Mustaqim.NET – Banyak dari sahabat dan member Mustaqim.NET yang menanyakan meminta-minta kepada manusia tanpa udzur syar’i hukumnya bagaimana? Pada tulisan kali ini, mimin akan membahas berdasarkan hadis yang berbunyi:
من سأل الناس أموالهم تكثرا فإنما يسأل الناس جمرا فليستقل أو ليستكثر
رواه مسلم
“Orang yang mengemis harta sebenarnya meminta-minta bara api. Maka hendaklah ia menguranginya atau perbanyaklah”
~ HR. Muslim
Manusia dianugerahi banyak potensi dalam setiap nikmat. Allah menciptakan manusia dengan fisik paling sempurna dari sekian banyak ciptaan-Nya, agar mau memanfaatkan potensi diri sebaik-baiknya dengan cara mengarahkan potensi itu sesuai tuntutannya.
Dalam al-Quran sering disebutkan potongan ayat yang berakar pada kata syukr untuk menunjukkan keharusan bersyukur. Rasulullah saat ditanya perihal muwâdzabah ibadah beliau sampai kakinya bengkak, beliau menjawab: “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang selalu bersyukur?”
Sayangnya, tidak jarang potensi diri nyatanya tersia-siakan. Nikmat sehat fisik dan kecerdasan otak kadang lebih banyak dipergunakan pada jalan yang tidak diridhai Allah. Sering dijumpai di kota-kota, tempat-tempat wisata religi dan keramaian lainnya sebagian komunitas masyarakat malah jadi pengemis. Fisik sehat yang seharusnya mereka pergunakan untuk bekerja, ternyata dihabiskan dengan bermalas-malasan. Hal ini tidak sesuai dengan agama Islam yang merupakan dînul-harakah atau agama yang mengajak pemeluknya untuk senantiasa bergerak.
Pernah Rasulullah ditanya: “Apakah pekerjaan paling baik ?” beliau menjawab singkat: “Pekerjaan yang dilakukan dengan usaha sendiri”. Islam juga menganjurkan kepada siapapun yang hendak bekerja untuk selalu berniat baik. Seperti niat taqwa: penghasilan yang didapat sebagai bekal ketaatan kepada Allah. Secara mafhûm, dalam jawaban dan anjuran Rasulullah tadi, ada larangan untuk meminta-minta atau mengemis. Apalagi sampai dijadikan sebagai profesi tetap atau sampingan. Hal itu juga sekaligus menjawab pertanyaan member Mustaqim.NET meminta-minta kepada manusia tanpa udzur syar’i hukumnya bagaimana?
Sanad Hadis
Redaksi lengkap sekaligus mata rantai sanad hadis di muka tadi ialah: “Bercerita kepada kami Abu Kuraib dan Washil bin Abdul Akla, bercerita kepada kami Muhamad bin Fudhail, dari Imarah bin al-Qa’qa’, dari Abu Zur’ah, dari Abu Hurairah beliau berkata, Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang meminta-minta harta manusia untuk memperkaya diri, sesungghuhnya ia hanya meminta jamran. Maka, sedikitkan atau perbanyaklah!” (HR Imam Muslim).
Kajian TakhrÎjul-Hadis
Bila ditinjau dalam segi ittishal, hadis tersebut dikatakan Hadis Muttashil dan Hadis Musnad. Jika di lihat kepada siapa hadis ini disandarkan maka tergolong Hadis Marfu’ Qauli, karena bermuara langsung kepada Nabi Muhammad. Saat dilihat dalam ilmu Jarhu wat-Ta’dil, dinyatakan Tsiqah dengan Tanshîsul-Mu’addilîn serta kemasyhuran para perawi hadis yang terpercaya dikalangan pakar ilmu hadis.
Bila ditinjau dari jumlah perawi dari awal sanad maka dikatakan Hadis Masyhur. Sebab hadis ini terdapat pada banyak jalur lain di antaranya kitab Musnad Imam Ahmad, as-Sunan al-Kubra Imam Baihaqi dan kitab Shahih Imam Ibnu Hibban. Adapun hukumnya ialah Shahih dan dapat dibuat hujjah-syar’iyah.
Makna Hadis
Titik tekan hadis di awal pembuka mengklasifikasi kebolehan meminta-minta terletak pada kata “takatsuran”. Dalam memaknai redaksi ini beberapa ulama menggunakan redaksi beragam yang intinya merujuk pada satu makna: yaitu meminta-minta dengan tujuan memperkaya diri bukan karena terdesak.
Mafhumnya, meminta-minta karena didesak kebutuhan bisa diperbolehkan atau bahkan bisa jadi wajib dalam kondisi darurat. Sebab, pada nyatanya motivasi pengemis satu dengan lainnya kadang berbeda. Ada yang minta-minta untuk sekedar menutupi kebutuhan atau malah ada yang bertujuan untuk memperkaya diri.
Sedangkan kalimat “fal-yastaqil wal-yastaksir” berdasarkan pernyataan Imam al-Qurthubi yang dikutip Imam as-Suyuthi maksudnya adalah orang yang meminta-minta kepada manusia tanpa udzur syar’i hukumnya bila dengan niat mengumpulkan harta-benda akan disiksa tentu sesuai dengan kadar yang dihasilkan.
Untuk makna “jamran” sendiri merujuk pada pernyataan Imam al-Qadhi ternyata memiliki dua makna dengan peninjauan yang berbeda. Pertama, memiliki arti bahwa pelaku akan disiksa dalam api neraka. Kedua, secara lahiriah lafadz bahwa uang hasil meminta-minta itu akan menjadi bara yang kemudian disetrikakan pada pelakunya.
Selain hadis tadi banyak lagi hadis-hadis pendukung yang searti dengan redaksi hadis yang beragam. Seperti hadis riwayat Shahabat Abdullah bin Umar ini:
لا يزال الرجل يسأل الناس حتى يأتي يوم القيامة وليس في وجهه مزعة لحم. متفق عليه
“Tidaklah seseorang meminta-minta (untuk memperkaya diri), kecuali datang pada hari kiamat nanti sedangkan di wajahnya tidak tersisa sepotong daging pun.”
Maksud kalimat وليس في وجهه مزعة لحم kemungkinan mengarah pada lahiriahnya, yaitu tidak terdapat daging di wajah pelakunya. Kemungkinan kedua bermakana dia akan jatuh hina dihadapan Allah.
Juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalur Sayidina Umar bin al-Khathab:
لا تزال المسألة بأحدكم حتى يلقى الله وليس في وجهه مزعة لحم
“Tidaklah salah seorang diantara kalian meminta-minta hingga ia bertemu dengan Allah, sedangkan di wajahnya tidak tersisa segumpal daging pun.”
Konklusi
Jadi, pada dasarnya meminta-minta atau mengemis merupakan suatu profesi yang hina, baik dalam tinjauan sosial maupun agama. Pelakunya akan mendapat cercaan dari lingkungan sekitarnya, dan juga diancam siksa neraka kelak di akhirat. Kecuali meminta-minta karena kondisi buruk atau mendesak, maka diperbolehkan sesuai kadarnya.
Adapun program pemerintah yang menindak praktik meminta-minta dengan cara melatih para pelaku untuk melakukan ragam aktivitas kerajinan, sudah sangat tepat. Mari menuju Indonesia yang makmur, sentosa dan bermartabat.