Pernikahan merupakan anjuran agama dan menjadi salah-satu dari sunah nabi yang sangat setan benci. Bagaimana tidak? Yang semula seseorang dengan tidak melakukan akad nikah, orang itu haram, menjadi halal. Sebelum
Sebelum kata qabiltu terucap, jangankan menyentuh, memandangnya pun juga haram. Apalagi sampai terjerumus kepada perzinahan. Namun, setelah kata ajaib itu terucap, yang semula menghasilkan dosa, malah menjadi ladang pahala.
Itulah mengapa Imam al-Ghazali menuturkan:
فَإِنَّ النِّكَاحَ مُعِينٌ عَلَى الدِّينِ وَمُهِينٌ لِلشَّيَاطِينِ وَحِصْنٌ دُونَ عَدُوِّ اللَّهِ حَصِينٌ
sesungguhnya pernikahan adalah penolong (yang membantu) dalam urusan agama, dan penghina bagi setan-setan, serta benteng yang kokoh di hadapan musuh Allah.
Untuk mencapai tujuan mulia itu, agama membuat sebuah rumusan etika atau akhlak Istri kepada suami. Yang akan kami bahas dalam artikel ini.
Taat kepada Suami
فَعَلَيْهَا طَاعَةُ الزَّوْجِ مُطْلَقًا، فِي كُلِّ حَالٍ) وَفِي كُلِّ وَقْتٍ، وَفِي كُلِّ مَكَان (مَا طَلَبَ مِنْهَا فِي نَفْسِهَا، مِمَّا لَا مَعْصِيَةَ فِيهِ) وَمِمَّا تَسْتَطِيعُهُ
“Istri wajib taat keapda suami secara mutlah, di setiap keadaan, kapan pun dan di mana pun, terkait apapun yang ia pinta. Selagi: 1) bukan maksiat. 2) masih mampu.”
Etika ini merupakan kunci dari menyenangkan suami. Tampa ketaatan, kebahagian serasa utopia. Justru, dengna
طَاعَةُ الزَّوْجِ مُطْلَقًا فِي كُلِّ مَا طَلَبَ مِنْهَا فِي نَفْسِهَا مِمَّا لَا مَعْصِيَةَ فِيهِ.
“Menaati suami secara mutlak, setiap apa pun yang ia pinta terkaid dirinya, terkecuali dalam urusan maksiat.”
تَرْكُ الْمُطَالَبَةِ بِمَا وَرَاءَ الْحَاجَةِ
التَّعَفُّفُ عَنْ كَسْبِهِ
أَنْ لَا تَتَفَاخَرَ عَلَى الزَّوْجِ بِجَمَالِهَا وَلَا تَزْدَرِي زَوْجَهَا لِقُبْحِهِ
أَنْ تَقُومَ بِكُلِّ خِدْمَةٍ فِي الدَّارِ، الَّتِي تَقْدِرُ عَلَيْهَا





