ص 149 ، شرح مسلم ج 14 ص 103) . ويمكن الرد على ذلك بأن وصل الشعر بالشعر مختلف فى حرمته إذا كان لغير الغش والتدليس أو الفتنة . وبأن وجوب دفنه ليس عليه دليل صحيح . قال ابن حجر : وفى حديث جواز إبقاء الشعر وعدم وجوب دفنه (فتح البارى ج 12 ص 497 ) ، وبأن الضرورات تبيح المحظورات .

واحتج بعض هؤلاء المحرمين أيضا بأن جسم الإنسان ليس ملكا له فلا يجوز التصرف فيه . وهذا كلام غير محرر ، وليس عليه دليل مسلم فإن الذى لا يملكه الإنسان هو حياته وروحه ، فلا يجوز الانتحار ولا إلقاء النفس فى التهلكة إلا للضرورة القصوى وهى الجهاد والدفاع عن النفس فقد أمر به الإسلام ، أما الإنسان من حيث أجزاؤه المادية فهو مالكها ، له أن يتصرف فيها بما لا يضره ضررا لا يحتمل ، فالإسلام لا ضرر فيه ولا ضرار .

هذا هو ملخص الحكم فى الموضوع . على أن الحكم فى بقاء الجسم وعدمه بعد نقل العضو منه يرجع فيه إلى الثقات المختصين .

وعلى أن يكون هناك يقين أو ظن غالب بانتفاع المنقول إليه بهذه الأجزاء ، وإلا كان النقل عبثا وإيلاما لغير حاجة ، ونحن نعلم أن .

بعض الأجسام ترفض الأجزاء المنقولة إليها ، ويحاول العلم أن يتغلب على هذا الرفض ، بالمنع أو الحد منه .

وإذا كنا نختار جواز النقل للأعضاء فهل يجوز أن يؤخذ عوض للعضو المنقول ؟ يرى جماعة عدم جوازه ، محتجين بحرمة بيع الآدمى الحر ، كله أو بعضه ، لحديث ” قال اللّه تعالى : ثلاثة أنا خصمهم يوم القيامة ، ومن كنت خصمه خصمته : رجل أعطى بى ثم غدر ، ورجل باع حرا وأكل ثمنه ، ورجل استأجر أجيرا فاستوفى ولم يوفه ” (رواه البخارى وغيره) ويرى آخرون جواز أخذ العوض كثمن أو هبة ، قياسا على بيع المرضع لبنها ، ولعدم ورود دليل يحرمه ، والحديث المذكور هو للنهى عن ضرب الرق على غير الرقيق والاتجار فيه بالبيع كما كان يحصل فى الجاهلية من خطف الأحرار وبيعهم . وهل لو كان المنقول منه عبدا وباع عضوا منه لآخر هل يأخذ سيده ثمنه بناء على أنه يملك رقبته ؟ والحديث فى بيع الحر وليس فى بيع العبد ، كما أن الذى يأكَل ثمن الحر هو من اعتبده وباعه وليس هو الحر نفسه الذى يأكل ثمنه ، فالاستدلال بالحديث المذكور غير مسلم .

ومهما يكن من شىء فإن الأفضل عدم المساومة على العضو المنقول ، فإن إنقاذ حياة المحتاج إليه لا يعدله أى عوض ، لكن لا مانع من قبول الهدية التى تعطى بسخاء نفس دون شروط سابق (الإسلام ومشاكل الحياة ص 21 )

حاشية الجمل الجزء الأول ص :418

(ولو وصل عظمه) بقيد زدته بقولي (لحاجة) إلى وصله (بنجس) من عظم (لا يصلح) للوصل (غيره) هو أولى من قوله لفقد الطاهر (عذر) في ذلك فتصح صلاته معه قال في الروضة كأصلها ولا يلزمه نزعه إذا وجد الطاهر قال السبكي تبعا للإمام وغيره إلا إذا لم يخف من النزع ضررا (وإلا) بأن لم يحتج أو وجد صالحا غيره من غير آدمي (وجب) عليه (نزعه) أي النجس وإن اكتسى لحما (إن أمن) من نزعه (ضررا يبيح التيمم ولم يمت) لحمله نجسا تعدى بحمله

