Mustaqim.NET – Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terjadi lantaran mengabaikan perintah Allah ﷻ dalam ayat ke-19 surah an-Nisa’. Terkait prinsip mu’asyarah bil ma’ruf. Firman Allah ﷻ:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ، فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
… wa asyiruhunna bil ma’ruf fain karihtumuhunna fa’asa an takrahu syai’an wa yaj’alallahu fihi khairan katsira.
“… pergaulilah mereka secara baik. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu. Sementara Allah ﷻ menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
(QS. an-Nisa’: 19)
Bagaimana memahami wa asyiruhunna bil ma’ruf ini? Mari kita simak dalam tafsir al-Qurthubi:
وَذَلِكَ تَوْفِيَةُ حَقِّهَا مِنَ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ، وَأَلَّا يَعْبَسَ فِي وَجْهِهَا بِغَيْرِ ذَنْبٍ، وَأَنْ يَكُونَ مُنْطَلِقًا فِي الْقَوْلِ لَا فَظًّا وَلَا غَلِيظًا وَلَا مُظْهِرًا مَيْلًا إِلَى غَيْرِهَا
“(Mu’asyarah bil ma’ruf adalah dengan) memenuhi haknya berupa mahar dan nafkah. Tidak mengerutkan kening padanya tanpa alasan. Bersikap lembut dalam berbicara. Tidak kasar atau keras. Tidak menunjukkan kecenderungan kepada orang lain.”
Kewajiban ini bukan tanpa alasan. Prinsip mu’asyarah bil ma’ruf terbangun untuk kelanggengan hubungan dan menentramkan jiwa. Imam al-Qurthubi juga menjelaskan:
فَأَمَرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ بِحُسْنِ صُحْبَةِ النِّسَاءِ إِذَا عَقَدُوا عَلَيْهِنَّ لِتَكُونَ أَدَمَةُ مَا بَيْنَهُمْ وَصُحْبَتُهُمْ عَلَى الْكَمَالِ، فَإِنَّهُ أَهْدَأُ لِلنَّفْسِ وَأَهْنَأُ لِلْعَيْشِ.
“Allah ﷻ memerintahkan agar persahabatan antara suami istri setelah akad nikah menjadi sempurna dan langgeng di antara mereka. Sebab hal itu lebih menenangkan jiwa dan lebih menyenangkan kehidupan.”
Sebagian ulama menjelaskan, bahwa makna ayat wa asyiruhunna bil ma’ruf adalah:
أن يتصنع لها كما تتصنع له
“Suami melakukan (membahagiakan) untuk istri sebagaimana istri melakukan (membahagiakan) untuk suami,”
Contoh Pengamalan Prinsip Mu’asyarah bil Ma’ruf
Selaras dengan itu, Sayyidina Ibnu Abbas menuturkan:
إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَتَزَيَّنَ لِامْرَأَتِي كَمَا أُحِبُّ أَنْ تَتَزَيَّنَ الْمَرْأَةُ لِي
“Aku suka berhias untuk istriku sebagaimana aku suka istriku berhias untukku.”
Nabi Muhammad ﷺ selalu menekankan kepada pararabu untuk senantiasa menikmati lika-liku kehidupan setelah nikah. Beliau bersabda:
فَاسْتَمْتِعْ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ
“Nikmatilah dia (istri) meskipun padanya ada kebengkokan.”
Ibnu ‘Athiyah menjelaskan sabda nabi tersebut:
لَا يَكُنْ مِنْكَ سُوءُ عِشْرَةٍ مَعَ اعْوِجَاجِهَا، فَعَنْهَا تَنْشَأُ الْمُخَالَفَةُ وَبِهَا يَقَعُ الشِّقَاقُ، وَهُوَ سَبَبُ الْخُلْعِ.
“Janganlah ada pergaulan buruk dari sisimu meskipun ada kebengkokan (kekurangan) padanya. Karena dari kebengkokan itulah muncul perselisihan, dan karenanya terjadi keretakan yang menjadi sebab istri minta cerai (khulu’).”
