Mustaqim.NET – Pada kali ini, kami akan membahas perihal ikatan antara tasawuf dengan fikih. Karena banyak, seseorang yang mengaku sudah menempuh jalan hakikat, tetapi masih dalam keadaan kadar syariatnya masih nol besar. Begitu pula, banyak yang hanya terpaku kepada fikih, seraya acuh tak acuh terhadap tasawuf.
Untuk itu, titik fokus kami di sini ialah mengomparasikan keduanya. Sehingga dalam diri kita dapat menginstal seraya mengaplikasikan ilmu fikih dan tasawuf dalam diri kita. Baik, saya akan membahas secara rentet perihal fikih dan tasawuf.
Hadis Tentang Korelasi Fikih dan Tasawuf
Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda:
قَالَ: الْعِلْمُ عِلْمَانِ: فَعِلْمٌ فِي الْقَلْبِ فَذَاكَ الْعِلْمُ النَّافِعُ، وَعِلْمٌ عَلَى اللِّسَانِ فَذَلِكَ حُجَّةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى ابْنِ آدَمَ.
“Ilmu ada dua macam. Pertama, ilmu yang ada bersemayam dalam hati. Ilmu itulah yang bermanfaat. Kedua, ilmu yang ada di lisan. Ilmu tersebut yang menjadi hujah Allah untuk umat manusia.
(HR. ad-Darimi)
Mengenai hadis tersebut, Syekh Mulla Ali al-Qari dalam Mirqatul-Mafatih Syarh Misykatul-Mashabih (I/334) mengarahkan ilmu hati kepada ilmu batin, sedangkan ilmu lisan kepada ilmu lahir. Neliau juga menjelaskan keduanya saling berkaitan. Ilmu batin tidak akan baik, tanpa mapan lahirnya. Begitu pula ilmu lahir tidak sempurna tanpa ilmu batin. Beliau mengatakan:
وَقَدْ يُحْمَلُ الْأَوَّلُ عَلَى عِلْمِ الْبَاطِنِ، وَالثَّانِي عَلَى عِلْمِ الظَّاهِرِ، لَكِنْ فِيهِ أَنْ لَا يَتَحَقَّقَ شَيْءٌ مِنْ عِلْمِ الْبَاطِنِ إِلَّا بَعْدَ التَّحَقُّقِ بِإِصْلَاحِ الظَّاهِرِ كَمَا أَنَّ عِلْمَ الظَّاهِرِ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِإِصْلَاحِ الْبَاطِنِ،
“Terkadang yang pertama diarahkan kepada ilmu batin. Ilmu yang kedua diarahkan kepada ilmu lahir. Namun, tidak akan tahqiq ilmu batin, tanpa memperbaiki ilmu lahirnya. Begitu pula ilmu lahir tidak sempurna, tanpa memperbaiki batinnya.”
Selain itu, oleh Syekh Mulla Ali al-Qari, hadis ini juga diarahkan kepada pepatah Imam Malik perihal fikih dan tasawuf yang sudah sangat fenomenal. Kalam hikmah Imam Malik akan saya bahas pada bab selanjutnya.
“Fikih tanpa Tasawuf, Fasik. Tasawuf tanpa Fikih, Zindiq,” Begitu Kata Imam Malik
وَلِذَا قَالَ الْإِمَامُ مَالِكٌ: مَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَمَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ، وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ،
“Oleh karenanya, Imam Malik mengatakan: barang siapa yang berilmu fikih tanpa tasawuf, niscaya orang itu fasik. Barang siapa yang bertasawuf tanpa fikih, niscaya orang tersebut fasik. Barang siapa yang mengumpulkan keduanya, maka orang itu tahqiq.”
Bagi orang pesantren, pepatah tersebut sangat familiar. Namun, terkadang ada yang masih bertanya-tanya, “Ngapain harus mendalami keduanya?! Bukannya, tiap orang memiliki bidangnya masing-masing?!”
Oke, untuk menjawab pertanyaan ini, saya kutip dulu pandangan dari Abu Thalib al-Makki. Beliau megatakan:
قَالَ أَبُو طَالِبٍ الْمَكِّيُّ: هُمَا عِلْمَانِ أَصْلِيَّانِ لَا يَسْتَغْنِي أَحَدُهُمَا عَنِ الْآخَرِ بِمَنْزِلَةِ الْإِسْلَامِ وَالْإِيمَانِ مُرْتَبِطٌ كُلٌّ مِنْهُمَا بِالْآخَرِ، كَالْجِسْمِ وَالْقَلْبِ لَا يَنْفَكُّ أَحَدٌ عَنْ صَاحِبِهِ
“Abu Thalib al-Makki mengatakan: keduanya (fikih dan tasawuf) merupakan dua ilmu yang asal. Keduanya saling membutuhkan satu-sama lain. Layaknya Islam dan iman yang saling berhubungan. Laksana tubuh dan hati yang tidak bisa terlepas.
