Antara Dusta dan Jujur
اَفْتَرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا اَمْ بِهٖ جِنَّةٌ ۗبَلِ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِالْاٰخِرَةِ فِى الْعَذَابِ وَالضَّلٰلِ الْبَعِيْدِ8⇧✓✼▶
Apakah dia mengada-adakan kebohongan terhadap Allah atau sakit gila?” (Tidak), tetapi orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat itu berada dalam siksaan dan kesesatan yang jauh.
Mengenai ayat tersebut, Imam al-Hafidz mengambil dalil bahwa ada penengah antara jujur dan dusta. Karena orang-orang membagi pengakuan nabi, apakah nabi berdusta atau menyampaikan kabar dalam keadaan gila. Yakni, tidak mungkin kosong dari keduanya. Juga, menyampaikan dalam keadaan gila tidak termasuk berdusta, karena dalam ayat tersebut menjadi dua bagian. Dan juga memberi kabar dalam keadaan gila bukanlah termasuk jujur. Karena orang-orang tidak meyakini hal tersebut. Maka berarti ada penengah antara jujur dan dusta.
Patung dalam Islam
يَعْمَلُوْنَ لَهٗ مَا يَشَاۤءُ مِنْ مَّحَارِيْبَ وَتَمَاثِيْلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُوْرٍ رّٰسِيٰتٍۗ اِعْمَلُوْٓا اٰلَ دَاوٗدَ شُكْرًا ۗوَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ13⇧✓✼▶
Mereka (para jin itu) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.
Sebagian kelompok menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa boleh membuat patung. Namun, pengambilan dalil semacam ini dilarang, lantaran syariat semacam ini sudah dinusakh dalam Islam.
Syukur
Ayat tersebut juga dijadikan dalil perihal kewajiban bersyukur. Juga, dari ayat tersebut bisa disimpulkan bahwa syukur tidak hanya dengan lisan, tetapi bisa dengan perbuatan.
Antara Syukur dan Sabar
فَقَالُوْا رَبَّنَا بٰعِدْ بَيْنَ اَسْفَارِنَا وَظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ فَجَعَلْنٰهُمْ اَحَادِيْثَ وَمَزَّقْنٰهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ19⇧✓✼▶
Maka mereka berkata, “Ya Tuhan kami, jauhkanlah jarak perjalanan kami,” dan (berarti mereka) menzalimi diri mereka sendiri; maka Kami jadikan mereka bahan pembicaraan dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sabar dan bersyukur.
Menggunakan ayat tersebut, Imam asy-Sya’bi mengatakan bahwa kesabaran itu dalam urusan yang buruk. Sedangkan syukur adalah tertentu kepada yang bagus.
Ketika Hendak Menghilangkan Kemungkaran
قُلْ جَاۤءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيْدُ49⇧✓✼▶
Katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.”
Dengan ayat ini, kita disunahkan untuk mengucapkan:
جَاۤءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيْدُ
ketika hendak menghilangkan kemungkaran.
Jika Ragu, Berarti Belum Iman
وَّقَدۡ كَفَرُوۡا بِهٖ مِنۡ قَبۡلُۚ وَيَقۡذِفُوۡنَ بِالۡغَيۡبِ مِنۡ مَّكَانٍۢ بَعِيۡدٍ
Dan sungguh, mereka telah mengingkari Allah sebelum itu; dan mereka mendustakan tentang yang gaib dari tempat yang jauh.
وَحِيۡلَ بَيۡنَهُمۡ وَبَيۡنَ مَا يَشۡتَهُوۡنَ كَمَا فُعِلَ بِاَشۡيَاعِهِمۡ مِّنۡ قَبۡلُؕ اِنَّهُمۡ كَانُوۡا فِىۡ شَكٍّ مُّرِيۡبٍ
Dan diberi penghalang antara mereka dengan apa yang mereka inginkan sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang yang sepaham dengan mereka yang terdahulu. Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) dalam keraguan yang mendalam.
Dan sungguh, mereka telah mengingkari Allah sebelum itu; dan mereka mendustakan tentang yang gaib dari tempat yang jauh.
Dua ayat ini menunjukkan bahwa keragu-raguan (syak) merupakan kekafiran. Ini jelas menentang kepada golongan yang menganggap bahwa keraguan tidak tergolong kafir, dan Allah tidak menyiksa orang yang ragu.