Mustaqim.NET – Tidak asing lagi, bahwa suami sebagai kepala keluarga nafkah suami kepada istri hukumnya wajib. Namun, pertanyaanya, atas dasar apa nafkah wajib? Apa semata-mata disebabkan nikah, atau malah yang lain?
Qaul Syafi’i yang Qadim dengan jelas menyatkan bahwa nafkah wajib lantaran nikah. Namun, berbeda dengan qaul jadid yang terpakai hingga kini, dan dikutip dalam Fathul-Mu’innya bahwa sebenarnya nafkah bukan wajib hanya sekadar akad nikah, tetapi dari pihak istri harus tamkin, alias bersedia untuk digauli dan berpindah tempat sesuai kehendak suami.
Bila si istri sudah mempersilahkan dirinya, maka nafkah suami kepada istri hukumnya wajib. Meski pun suaminya masih anak kecil yang tidak layak untuk menjima’ istrinya. Karena halangan jima’ bukan berasal dari istri melainkan dari suami.
Namun, bila yang masih kecil adalah si istri, yang belum mampu untuk dijima’ maka nafkah suami kepada istri hukumnya tidak wajib. Beda lagi ceritanya kalau si istri tidak mampu dijima’ buakan gara-gara masih terlalu anak-anak, malainkan karena memiliki kekurangan, maka tetap wajib dinafkahi.
Segala kewajiban nafkah, bisa gugur bilamana istri nusyus
Bila suami hendak berpergiaan jauh, istri berhak meminta nafakah.
Untuk wanita yang tertalak raj’i, mantan suami tetap berkewajiban memberi nafkah. Dan hanya bisa gugur, bila mana nusyuz.
Untuk perempuan yang tertolak bain atau khulu’, jika ketepatan sedang hamil, tetap wajib menafkahi. Bila misalnya terlanjur menafkahi, karena menduga istrinya sedang hamil, tapi pada kenyataannya tidak, maka suami berhak menarik kembali.
Bila saya simpulkan, fasilitas untuk istri ada dua macam. Ada yang menjadi hak milik, yaitu nafkah berupa makanan dls yang mana hal itu akan menjadi hutang suami jika tidak memenuhinya. Ada pula yang berupa manfaat pemakaian saja seperti rumah dan semacamnya.