Contoh mu’asyarah bil ma’ruf terlukis indah dalam kisah berikut ini:
وقال يَحْيَى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحَنْظَلِيُّ: أَتَيْتُ مُحَمَّدَ ابن الْحَنَفِيَّةِ فَخَرَجَ إِلَيَّ فِي مِلْحَفَةٍ حَمْرَاءَ وَلِحْيَتُهُ تَقْطُرُ مِنَ الْغَالِيَةِ، فَقُلْتُ: مَا هَذَا؟ قَالَ: إِنَّ هَذِهِ الْمِلْحَفَةَ أَلْقَتْهَا عَلَيَّ امْرَأَتِي وَدَهَنَتْنِي بالطيب، وإنهن يشتهين مناما نَشْتَهِيهِ مِنْهُنَّ.
“Muhammad Ibnu al-Hanafiyyah (saat didatangi Yahya bin Abdurrahman Al-Handzali) keluar dengan selimut merah dan janggutnya meneteskan wewangian. Ia berkata, ‘Selimut ini diletakkan istriku padaku dan ia memakaikanku wewangian, dan sungguh wanita-wanita itu menyukai dari kita apa yang kita sukai dari mereka.'”
Perbedaan Rumusan Hukum dari Ayat Wa Asyiruhunna Bil Ma’ruf
Terjadi silang pendapat mengenai prinsip mu’asyarah bil ma’ruf yang bermula dari ayat wa asyiruhunna bil ma’ruf. Perbedaan itu terkait kewajiban suami saat istrinya membutuhkan pembantu lebih dari satu orang. Imam asy-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah menjelaskan:
لَا يَلْزَمُهُ إِلَّا خَادِمٌ وَاحِدٌ، وَذَلِكَ يَكْفِيهَا خِدْمَةَ نَفْسِهَا، وَلَيْسَ فِي الْعَالَمِ امْرَأَةٌ إِلَّا وَخَادِمٌ وَاحِدٌ يَكْفِيهَا، وَهَذَا كَالْمُقَاتِلِ تَكُونُ لَهُ أَفْرَاسٌ عِدَّةٌ فَلَا يُسْهَمُ لَهُ إِلَّا لِفَرَسٍ وَاحِدٍ، لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُهُ الْقِتَالُ إِلَّا عَلَى فَرَسٍ وَاحِدٍ
“Suami tidak diwajibkan kecuali menyediakan satu pembantu saja, karena itu sudah cukup untuk melayani dirinya sendiri. Tidak ada seorang wanita pun di dunia ini yang tidak cukup dilayani oleh satu pembantu. Seperti seorang prajurit yang memiliki beberapa kuda, tetapi ia hanya mendapat jatah untuk satu kuda saja, karena ia tidak mungkin berperang kecuali di atas satu kuda.”
Itu berbeda dengan pandangan Imam Malik. Beliau berpendapat:
هَذَا غَلَطٌ، لِأَنَّ مِثْلَ بَنَاتِ الْمُلُوكِ اللَّاتِي لَهُنَّ خِدْمَةٌ كَثِيرَةٌ لَا يَكْفِيهَا خَادِمٌ وَاحِدٌ، لِأَنَّهَا تحتاج من غسل ثيابها وإصلاح مَضْجَعِهَا وَغَيْرِ ذَلِكَ إِلَى مَا لَا يَقُومُ بِهِ الْوَاحِدُ، وَهَذَا بَيِّنٌ.
“Pendapat tersebut keliru. Karena ada wanita yang seperti putri raja. Tentu terbiasa dengan pelayanan banyak. Tidak akan cukup dilayani oleh satu pembantu.
Sebab, ia membutuhkan (bantuan untuk) mencuci pakaiannya, merapikan tempat tidurnya, dan hal-hal lain yang tidak dapat dilakukan oleh satu orang saja. Dan ini adalah jelas (bayyin).”