(قوله من غير آدمي) وأما الآدمي فوجوده حينئذ كالعدم ولو غير محترم كمرتد وحربي فيحرم الوصل به ويجب نزعه فلو وجد عظما يصلح وعظم آدمي كذلك وجب تقديم النجس ولو من مغلظ وكلام الشارح كما ترى يفيد امتناع الجبر بعظم الآدمي مع وجود الصالح من غيره ولو نجسا ويبقى ما لو لم يوجد صالح غيره فيحتمل جواز الجبر بعظم الآدمي الميت كما يجوز للمضطر أكل الميتة وإن لم يخش إلا مبيح التيمم فقط وقد يفرق ببقاء العظم هنا فالامتهان دائم ا هـ ح ل وينبغي أن محل الامتناع بعظم نفسه إذا أراد نقله إلى غير محله أما إذا وصل عظم يده مثلا في المحل الذي أبين منه فالظاهر الجواز ; لأنه إصلاح للمنفصل منه ولمحله ويكون هذا مثل رد عين قتادة في أنه قصد به إصلاح ما خرج من عين قتادة فرده إلى محله وبهذا فارق ما لو نقله إلى غير موضعه بانفصاله حصل له احترام وطلبت مواراته

شرح الياقوت النفيس صحـ 504

حصل جدل بين علماء العصر الحاضر حول تبرع الإنسان بعضو من أعضائه في حياته أو بعد مماته وهل يجوز لورثة الميت أن يهبوا عضوا من ميتهم إذا كان فيه مصلحة لشخص مريض وقسموا صور الانتفاع هذه إلى ثلاثة 1- نقل العضو من حي 2- نقل العضو من ميت 3- نقل من الأجنة والخلاصة أن الفريقين متفقان على تحريم بيع العضو وأجاز فريق نقل العضو تبرعا بشروط منها 1- ضرورة النقل وتوقف الحياة عليه 2- أن يصرح الطبيب أو الأطباء الثقات بأن نقل هذا العضو من شخص إلى آخر لا يترتب عليه ضرر بليغ بالشخص المتبرع وإنما يترتب عليه حياة الشخص المتبرع له وإنقاذه من مرض عضال وإذا كان العضو من ميت يشترط سماح الأولياء به مع عدم المثلة -إلى أن قال- لكن الشيخ محمد متولي الشعراوي عارض أقوالهم وأفتى بعدم جواز نقل أعضاء الجسم من شخص لآخر وقال كلنا مجمعون على أنه لا يصح بيعها لكن ما الفرق بين البيع والتبرع إلا أن ذلك تصرف بمقابل وهذا تصرف بغير مقابل فالتصرفان يصدران عن ملكية مقطوع بها فهل نملك أبعاضنا أو لا نملكها ؟ إننا لا نملكها بدليل قوله تعالى في سورة يونس “قل من يرزقكم من السماء والأرض أمن يملك السمع والأبصار” لم يقل وجعل لكم السمع والأبصار إنما قال “أمن يملك السمع والأبصار ومن يخرج الحي من الميت ويخرج الميت من الحي ويدبر الأمر فسيقولون الله” إذن هذه الأعضاء خاصة لله ننتفع بها فقط بعد ذلك يقولون البيع حرام ولكن له أن يتبرع بعد موته أو يتبرع أهله بعد وفاته وكأنهم ورثوا جسده وهو غير مراد في التركة فإذا كان هو لا يملك فإن ورثته أيضا لا يمكن أن يملكوه -إلى أن قال- فأنا إنسان أجتهد قدر

الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 4 / ص 161)

وعلى كل حال ينبغي عدم التوسع في التشريح لمعرفة وظائف الأعضاء وتحقيق الجنايات، والاقتصار على قدر الضرورة أو الحاجة، وتوفير حرمة الإنسان الميت وتكريمه بمواراته وستره وجمع أجزائه وتكفينه وإعادة الجثمان لحالته بالخياطة ونحوها بمجرد الانتهاء من تحقيق الغاية المقصودة. كما يجوز عند الجمهور نقل بعض أعضاء الإنسان لآخر كالقلب والعين والكُلْية إذا تأكد الطبيب المسلم الثقة العدل موت المنقول عنه؛ لأن الحي أفضل من الميت، وتوفير البصر أو الحياة لإنسان نعمة عظمى مطلوبة شرعاً. وإنقاذ الحياة من مرض عضال أو نقص خطير أمر جائز للضرورة، والضرورات تبيح المحظورات، ولكن لا يقبل بيع هذه الأعضاء بحال، كما لا يجوز بيع الدم، وإنما يجوز التبرع بدفع عوض مالي على سبيل الهبة أو المكافأة عند نقل العضو أو التبرع بالدم في حالة التعرض لهلاك أو ضرر بالغ. فإن تحتم دفع العوض ولا يوجد متبرع من الأقارب أو غيرهم، جاز للدافع الدفع للضرورة.

نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج – (4 / 481-482)

(قوله : وعظم غيره ) أي غير الواصل من الآدميين إلخ ، ومفهومه أن عظم نفسه لا يمتنع وصله به ، وإن كان من غير محل الوصل كأن وصل عظم يده بشيء من عظم رجله مثلا ، ونقل عن حج في شرح العباب جواز ذلك نقلا عن البلقيني وغيره . وعبارة ابن عبد الحق : وعظم الآدمي ولو من نفسه في تحريم الوصل به ووجوب نزعه كالنجس انتهى .  وينبغي أن محل الامتناع بعظم نفسه إذا أراد نقله إلى غير محله ، أما إذا وصل عظم يده بيده مثلا في المحل الذي أبين منه فالظاهر الجواز ؛ لأنه إصلاح للمنفصل منه ولمحله ، ويكون هذا مثل رد عين قتادة في أنه قصد به إصلاح ما خرج من عين قتادة برده إلى محله ، وبهذا فارق ما لو نقله إلى غير موضعه ، فإنه بانفصاله حصل له احترام وطلب مواراته ، ثم ظاهر إطلاق جواز الوصل لعظم الآدمي أنه لا فرق في ذلك بين كونه من ذكر أو أنثى ، فيجوز للرجل الوصل بعظم الأنثى وعكسه ، ثم ينبغي إذا مسه هو أو غيره ، فإن اكتسى لحما وحلته الحياة صار حكمه حكم بقية أجزاء الرجل فلا ينتقض وضوءه ولا وضوء غيره من الرجال بمسه ، وإن كان ظاهرا مكشوفا ولم تحله الحياة فهو باق على نسبته للأنثى ، ومع ذلك لا ينتقض وضوءه ووضوء غيره بمسه ؛ لأن العضو المبان لا ينتقض الوضوء بمسه إلا إذا كان من الفرج وأطلق اسمه عليه

Berita Terkait

Dalil Rukyat Hilal Tiap Bulan
Daftar Lengkap Halal-Haram Binatang ala Mazhab Syafi’i
Hubungan Syariat, Tarekat, dan Hakikat
Hukum Menyentuh Anjing dalam Keadaan Kering
Bagaimana Cara Salat Makmum yang Tertinggal Bacaan Al-Fatihahnya Imam?
5 Kriteria Syarat Wajib Berpuasa Ramadan
Hukum Posting Foto Korban Bencana
Vaksin dalam Perspektif Islam
Berita ini 60 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 8 Juli 2024 - 20:08 WIB

Dalil Rukyat Hilal Tiap Bulan

Jumat, 19 Januari 2024 - 22:28 WIB

Hubungan Syariat, Tarekat, dan Hakikat

Kamis, 7 September 2023 - 19:02 WIB

Hukum Menyentuh Anjing dalam Keadaan Kering

Kamis, 7 September 2023 - 05:48 WIB

Bagaimana Cara Salat Makmum yang Tertinggal Bacaan Al-Fatihahnya Imam?

Minggu, 30 April 2023 - 05:16 WIB

5 Kriteria Syarat Wajib Berpuasa Ramadan

Senin, 13 Februari 2023 - 16:38 WIB

Hukum Posting Foto Korban Bencana

Senin, 13 Februari 2023 - 03:03 WIB

Vaksin dalam Perspektif Islam

Minggu, 4 Desember 2022 - 05:12 WIB

Tradisi Maulid di Pasuruan, Jawa Timur

Berita Terbaru

al-Quran

Belajar al-Quran dengan Buku Iqro (Jilid 1-6)

Minggu, 20 Okt 2024 - 23:48 WIB

al-Quran

13+ Syarah Tuhfatul Athfal PDF

Minggu, 20 Okt 2024 - 02:43 WIB

Info

Membeli Ihya Darul Minhaj; Apakah Worth It?

Rabu, 9 Okt 2024 - 05:43 WIB

Akidah

AGAMA & SAINS: Kritik Seputar Istilah Ilmiah

Senin, 9 Sep 2024 - 17:00 WIB

Fikih

Dalil Rukyat Hilal Tiap Bulan

Senin, 8 Jul 2024 - 20:08 WIB