Mustaqim.NET – Kitab kuning yang saya maksud dalam tulisan ini ialah Fathul-Mu’în, salah-satu kitab paling trend di pesantren. Saat menerangkan jihad, Syekh Zainuddin, murid dari Imam Ibnu Hajar al-Haitami ini menyempatkan diri untuk memberikan penjelasan tentang hukum salam dan menjawabnya.
Seseorang disunahkan mengucapkan salam saat bertemu atau hendak berpisah dengan orang muslim yang tidak fasik dan ahli bidah. Bila sendirian maka berhukum sunah ‘ain. Sedangkan jika sedang berkelompok maka berhukum sunah kifayah. Mirip dengan kasus membaca basmalah ketika hendak makan. Jika makan sendirian, maka sunah ain membaca basmalah. Jika berkelompok, maka sunah kifayah membaca basmalah.
Sedangkan menjawabnya, apabila sendirian maka fardu ain. Namun, jika sedang berkelompok maka berhukum fardu kifayah. Dengan artian, jika salah-satunya menjawab, maka gugur kewajiban yang lain.
Akan tetapi, jika yang menjawab hanya satu orang, yang mendapat pahala hanya yang menjawab itu saja. Bila semuanya ingin mendapat pahala, maka selayaknya mereka menjawabnya semua, meskipun secara bergiliran. Sama persis dengan salat jenazah; yang mendapat pahala, hanyalah yang menyalatinya saja. Namun, kewajiban yang lain sudah gugur.
Jika yang mengucapkan salam kepada kita adalah orang banyak, kita hanya berkewajiban menjawabnya satu kali dengan maksud menjawab seluruh salam tersebut. Sedangkan menurut qaul awjah, meskipun dimutlakkan (tidak bermaksud menjawab seluruh salam) tetap dianggap cukup. Dengan catatan, tidak ada pemisah yang lama.
Etika Mengucapkan Salam
Al-Qadhi memberi fatwa bahwa yang mengucapkan salam lebih afdal dari pada yang menjawabnya. Hal ini berdasarkan hadis:
“أنَّ أولى الناسِ باللَّهِ مَنْ بَدأهُمْ بالسلامِ”
Mirip dengan kasus bila mana orang melarat memiliki tanggungan. Antara menunggu membayar, dengan membebaskan tanggungan, lebih utama membebaskannya.
Lafal-lafal yang bisa digunakan untuk mengucapkan salam adalah sebagaimana berikut:
- السلامُ عليكم
- سلامٌ عليكمُ
- عليكمُ السلامُ
- سلامُ
Namun, dua lafal terakhir berhukum makruh, lantaran ada larangan, tetapi tetap wajib dijawab. Beda halnya bila menggunakan wawu (وَعليكمُ السلامُ) maka tidak wajib menjawabnya. Karena kalau memakai wawu tidak pantas berada di awal, sehingga tidak layak menjadi ucapan awal salam.
Afdalnya, salam tetap menggunakan sighat jama’ meski kepada satu orang, dengan maksud kepada malaikat dan bertujuan takzim. Bila menggunakan sighat mufrad untuk sekelompok orang, maka dianggap tidak cukup. Juga yang afdal ialah menambah:
ورحمةُ اللَّهِ وبركاتُه ومغفرتُهُ
Tidak dianjurkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang qadhil hajat, jima’, istinja, minum, makan yang di mulutnya sedang terisi. Mirip dengan itu, sunah untuk tidak mengucapkan salam kepada orang fasik secara terang-terangan, pelaku dosa besar yang enggan bertobat, dan pelaku bidah.
Tidak dianjurkan juga mengucapkan salam kepada orang yang sedang salat, sujud, azan, ikamah, khutbah, dan bahkan yang mendengarkan khutbah.
Jika ada yang terlanjur mengucapkan, maka tidak wajib menjawabnya. Kecuali bila mengucapkan salam kepada yang sedang mendengarkan khutbah. Maka yang mendengarkan tetap wajib menjawab salam. Makruh menjawab salam bagi orang yang sedang qadhil hajat, jima’ dan istinja.
Sunah menjawab salam bagi orang yang sedang minum dan makan meski pun di mulutnya sedang terisi. Namun, jika sudah melahap makanan dan belum memasukkan makanan lagi ke mulutnya, sunah hukumnya mengucapkan salam kepadanya, serta orang yang makan tadi wajib menjawabnya.
Orang yang ada di pemandian dan yang sedang membaca talbiah disunahkan menjawab salam dengan lafal. Sedangkan bagi orang yang sedang salat, azan, dan iqamah sunah menjawab salam dengan isyarah.
Kasus Salam Perempuan
Termasuk kasus wajib menjawab salam ialah: wajib menjawab salam perempuan kepada sesama perempuan, kepada mahram, sayid, suami, bahkan kepada lelaki yang tidak punya hubungan sekali pun (ajnaby). Dengan catatan, dalam kasus (ajnaby) perempuannya tersebut merupakan tua renta yang sudah tidak menggairahkan. Sedangkan perempuan yang masih mengundang syahwat haram mengucapkan salam kepada ajnaby, dan haram menjawab bila anjaby mengucapkan salam.
Sedangkan untuk ajnaby, hukumnya makruh mengucapkan salam kepada ajnabiyah. Begitu pula makruh menjawab salam, bila mana anjabiyah mengucapkan salam kepadanya.
Mengapa hukum ajnaby bisa berbeda dengan ajnabiyah? Karena daya tarik perempuan kepada laki-laki lebih besar dari pada sebaliknya.
Namun, itu hanya kasus dalam masalah perempuan yang sendirian. Berbeda kasus, jikalau ajnaby mengucapkan salam kepada segerombolan perempuan. Maka salah-satu dari gerombolan perempuan itu tetap wajib mengucapkan salam.
Etika Menjawab Salam
Seseorang dianggap menjawab salam jika mengeraskan suaranya sekira didengar dengan jelas oleh orang yang memiliki gangguan pendengaran. Jika yang mengucapkan salam sambil lari, maka tidak perlu mengejarnya untuk menjawab. Cukup mengeraskan suaranya saja.
Juga, wajib melangsungkan jawaban salam dengan ucapannya, layaknya menyambung kabul dengan ijab. Jika tidak langsung, maka tidak ada qada.
Sedangkan tata cara menjawab bagi orang yang tuli ialah dengan mengkompilasikan antara lafal dengan isyarat. Ia juga tidak berkewajiban menjawab, kecuali yang mengucapkan salam kepadanya juga menggabungkan antara ucapan dengan isyarat.
Kirim Salam
Menyampaikan titipan salam itu berhukum wajib, bila mana yang ia menerima titipan tersebut. Karena itu amanah. Jika semisal dia tidak menerima titipan, maka tidak wajib menyampaikan salam.
Cara menjawab salam model begini ialah: segera menjawab ketika disampaikan oleh si pemberi kabar itu. Menjawabnya bisa pakai ucapan atau tulisan. Cara menjawab yang disunahkan ialah dengan cara menjawab salam khusus kepada si pemberi kabar tersebut, lalau dilanjutkan dengan mnjawab salamnya si pengirim salam. Contoh lafalnya sebagaimana berikut:
عليكَ وعليهِ السلامُ
Mengucapkan Salam kepada non-Muslim
Ada penjelasan singkat perihal hukum mengucapkan salam kepada kafir dzimmi. Haram hukumnya mengucapkan salam kepada mereka. Juga, jika mereka ada di tengah—tengah kelompok muslim, dalam hati kita wajib mengecualikannya.