Saya kira dengan ungkapan dari Abu Thalib al-Makki tersebut sudah cukup untuk menjawab kejanggalan di atas. Karena fikih dan tasawuf layaknya Islam dan iman. Keduanya berbeda. Akan tetapi, apakah keduanya bisa dipisah?! Tentu tidak. Seseorang tidak dikatakan Islam, jika tidak beriman. Begitu pula tidak dikatakan sufi, bila meninggalkan syariat.
Perbedaan Fikih dan Tasawuf
Setelah kita mengetahui kaitan yang sangat erat antara fikih dan tasawuf, saat ini giliran mengetahui perbedaan atara fikih dan tasawuf. Perbedaan ini berdasarkan definisinya:
Definisi Fikih (Syariat)
Kami mengutip definisi fikih (syariat) ala Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari dalam kitab Kifayatul-Atqiya’. Definisinya sebagaimana berikut:
اَلشَّرِيْعَةُ هِيَ المَأْمُوْرَاتُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهَا وَالْمَنْهِيَاتُ الَّتِي نَهَى اللهُ عَنْهَا.
“Syariat adalah perintah-perintah yang Allah swt memerintahkannya, dan larangan-larangan yang Allah melarang untuk melakukannya.”
Definisi Tasawuf
Syekh Murtadha az-Zabidi memberikan takrif tasawuf dengan:
تَطْهِيْرُ الْبَاطِنِ وَالظَّاهِرِ مِنَ الْآثَامِ الخَفِيَّةِ وَالْجَلِيَّةِ مِنْ أَوَائِلِ التَّصَوُّفِ
Menyucikan batin dan lahir dari dosa-dosa yang tidak jelas dan yang jelas, merupakan awal mula dari tasawuf.
Hakikat dan Tarekat Tidak Lepas dari Syariat
Melansir kitab Kifayatul-Atqiya’ wa Minhajul-Ashfiya’, Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi menjelaskan bahwa hakikat dan tarekan tidak mungkin tegak tanpa syariat. Beliau mengatakan:
والمعنى أن الطريقة والحقيقة كلاهما متوقف على الشريعة فلا يستقيمان ولا يحصلان إلا بها فالمؤمن وإن علت درجته وارتفعت منزلته وصار من جملة الأولياء لا تسقط عنه العبادات المفروضة في القرآن والسنة
“Maknanya, tarekat dan hakikat bergantung pada (pengamalan) syariat. Keduanya takkan tegak dan hasil tanpa syariat. Sekalipun derajat dan kedudukan seseorang sudah mencapai level yang sangat tinggi dan ia termasuk salah satu wali Allah, ibadah yang wajib sebagaimana diamanahkan dalam Al-Quran dan sunnah tidak gugur darinya”
Dalam ‘ibarat tersebut Sayyid Bakri ad-Dimyathi sangat gamblang menjelaskan bahwa setinggi-tingginya derajat kewalian seseorang, tatap saja wajib mengerjakan syariat. Lantas, bagaimana jika ada seseorang yang beranggapan bahwa bila ia mencapai maqam tertentu, ia sudah tidak wajib salat, puasa dan lain sebagianya? Sayyid Bakri menilai orang semacam itu telah sesat dan menyesatkan. Beliau mengatakan:
ومن زعم أن من صار وليا ووصل إلى الحقيقة سقطت عنه الشريعة فهو ضال مضل ملحد ولم تسقط العبادات عن الأنبياء فضلا عن الأولياء
“Siapa saja yang mengira bahwa orang yang telah menjadi wali dan sampai ke level hakikat, ketentuan syariat telah gugur darinya, maka ia adalah orang yang sesat, menyesatkan, dan ingkar-menyimpang. Ibadah wajib tidak pernah gugur dari para nabi, terlebih lagi dari para wali Allah”
Saya kira, itulah yang dimaksudkan dengat tasawuf liberal yang berkeliaran pada zaman ini. Semoga bermanfaat!